Adsense Indonesia

Samba At-taqwa (Bagian III)

19.40 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Lelah. Hanya mandi dan mandi saja yang berkelebat di alam pikiranku. Klakson mobil sengaja kubunyikan tepat di depan gerbang rumahku. Tak lama, Pak Wiji tampak dalam tampilan yang kusut masai. Ya, maklum jam 12 malam. “Gan…”, sapanya. Kujawab dengan anggukan kepala saja, dingin sekali karena mood-ku memang sedang tidak memungkinkan untuk gerakan-gerakan tebar pesona.

Mbok Mirah menatapku sesaat sewaktu aku memasuki ruangan utama rumahku yang luas dan terang-benderang. Aroma kemegahan begitu lekat dengan segala properti yang ada di sini. Jam dinding yang bertahtakan emas (konon dibeli Papih di London), Tv set yang lengkap dengan ornamentasi elektroniknya, mebel-mebel antik import mancanegara, semuanya tertata rapi dan mengumbar kesan gagah. Luar biasa kupikir kerja keras Mbok Mirah yang bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapihan ruangan ini. Termasuk saat ini, tatapannya menyiratkan sense tanggung jawabnya terhadap majikannya.

“Belum tidur, mbok ?”, tanyaku singkat sambil mencopot sepatu.

“Sudah gan, tapi bangun tadi karena dengar suara mobil juragan. Ada yang perlu mbok siapkan, gan ?, jawabnya dalam suara yang parau.

“Hmm…ngga, mbok. Terima kasih. Tapi, ngomong-ngomong…Papih dan Mamih belum pulang mbok ?”, sekadar mengomentari ucapan Mbok Mirah, kutanyakan pula kabar Mamih dan Papih kalau kebetulan mereka sempat menitipkan kabar. Sudah hampir satu minggu ini Papih dan Mamih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Papih dan Chicago sudah bukan hal yang aneh lagi buatku. Bisnis garmen yang dijalankannya memang selalu menuntutnya untuk begitu. Termasuk juga kehendak kerasnya untuk menyekolahkanku ke negeri paman sam sana, bukan sekali dua kali dipaparkannya dengan begitu panjang lebar sampai akhirnya lelah sendiri karena aku toh lebih ingin melanjutkan pendidikan di sini. Tak jauh berbeda seperti Papih, Mamih adalah sosok wanita pekerja keras yang kadang-kadang kunilai hampir mirip Margaret Thatcher. Keras, namun tetap elok menjaga dimensi keperempuannya. Politisi perempuan, begitu tepatnya. Sebagai bagian dari lingkaran elit parlemen nasional, entah...terkadang kurasakan dirinya dililit oleh pekerjaannya sendiri.

Mbok mirah membalas pertanyaanku tadi dengan bahasa tubuhnya yang lugu dan sederhana, menggelengkan kepala yang kupersepsi sebagai simbol “belum”. “Ah...kembali sendirian si anak semata wayang ini dan memainkan peran pangeran tampan yang kesepian. Sssh…cerita lama !”, monolog ini lantas mengemuka di batinku. Ngeloyor tanpa permisi, kuteruskan langkahku.

Sampai di ruangan kamarku, segera kuambil handuk dan menyegerakan mandi demi membalas lengket keringat dan kepenatan yang kurasakan seharian tadi. Ah, di bath tub ini kumanjakan diriku dengan sengaja berlama-lama berendam di air yang hangat-hangat kuku. Sampai tuntas, sampai seluruh badan terasa segar.

Alunan nada mellow nan cantik yang keluar dari saxophone Kenny G mengiringi aku yang sedang merapikan diri selepas mandi. Dalam balutan busana piyama high class yang kini kusandang, kusempatkan mematut-mamut diri sebentar di cermin. Betapa kulihat wajah Mamih dan Papih di sana. Sungguh aku rindu mereka.

Kuraih laptop yang tersimpan rapi di tas, kembali kutulis catatan harian yang kupikir itu keren dan universal alih-alih mutlak hak monopoli perempuan saja dalam tradisi ber-diary-nya :

Dan begitulah waktu berlalu...tiba-tiba aku tepat berdiri di gerbang impian yang memang selalu terbayang di otakku semenjak kecil ; pemain sepak bola profesional. Betapa bahagianya…sampai-sampai aku dan Mario tak mampu menguraikan itu dalam bentuk kata-kata. Hmmmm...bangga-kah mamih dan papih dengan capaianku ini ?. Oh…atau jangan-jangan mereka lebih ingin melihatku dalam rupa “Aldo” di dunia yang mereka karang ?. Bagaimanapun…ah !... sungguh aku rindu mamih dan papih. Bagaimanapun...begitu kuat hasratku untuk mengumumkan berita gembira ini langsung dihadapan mereka. Ya, paling tidak toh aku sudah berbuat sesuatu untuk mereka…mencoba membuat mereka bahagia dengan apa yang bisa kulakukan, jujur, bukan basa-basi.

Setahap lagi…dan aku yakin semua itu bisa kulewati !. Visi itu terang tergambar di mataku. Ya, tahapan seleksi yang nanti akan kuhadapi dapat kulewati dengan mudah semudah final kejuaraan sepak bola kemarin. Aku, Mario akan lolos dan melenggang santai ke dunia baru ; sepak bola profesional. Itu pasti !. Berbekal keyakinan dan potensi yang kami miliki...tahapan seleksi itu tidak lain hanya sebatas formalitas yang harus kami jalani sebagai bintang lapangan yang nantinya akan selalu dekat dengan decak kagum para supporter. Ya, kami akan terus melenggang...terus, terus, meninggi sampai ke Senayan sebagai pemain tim nasional Indonesia. Indonesia akan mencatat sejarah kami sebagai pemain sepak bola muda yang penuh talenta dan mampu memberikan prestasi untuk negerinya.

Label:
Adsense Indonesia