Adsense Indonesia

Biarkan Dia Mati ; Sekadar Perspektif Politik Sederhana Menyoal Nalar (Politik) Kader HMI Cabang Purwakarta Yang Juga Sederhana

15.53 / Diposting oleh Widdy Apriandi /

Bahwa politik itu adalah ruang (space) yang sangat cair sebetulnya, sehingga ketika tersumbat saluran untuk berdinamisasi di dalam (inside), maka bukan berarti ekuivalen dengan ”tidak ada tempat sama sekali”. Demikian cetus politisi senior yang sempat saya temui tempo hari. Perbincangan yang sederhana saja sesungguhnya hemat saya, namun ternyata ”dalam”. Selebihnya, tak berlebihan-lah kiranya bila saya persepsi sebagai ”optimis” dan—bahkan—”inspiratif”.

Ya, begitu-lah. Lantas, saya renungkan begitu rupa celotehan politik itu. Kalkulasi-kalkulasi idea terus saja berkejaran. Nyaris kontinu, berkesinambungan seakan tak selesai-selesai. Saya terkesima, bagaimana pula logika politik yang sederhana itu bisa begitu luas pemaknaannya—baik itu di dataran konsepsi maupun interpretasi praksis-nya ?. Sekali lagi, saya katakan ”luar biasa !” ; sederhana tetapi luas dan cerdas !.

Terus, iseng-iseng, saya bawa alam pemikiran bebas yang saya singgung itu ke dunia aktual yang sedang saya jalani saat ini. Tentang mahasiswa, tentang dunia yang ”digagahinya”, tentang organisasi yang dijadikan motor realisasi dirinya, tentang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)—lebih khusus HMI Cabang Purwakarta, singkat kata demikian. Luar biasa nian pikir saya bilamana dinamika yang seperti demikian itu bisa hidup di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta. Lebih dari itu, bukan-kah luar biasa pula bila kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta—bahkan—bisa memainkan peran tersebut ?. Bayangkan saja bagaimana personalisasi kader dengan kapasitas personal seperti itu ?. Tak ragu lagi, berbekal kemampuan (skill) dan pengalaman (experience) itu, ”pantas” dan ”wajar” bila kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dimahkotai gelar (yang tentunya bukan ”anugerah” tetapi capaian perjuangan ; Pen) kualifikasi diri bertajuk ”avant garde” (sang pelopor).

Politik dan (organisasi) mahasiswa...kok ?, bisa jadi terbit pertanyaan seperti demikian. Lebih lanjut, bicara HMI kok ditarik ke pretensi politik sih ?. Pertanyaan itu juga sah-sah saja menurut saya kalau bergulir lepas dari gudang dialektika pemikiran kader-kader HMI Cabang Purwakarta. Toh nilai ”adiluhung” yang dicerap kader-kader HMI adalah seputar kritisisme, inklusifisme dan gaya berpikir open minded (berpikir terbuka), so what dengan pertanyaan se-model itu ?.

Tidak menjadi persoalan yang mendasar dan prinsipil lah !, biarkan kader memiliki platform pemikiran yang seperti demikian (barangkali sedang mencari-cari ; Pen). Justru yang membuat pelik perkara adalah ketika kader cenderung jijik dan apatis manakala bersinggungan dengan sodoran fenomena politis. Ini ngeri. Lebih dalam lagi, wah repot !, karena klimaks dari tumpukan persoalan ini adalah bertambahnya jumlah kasus ”kebutaan politik” (political literacy) Kab. Purwakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya yang nota bene merupakan anasir kontra-produktif dalam konteks demokratisasi Indonesia. Kalau sudah begini, apa arti eksistensi HMI dengan segala pernak-pernik ornamentasi nilai-nilai organisasinya di bumi Indonesia ini ?. Atas dasar itu, tanpa beban saja perasaan saya ini tatkala sesekali me-reka kreasi dalam bentuk tulisan a la kadar yang kurang lebih mempergunjingkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dalam perspektif politik.

Ada semacam geliat keingintahuan (curious) yang mengalir enteng di otak saya, tabir apa pula sebenarnya yang ”menghalangi” (dan selanjutnya bahkan diberikan point legitimasi kebenaran untuk hal tersebut ; Pen) kajian organisasi kemahasiswaan semacam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam koridor issue politik, sehingga terkadang ditimpali justifikasi etik ”tidak etis” atau—tidak menutup kemungkinan—”tabu”?. Menjawab pertanyaan tersebut, sederhana saja hemat pemikiran saya, yaitu bahwa secara fundamental tidak ada atau—boleh jadi—tidak rasional bila harus diabaikan begitu saja. Saya katakan seperti itu, karena toh se-kompleks apapun bentuk, nilai serta building capacity suatu organisasi, tetap saja persoalan politik itu bak aliran darah yang mengalir didalamnya. Pun demikian halnya dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta, tidak terlepas dari jerat problematika politik yang juga ada (exist) di keseharian sirkulasi eksistensinya. Dari sudut pandang ini, ”harus”-lah saya kira sesekali waktu ruang (space) pemberdayaan (empowerment) politik kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dibuka sampai ke proporsi yang sangat terbuka sekalipun.

