Bahwa politik itu adalah ruang (space) yang sangat cair sebetulnya, sehingga ketika tersumbat saluran untuk berdinamisasi di dalam (inside), maka bukan berarti ekuivalen dengan ”tidak ada tempat sama sekali”. Demikian cetus politisi senior yang sempat saya temui tempo hari. Perbincangan yang sederhana saja sesungguhnya hemat saya, namun ternyata ”dalam”. Selebihnya, tak berlebihan-lah kiranya bila saya persepsi sebagai ”optimis” dan—bahkan—”inspiratif”.
Ya, begitu-lah. Lantas, saya renungkan begitu rupa celotehan politik itu. Kalkulasi-kalkulasi idea terus saja berkejaran. Nyaris kontinu, berkesinambungan seakan tak selesai-selesai. Saya terkesima, bagaimana pula logika politik yang sederhana itu bisa begitu luas pemaknaannya—baik itu di dataran konsepsi maupun interpretasi praksis-nya ?. Sekali lagi, saya katakan ”luar biasa !” ; sederhana tetapi luas dan cerdas !.
Terus, iseng-iseng, saya bawa alam pemikiran bebas yang saya singgung itu ke dunia aktual yang sedang saya jalani saat ini. Tentang mahasiswa, tentang dunia yang ”digagahinya”, tentang organisasi yang dijadikan motor realisasi dirinya, tentang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)—lebih khusus HMI Cabang Purwakarta, singkat kata demikian. Luar biasa nian pikir saya bilamana dinamika yang seperti demikian itu bisa hidup di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta. Lebih dari itu, bukan-kah luar biasa pula bila kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta—bahkan—bisa memainkan peran tersebut ?. Bayangkan saja bagaimana personalisasi kader dengan kapasitas personal seperti itu ?. Tak ragu lagi, berbekal kemampuan (skill) dan pengalaman (experience) itu, ”pantas” dan ”wajar” bila kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dimahkotai gelar (yang tentunya bukan ”anugerah” tetapi capaian perjuangan ; Pen) kualifikasi diri bertajuk ”avant garde” (sang pelopor).
Politik dan (organisasi) mahasiswa...kok ?, bisa jadi terbit pertanyaan seperti demikian. Lebih lanjut, bicara HMI kok ditarik ke pretensi politik sih ?. Pertanyaan itu juga sah-sah saja menurut saya kalau bergulir lepas dari gudang dialektika pemikiran kader-kader HMI Cabang Purwakarta. Toh nilai ”adiluhung” yang dicerap kader-kader HMI adalah seputar kritisisme, inklusifisme dan gaya berpikir open minded (berpikir terbuka), so what dengan pertanyaan se-model itu ?.
Tidak menjadi persoalan yang mendasar dan prinsipil lah !, biarkan kader memiliki platform pemikiran yang seperti demikian (barangkali sedang mencari-cari ; Pen). Justru yang membuat pelik perkara adalah ketika kader cenderung jijik dan apatis manakala bersinggungan dengan sodoran fenomena politis. Ini ngeri. Lebih dalam lagi, wah repot !, karena klimaks dari tumpukan persoalan ini adalah bertambahnya jumlah kasus ”kebutaan politik” (political literacy) Kab. Purwakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya yang nota bene merupakan anasir kontra-produktif dalam konteks demokratisasi Indonesia. Kalau sudah begini, apa arti eksistensi HMI dengan segala pernak-pernik ornamentasi nilai-nilai organisasinya di bumi Indonesia ini ?. Atas dasar itu, tanpa beban saja perasaan saya ini tatkala sesekali me-reka kreasi dalam bentuk tulisan a la kadar yang kurang lebih mempergunjingkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dalam perspektif politik.
Ada semacam geliat keingintahuan (curious) yang mengalir enteng di otak saya, tabir apa pula sebenarnya yang ”menghalangi” (dan selanjutnya bahkan diberikan point legitimasi kebenaran untuk hal tersebut ; Pen) kajian organisasi kemahasiswaan semacam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam koridor issue politik, sehingga terkadang ditimpali justifikasi etik ”tidak etis” atau—tidak menutup kemungkinan—”tabu”?. Menjawab pertanyaan tersebut, sederhana saja hemat pemikiran saya, yaitu bahwa secara fundamental tidak ada atau—boleh jadi—tidak rasional bila harus diabaikan begitu saja. Saya katakan seperti itu, karena toh se-kompleks apapun bentuk, nilai serta building capacity suatu organisasi, tetap saja persoalan politik itu bak aliran darah yang mengalir didalamnya. Pun demikian halnya dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta, tidak terlepas dari jerat problematika politik yang juga ada (exist) di keseharian sirkulasi eksistensinya. Dari sudut pandang ini, ”harus”-lah saya kira sesekali waktu ruang (space) pemberdayaan (empowerment) politik kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dibuka sampai ke proporsi yang sangat terbuka sekalipun.
Saya kaji persoalan ini—secara kasuistis—dari fenomena pengambilan kebijakan (policy)—baik yang tercermin dari manifestasi sikap serta kebijakan-kebijakan tertulis organisasi—Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta selama hampir satu semester ini (baca : di periode 2008-2009). Saya rangkum hasil penafsiran saya itu ke dalam peristilahan simbolik yang saya sebut ”biarkan dia mati” yang merefleksikan bagaimana Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sebagai ”sentrum politik” (dalam artian locus pengambilan kebijakan strategis ; Pen) relatif tidak memiliki kualifikasi political skill yang mumpuni untuk mengelola (manage) dinamika perpolitikan di wilayah kerja cabang Purwakarta. