Wanayasa, 17 Juli 2009. Hitamnya malam lambat laun merayap mendekati pekat yang menandai terhentinya siklus orkestra kebisingan modernitas yang biasa bergulir dari hari ke hari. Saya tengok jam dinding yang anehnya bergelayut dalam posisi doyong, jarum waktu tepat menunjukkan pukul 23.30. Di kursi butut yang secara “azali” konon disebut “sofa”, saya torehkan sedikit saja tulisan yang pada dasarnya adalah buah dari umpatan-umpatan abstrak yang berdengung tak tentu bentuk di otak saya. Hmmmh…mungkin “lamunan” akan terasa lebih “mengena”. Lebih konkret toh ?. Selebihnya, terasa jauh lebih populis dan “punya taste” saya pikir.
Kurang mantap rasa-rasanya “bercanda” dengan lamunan bila tidak ditemani dua “kawan” saya yang paling setia ; rokok dan segelas teh manis hangat. Tak lama berselang, tanpa banyak ba bi bu, saya siapkan segalanya dan kontan mulai tenggelam dalam lamunan. So, lengkaplah sudah jadinya rupa dasar dari narasi a la kadar yang saya suguhkan di sini (Baca : lamunan secangkir teh manis hangat).
Luar biasa !, banyak ternyata fragmen-fragmen lamunan yang mengendap di alam rasa dan nalar saya. Seakan saling berkejaran dia, tak mau kalah apalagi diabaikan. Alhamdulillah gumam saya, Tuhan masih memberikan rahmat-Nya kepada saya dalam wujud “pemimpi” yang kini bercokol di dalam jati diri saya. Sontak langsung teringat saya kepada sosok Andrea Hirata dalam tetralogi Laskar Pelangi yang digubahnya, ada rasa bangga yang diam-diam meng-ada (being) di benak saya—walau sepakat dengan apa yang diungkapkan Andrea Hirata, riskan memang jadi pemimpi di negeri ini (?). Ya, bukankah mimpi itu adalah salah satu energi yang cukup potensial untuk dijadikan “bahan bakar” survivalitas manusia di tengah pergulatan hidupnya ?.
Fragmen-fragmen lamunan itu hadir dalam “wajah” yang begitu kompleks, njlimet dan—bahkan—multidimensional. Sesekali misalnya, kilas bayangan “sesuatu” yang disebut skripsi berlalu-lalang begitu saja di pikiran saya. Aneh, ada rona kekhawatiran yang turut terlibat di sana. Dalam lamunan saya, buat apa skripsi secara substansial ?. Di tengah arus komodifikasi pendidikan, apa arti skripsi itu sendiri ?. Jangan-jangan hanya sekadar “katabelece” atau “key word” untuk tenaga kerja terampil yang siap dibayar murah ?. Sedemikian dalam toh gerusan gerusan reduksionisme pendidikan oleh dorongan logika industrialisme kontemporer ?, “wajar” tampaknya bila rona kekhawatiran saya ini muncul ke permukaan. Lebih ngeri lagi, dalam lamunan saya tentunya, terpotret seringai “birokrat kampus” yang tengah berjabat tangan begitu mesra dengan para pemodal dalam terali permainan bayangan (shadow play) bertajuk “link and match”. Jelas saya khawatir benar terhadap masa depan pendidikan “kita” seperti halnya kekhawatiran akademisi amerika yang terungkap dalam buku Masa Depan Universitas Amerika.
Belum lagi tiba-tiba hadir “penampakan” adik saya, anak perempuan yang tengah gamang menghadapi kelanjutan hari-harinya. Masih bersekolah dia, kini duduk di kelas tiga SMA. Ya, gamang memang. Bagaimana tidak ?!, di antara gelombang trafficking, sweat shop, pelecehan seksual yang saat ini merajalela di negeri ini, disanalah adik saya berdiri sembari cemas menatap realitas di sekitarnya. Nyaris menangis saya, bagaimana bila Siti Hajar (salah satu TKW Indonesia yang mengalami penyiksaan ; Pen) itu adalah adik saya ?. Semakin miris lagi, setelah membaca buku Moammar Emka yang berjudul “tumpang tindih”, bagaimana pula bila Vena, Maria, Sofie (nama-nama samaran hostes, stripper serta call girl ; Pen) dan sederet nama-nama yang lainnya itu juga adik saya ?. Sekadar melamun, semoga masih ada ruang dan kesempatan bagi adik saya untuk menjadi lebih terdidik di negeri ini.
Ibarat musik ber-genre trance yang progresif dan melodic, fragmen-fragmen lamunan saya itu terus saja timbul-tenggelam silih berganti. Begitu cepat sampai-sampai “hanya” satu citra konkret saja yang dapat saya kenali. Ya, entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja sosok manusia yang selama ini saya kenali sebagai mamah dan babeh menyatakan eksistensinya di ruang lamunan saya. Ah !, tragis saya pikir. Betul !, tragis !. Dua manusia Indonesia yang “dipaksa” terus produktif di masanya yang senja, bukankah itu tragis ?!. Teringat pengalaman traveling saya beberapa waktu ke belakang, di pasar tradisional wanayasa tepatnya, saya menikmati suguhan kuliner ketan bakar plus sambal oncom yang maknyos itu dari tangan wanita renta yang seharusnya menikmati masa-masa akhir hidupnya bersama anak dan cucunya. Bertanya-tanya juga akhirnya saya, apa arti dikotomi usia produktif dan tidak produktif di negeri ini ?
Tak terasa teh manis hangat sudah habis saya seruput. Begitu juga nasib si rokok yang saya hisap, kering-kerontang tak tersisa lagi dari bungkusnya. Saya akhiri lamunan yang saya rekam di buku catatan saya. Bergegas untuk tidur, hanya itu yang ada di otak saya. Tidur untuk bermimpi, tidur untuk menuntaskan lamunan-lamunan saya. Berharap ketika esok saya bangun, Indonesia telah benar-benar berubah. Semoga saja…
Baca dan Lawan !!!
Wanayasa, 17 Juli 2009
Rumahku yang bolong-bolong, sofaku yang semakin kusam…terima kasih.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar