Adsense Indonesia

Siluet Mentari Di Sorbonne Sore Itu

19.19 / Diposting oleh Widdy Apriandi /

Perempuan itu masih terpaku di mesin jahitnya. Aih, lihat dia…di usianya yang semakin renta…entah…masih disimpannya untaian ke-elok-an yang begitu luar biasa. Air mukanya tenang sekali...menyiratkan arogansi yang sengaja ditengadahkannya kepada dunia yang telah membentuknya sedemikian rupa sampai hari ini. Jemarinya gemulai, meliuk-liuk perlahan senada dengan pola jahitan yang dikehendakinya. Cantik, anggun…perempuanku, kusadari itu sedari dulu.

Wanayasa masih diselimuti dingin yang menggigit pori-pori kulit malam ini. Deras hujan yang turun sejak sore tadi mengantarkan alam menemui detik-detik keheningannya. Nyaris tak ada kendaraan yang biasanya berlalu-lalang di depan rumahku. Kalaupun ada, kupikir hanya satu atau dua. Itu pun tak sering. Sungguh nuansa hening seperti inilah yang selalu kutunggu-tunggu. Ya, terus terang aku rindu dengan suasana desa ini di masa lalunya. Tanpa kebisingan yang berlebihan…hanya kesederhanaan saja yang tampak jelas di depan mata. Betul !, kesederhanaan…sebagaimana terpancar dari kesaksian rumah panggung yang dulu sempat berdiri di tanah yang kupijak sekarang ini. Kini berganti dia. Lebih tepatnya, tertunduk malu diserang tuntutan zaman yang menghendaki pergantian segala rupa ornamentasi kehidupan.

Perempuan itu masih asyik bergelayut dengan kesibukannya. Sesekali, kulihat dia melirik tepat ke arahku. Barangkali ada pertanyaan yang hendak disisipkannya melalui sorotan mata itu, tapi ah !...boleh jadi juga tidak di waktu yang sama. Apa yang bisa kulakukan hanyalah menunggu, tak lebih cuma itu saja. Sembari membaca dan meneruskan tanggungan tugas akhir kuliah yang melelahkan jiwa dan raga, kutunggu untaian kalimat yang mungkin saja keluar dari mulutnya.

Bagaimana skripsimu nak, lancar ?”, tanyanya singkat namun penuh perasaan.

Aku yang jelas-jelas dijadikan objek pertanyaannya sontak gugup dihantam lontaran pertanyaan tersebut. Mungkin sepuluh kali atau malah lebih boleh jadi...kurasakan diriku mulai akrab dengan suasana seperti ini. Tentang skripsiku yang tak kunjung selesai, begitu-lah. Dilema memang, kukatakan itu dengan sangat jujur. Namun, tentu bukan dalam artian lemparan dalih seperti halnya sering dipertontonkan para politisi. Bukan !. Mogoknya skripsiku sampai satu tahun lamanya ini memang seringkali dinilai orang dengan pandangan risih dan tak jarang menghinakan. “Tapi toh, tahu apa mereka tentang totalitas kehidupanku ?”, sempalan monolog ini acapkali merayap di batinku. Kilas bayangan aksi demonstrasi beberapa waktu ke belakang terbentang begitu saja di alam pikiranku. Penolakan mahasiswa STIE DR. KHEZ Muttaqien terhadap penertiban sepihak Satpol PP atas Pedagang Kaki Lima yang seringkali mangkal di jalanan ibu kota, pesan seperti demikianlah yang kami propagandakan secara akrobatik di jalanan. Ah !...dilema memang.

Akhir tahun ini selesai mak, aa janji”, kujawab pertanyaan emak tadi dengan penekanan janji yang harus lunas kubayar tanpa sisa lagi kali ini.

Tersenyum dia. Sembari mencicipi senyum manis emak itu, kulihat Asma yang seakan asyik dengan pekerjaan dadakan-nya ; menadah air hujan yang bocor ke tengah rumah. Ah !, adikku tercinta yang semakin cantik saja dari ke hari ke hari…tak kusangka senyumnya pun mengembang seperti ingin bilang “makanya cepat selesai bang kuliahnya…nanti jadi mahasiswa abadi lho”.

Tergelincir sang waktu menjemput hitam malam yang sebentar lagi berubah menjadi pekat sama sekali. Pelangi kata berputar di otakku…menagih manifestasinya ke dalam bentuk apapun itu. Ya, apapun memang…nyatanya dia tak pernah memaksaku untuk menuangkannya jadi ini atau itu. Kecuali hari ini…ketika kata-kata itu menerjangku keras dalam wajahnya yang kaku dan tak berperasaan. “Jadikan aku skripsi !...cepat !... cepat !”, teriaknya lantang yang lebih mirip ancaman alih-alih kesadaran hakiki yang berbalut tudung cinta.

***

Butiran-butiran tasbeh terus saja bergulir dari jari-jemarinya. Kalimat-kalimat suci melompat dari mulutnya. Samar, setengah berbisik ; subhanallah…alhamdulillah…allahu akbar…laa illahaillallah. Ya Robb !…mukenanya basah karena luapan air yang deras keluar dari bola matanya. Ya, dia menangis…tangisan seorang hamba yang menyayat sukma. Dirapalkannya do’a-do’a, pujian-pujian untuk-Mu ya Robb !...sembari meratap. Sungguh ratapan yang tak lain adalah ekspresi kefanaan manusia yang tidak akan pernah berpunya selain atas kehendak-Mu.

Dia…ibu. Dia…cahaya mata kami anak-anaknya yang telah dibimbingnya dari masa ke masa. Dia…wanita pejuang yang tidak akan pernah rela menunduk pada dunia. Dia…pecinta sejati yang tidak pernah berpaling dari cinta pertama dan terakhirnya ; ayah kami yang telah tiada.

Begitulah…ekspedisi detik demi detik yang berlalu di malam ini kami lewati dengan jamuan batin yang kami gelar seadanya. Bertiga,,,aku, emak dan asma berkumpul dalam majlis sederhana yang segalanya kami persembahkan untuk Allah semata. Ber-tahajjud…kami bersujud bersama di hadapan Allah di tengah kesenyapan yang menyisakan malas dan enggan bagi sebagian orang. Segala pengharapan kami lemparkan ke pangkuan-Nya…setiap inci mimpi kami labuhkan ke dermaga-Nya. Berharap...ya, berharap…Dia berkenan memeluk pengharapan-pengharapan dan mimpi-mimpi yang kami miliki.

Emak…diusapnya kepala kami berdua. Tak lama, dipeluknya kami begitu erat. “Jadilah kalian anak-anak emak yang sholeh dan sholehah. Berikhtiar dan berdo’lah selalu kepada Allah…semoga lancar segala urusan kalian”, pesan emak kepada kami sebelum menutup kesyahduan majlis yang kami rangkai bersama.

Seperti kilatan petir yang sesekali tampil menghiasi kemegahan angkasa raya, visi itu nyaris tergambar jelas di otakku. Entah…dari bola mata emak yang sempat kutatap begitu dekat, ada jendela gaib yang menghubungkan aku dengan dunia lain yang masih coba kutafsirkan apa maksudnya. Arsitektur-arsitektur nan rupawan lagi megah, sungai-sungai yang bersih dan eksotis, perpustakaan yang memanjakan para pembacanya…aku ada di sana.

Kucium tangan emak, “ do’akan aa mak, semoga lancar sidang skripsi hari ini”.

***

Lepas dari kepenatan skripsi yang menggoncangkan fisik dan batin, kini segalanya serba berbeda. Ya, tanpa terasa enam tahun telah berlalu. Begitu cepatnya, sehingga makin kuinsyafi kenapa Allah merahmati manusia dengan ayat-Nya yang diawali dengan kalimat “demi masa”. Masih kuingat bagaimana haru dan bangganya suasana wisuda yang kulewati ketika ayunan langkahku ke altar suci akademisi diiringi dengan lengkingan suara “cum laude”. Betapa hari yang indah dan akan selalu tersimpan di memori nalarku !. Kerja keras yang kucurahkan untuk tugas akhir perkuliahanku terbalas tuntas dengan ending yang melegakan. Tak henti-henti rasa syukur kuucapkan untuk-Nya ; alhamdulillah.

Dan hari ini..,dari bola mata emak yang kembali kutatap begitu dekat…kusadari apa arti dari visi yang tiba-tiba menyeruak hadir begitu saja tempo hari itu. Memang kami ada disini. Emak, asma-ku yang tercinta…lihat mereka !...senang betul rupanya mereka bermain-main dengan burung yang terbang dan berkumpul bebas di taman ini. Digenggamnya camilan untuk si burung, disebarkannya suka-suka. Sungguh mengasyikkan melihat kegembiraan mereka berdua.

Rupanya Allah menjawab setiap detail pengharapan dan mimpi kami. Sore ini, kami berkumpul di taman Sorbonne setelah usai melewati seremoni penyerahan gelar Phd yang baru saja aku raih. Negeri Perancis yang alamak cantiknya…Universitas Sorbonne yang selalu menyimpan pesona sejarah para pemikir kaliber dunia. Aku disini…bersama emak…bersama asma. Bercengkerama…menikmati siluet mentari di sore ini.

Wanayasa, 4 Agustus 2009

Tulisan ini selesai di kamarku sendiri.

Berteman jus Alpukat yang dibuat si mamah, juga beban sakit (gejala DBD) yang menghantam

fisik dan batin.

Ada alunan musik kang ferry curtis yang turut membidani lahirnya ini cerpen, “ibu” judulnya. Terima kasih untuk si akang. Salah satunya, karya ini saya dedikasikan untuk si akang yang bisa-bisanya mengingatkan dunia tentang arti ibu.

Label:

1 komentar:

Guest on 10 September 2009 pukul 23.59

Terus Berkarya Kawan!! Tq FERRY CURTIS

Posting Komentar

Adsense Indonesia