Saya kaji persoalan ini—secara kasuistis—dari fenomena pengambilan kebijakan (policy)—baik yang tercermin dari manifestasi sikap serta kebijakan-kebijakan tertulis organisasi—Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta selama hampir satu semester ini (baca : di periode 2008-2009). Saya rangkum hasil penafsiran saya itu ke dalam peristilahan simbolik yang saya sebut ”biarkan dia mati” yang merefleksikan bagaimana Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sebagai ”sentrum politik” (dalam artian locus pengambilan kebijakan strategis ; Pen) relatif tidak memiliki kualifikasi political skill yang mumpuni untuk mengelola (manage) dinamika perpolitikan di wilayah kerja cabang Purwakarta. Bukan sekadar isapan jempol tentu. Sebaliknya, banyak temuan fakta (facts finding) yang saya pikir kontekstual untuk mendeskripsikan apa-apa yang saya kemukakan ini. Mulai dari katakanlah proses formalisasi kepengurusan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sedari mula yang terkesan ”menghendaki” fragmentasi politik (karena tidak terbangunnya komunikasi politik yang baik dari para agent yang ”bermain” ; Pen) alih-alih re-konsolidasi politik sampai ke kebijakan tidak populis yang mengantarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Situ Buleud terlegitimasi sebagai ”komisariat persiapan”, fenomena organisatoris seperti ini saya pikir relevan untuk ”mengkotaki” kapasitas personal para pengurus HMI Cabang Purwakarta di koridor paradigma politik ”biarkan dia mati” seperti halnya saya tegaskan sebelumnya. Tidak selesai dengan hanya itu, kondisi ini diperparah—bahkan—dengan tampilan (feature) kenyataan sosial yang secara faktual memberikan kesaksian tentang ”diamnya” (silences) elemen-elemen politik lain semisal HMI komisariat di wilayah kerja cabang Purwakarta yang seharusnya menjadi alat kontrol. Apakah ini indikator positif menguatnya paradigma politik ”biarkan dia mati” sampai ke titik hegemonisasinya ?. Dalam lain interpretasi, semapan itukah kekuasaan (authority) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta, sehingga mampu meng-atas-i secara ”mutlak” elemen-elemen politik lain diluarnya (yang ditandai dengan diamnya komisariat ; Pen) dan bisa melahirkan produk-produk politik apapun dengan begitu lengang tanggapan ?.

Saya bertanya-tanya karena keheranan, kenapa paradigma politik ”biarkan dia mati” itu bisa begitu menguat sekaligus meluas sinyalemennya di wilayah kerja cabang Purwakarta ?. Lebih heran lagi, mindset (pola pikir) politik seperti itu seakan diterima baik (well accepted) dan hampir ”membudaya” boleh jadi. Padahal sederhana, sederhana sekali. Padahal kerdil, sangat kerdil. Tapi, itu dicerap begitu saja. Ada apa dengan (kader) HMI di wilayah kerja cabang Purwakarta, sehingga model tata-kelola politik yang ”hanya” seperti demikian pun diakses untuk menghidupi dinamika politik HMI di wilayah kerja cabang Purwakarta ?, demikian pertanyaan susulan yang melintas di otak saya. Kok ”kanibalisme” eksistensi kader dilabeli merk moral ”benar” dan diperkuat dengan legitimasi politik kekuasaan HMI Cabang Purwakarta ?.
Satu hal saja yang dalam hal ini saya cermati secara serius, yaitu bahwa begitu lebar kesenjangan kekuatan (force) politik HMI Cabang Purwakarta dengan elemen-elemen politik diluarnya di wilayah kerja cabang Purwakarta. Begitu lebarnya, sehingga tidak terbangun dialog yang seimbang antara kutub dominant culture yang dimainkan oleh HMI Cabang Purwakarta dengan kutub sub-culture yang sebetulnya potensial diperankan oleh kader-kader HMI Komisariat misalnya. Akhirnya timpang, akhirnya terbangun hegemoni yang meniscayakan nihilnya energi-energi koreksi.

Maka, saya pikir pas argumentasi yang disampaikan politisi senior yang saya ceritakan di awal. Apa yang dibutuhkan hari ini adalah ”hidup”-nya lingkar sub-culture yang berdiri berani dan tegas di luar ruang dominant culture HMI Cabang Purwakarta. HMI Komisariat, sekali lagi saya ulangi, potensial untuk melakukan itu.

Persoalannya adalah tinggal kesadaran dan keberanian (encourage) kawan-kawan komisariat untuk mendemonstrasikan idea tersebut ?. Selanjutnya, tentu harus disisipi pula dengan harapan yang sama-sama ”kita” panjatkan bahwa semoga tidak ada tangan gaib (invisible hand) atau ”faktor x” yang menyebabkan goyahnya kontruksi pembelajaran politik sebagaimana saya paparkan di sini.

Akhirul kalam, saya titipkan sebuah perenungan yang mudah-mudahan mampu ditangkap essensinya oleh kawan-kawan yang hari ini berkesempatan hidup di lingkungan HMI Cabang Purwakarta. Di tahapan awal formulasi kepengurusan HMI Cabang Purwakarta, langkah-langkah yang kawan-kawan lakukan adalah suatu sikap politik dengan ”warna” yang kawan-kawan sepakati (terlepas apapun itu visi dan niatannya ; Pen). Lantas, bagaimana bila model penterjemahan itu juga diambil oleh kawan-kawan HMI Komisariat Situ Buled yang hari ini diturunkan statusnya menjadi komisariat persiapan ?. Lebih konkret lagi, bagaimana bila ”diam” dan ”beku”-nya HMI Komisariat Situ Buleud (yang memberikan celah legitimasi untuk diturunkan statusnya ; Pen) adalah juga suatu sikap politik ?. Semoga tidak ada standar ganda yang diambil untuk konteks persoalan ini.

Wallahu’alam Bisshowab...



Purwakarta, 26 Juli 2009
Itu saya menulis di Kampus STIE Muttaqien, tepatnya di Warnet Kampus
Sembari minum kopi, sembari senyum-senyum santai setelah selesai merevisi skripsi,
Sembari senang-senang karena bermain mafia wars yang belum tentu kawan-kawan bisa memainkannya

Label:

0 komentar:

Posting Komentar

Adsense Indonesia