Adsense Indonesia

Samba At-taqwa (Bagian II)

19.37 / Diposting oleh Widdy Apriandi /

Segalanya jelas begitu berbeda semenjak momentum bersejarah yang menyatakan Muttaqien United sebagai jawara. Aku dan Mario sontak menjadi public figure yang tak henti-hentinya dielu-elukan sebagai pahlawan di kampus. Siapa tak kenal aku si “wakabayashi” yang hanya kebobolan lima gol selama kejuaraan ?. Kemudian, siapa juga yang tak kenal bomber maut Muttaqien United yang bernama Mario ?. Kalaupun ada yang tidak kenal, rasa-rasanya itu karena memang mereka tidak banyak bergaul saja. Selebihnya, boleh jadi karena mereka terlalu serius meladeni rutinitas perkuliahan yang mengakibatkan mereka terpinggirkan dari kenyataan. “Ironis, bukan ?!”, selalu kalimat itu yang kulemparkan ke muka kawan-kawan yang kebetulan turut nebeng makan gratis di cafeteria kampus.

Kuparkir Honda Jazz hitam metalik yang biasa kubawa setiap hari di parkiran kampus. Sebagaimana pemandangan umum dari hari ke hari, suasana kampus riuh dipadati banyak mahasiswa-mahasiswi yang lalu lalang. Sesekali, kutangkap wajah-wajah sendu kawan-kawan sekampus yang mungkin sedang terbebani tugas kuliah yang begitu menumpuk. “ahhh !...teori !!!, tugas-tugas melulu macam buruh saja!”, celetukan jahil itu tak sempat menemui bentuk lisannya. Sejujurnya, justru hanya menjadi angin lalu yang bergemuruh di hatiku. Sungguh potret kehidupan kampus yang sangat tidak menarik ; kuliah, tugas, kuliah, tugas.

Apa yang justru exciting menurutku adalah kongkow gaul di cafeteria kampus, pasti !. Ngobrol bebas, listing cewek cantik yang ada di kampus bersama kawan-kawan…ah !, sungguh itulah sesuatu yang membuatku betah berada di kampus. Belum lagi bila ditambah celotehan si Mario yang ngocol berat, semakin kerasan saja aku berlama-lama menghabiskan waktu di sini. Terkadang aku mengkhayal, bila saja hiruk-pikuk perkuliahan di kelas sama sebanding dengan apa yang biasa kutemui di cafeteria, jelas tak ada kewajiban semester pendek yang sepertinya emoh untuk menyingkir dari diriku walau untuk satu semester saja. Termasuk juga hari ini di waktu aku duduk sendirian di meja favorit yang biasa ramai diisi kawan-kawan, lamunan itu tetap ada. Andai…ya, andai…pasti segala sesuatunya akan terasa lebih mudah dan menyenangkan. Tak terasa satu gelas jus alpukat bersama camilan kentang goreng sudah habis kunikmati. Menatap sekitar, kunanti kehadiran manusia-manusia ajaib yang seharusnya sudah ada disini sedari tadi.

“Hallo…oooo, Aldo ?”, sapaan itu hadir dari perempuan yang berjalan anggun tepat di hadapanku. Langkahnya pelan sekali seperti kilas slow-motion di film the matrix yang kutonton tempo hari. Begitu mempesona, atmosfer Cleopatra mutlak digenggamnya.
Sungguh mengejutkan tentu saja. Detak jantungku berdegup begitu kencang. Waktu seperti terhenti di detik-detik kehadirannya. Terhisap malah boleh jadi oleh kecantikannya, sehingga malu untuk berputar. “Hai…”, kubalas sapaannya sembari menawarinya untuk duduk semeja. Hanya senyum yang dia berikan, tanda penolakan halus untuk tawaran yang kulemparkan.

Namun, entah…tiba-tiba cafeteria ini menjadi sangat cemerlang, gemerlap, berbunga-bunga. Setelah senyum penuh makna itu…gerakan tangan yang dibentuk mirip telephone dari si perempuan dialamatkannya untukku. Dia pun berlalu santai seperti tak ada beban tanggung jawab apa-apa untuk aksi yang telah ditunjukkannya kepadaku. Aku yang jelas-jelas ditelantarkannya hanya bisa tersenyum simpul sendirian. Bahagia…bahagia sekali. Vena si bintang kampus, perempuan yang selalu terbayang di benak seluruh mahasiswa di sini…dia…dia…menegaskan sinyal pendekatan yang jelas harus segera kurespon (hanya orang gila saja kupikir yang rela melepaskan kesempatan ini).

Kebahagiaan sesaat itu pun pecah oleh teriakan gerombolan genderuwo yang memang sudah kutunggu kedatangannya sejak tadi, “Woi…sob…woi…Aldo !”. Putaran waktu yang sepertinya terhenti di detik-detik kemunculan si Cleopatra beranjak ke keadaan yang seperti biasanya lagi. Ah !, bergerak menjemukan. Bunga-bunga yang sebelumnya kulihat bertebaran di sana-sini…aih, aneh… berganti dia sedemikian cepat menjadi tampilan wardrobe film daun di atas bantal yang masih kusimpan potongan-potongan klipnya di memori otakku. Berubah…ah !...betapa malasnya kembali memijakkan sukma di tanah keras kehidupan. Vena…vena…sensasi itu makin meredup dan kemudian sirna sama sekali.

“Heh…bengong aja lu sob ?”, tepukan ringan Eko di pundakku memaksaku untuk yakin bahwa aku memang sedang berada di tengah pusaran realitas yang minus eksistensi Cleopatra si Heart Breaker.

“Iya nih…siang bolong gini masih mimpi aja lu ah. Bangun !...Bangun !”, suara lantang khas orang seberang yang dimiliki oleh kawanku yang bernama Andi ini kontan membuat meriah suasana karena diamini oleh kawan-kawan yang lain ; Ridwan, Marco, Putu dan Hasyim.

“yeeh…sirik aja lu mah…udah sana pesen makanan !”, tegasku pada gerombolan genderuwo yang sudah kuketahui pasti tabiatnya bila sudah berkumpul satu meja denganku.
“Okeee…siap, bos !!!”, suara itu serempak mengudara bak koor penyanyi latar. Maka, karnaval bunyi-bunyian sendok, garpu yang dipadu dengan harmoni gelas dan piring pun tak dapat dihindari di menit-menit selanjutnya. Betapa senangnya melihat wajah kawan-kawanku yang sedang ber-lunch ria dalam pose free style atau mungkin kesurupan.

Ramainya suara yang hadir dari perbincangan, gelak tawaku dan kawan-kawan di meja cafeteria ini hampir-hampir terasa mencolok seperti tengah show off saja di mata mahasiswa-mahasiswi lain yang kebetulan juga sama-sama lapar atau sekadar ingin melepaskan kepenatannya. Ditambah ornamentasi blink-blink yang selalu setia menemaniku, mulai dari ponsel blueberry, I-pod sampai ke laptop…kusadari betul bahwa wajar saja bila ada kesan seperti itu yang mungkin saja terbersit di benak orang-orang yang ada di sekitarku. “Terserah lah apa kata mereka, toh memang begini lah adanya aku”, quote pribadi inilah yang selalu kupegang teguh selayaknya prinsip hidup yang kuyakini.

“Ko…lu temen sekelas si Vena kan ya ?”, tegasku singkat saja kepada Eko yang memang prajurit bayaranku yang paling setia. Ya, begitu lah…sampai-sampai aku yakin kalau suatu hari kusuruh dia telanjang di gerbang kampus pun bahkan misalnya, dia pasti mau asal dibayar !. Dasar Eko…anjing penjaga terbaik kelas dunia.

“Ya, bos…kenapa emang ?, jawab Eko penuh semangat seperti tahu saja ada order dari bosnya.

“Begini Ko…gue ngga mau tahu nih ya, gimanapun caranya lu harus dapat itu nomor ponsel si Vena. Oke ?”, kusampaikan detail pekerjaan yang harus dilaksanakan Eko sembari menyerahkan dua lembar uang pecahan seratus ribu rupiah.

“Buat ente-ente yang lain…kalau ada job nanti gue kontak”, kuambil inisiatif pembicaraan sebelum kawan-kawan yang lain juga merengek minta jatah macam si Eko.
“Huuuuh…payah !”, balas kawan-kawan yang mungkin kecewa. Teriakan yang paling keras jelas hadir dari mulut si Andi. Apa yang bisa kuberikan sebagai jawaban dari semua itu hanyalah gelengan kepala.

Ponselku berdering melantunkan lagu Dj. Tiesto yang memang kugemari. Segera kutengok, rupanya ada pesan masuk :

Gw tunggu lu di rumah.
Ada sesuatu yang perlu gw omongin. Peluang kontrak main di Klub besar Jawa Barat.
Kesempatan bro

Pengirim : Mario

Tanpa banyak pikiran yang macam-macam, kukemasi barang-barang bawaanku yang berserakan di meja. Ingin segera kumelangkah atau bahkan lari sekencang-kencangnya meninggalkan kampus.

“Gue cabut duluan bro, ada perlu. Bill pasti gue bayar lah, tenang aja !”, jelasku kepada kawan-kawan sebelum berangkat.
“Ngga kuliah lu ?”, tanya Hasyim yang heran melihatku karena tiba-tiba saja menjadi sibuk tak jelas.

Sambil tergesa-gesa menyelesaikan ini-itu di cafeteria, kujawab pertanyaan Hasyim tadi, “malaaa…aaaasssss !”.

Berlari, aku terus saja berlari…ke rumah Mario, ke gerbang masa depan yang memang kuimpikan semenjak kecil ; pemain bola profesional !!!.


(Bagian II Cerita Bersambung “Samba At-taqwa”. Terselesaikan di wanayasa, tepatnya di kamarku sendiri. 24 Juli 2009).

Label:

0 komentar:

Posting Komentar

Adsense Indonesia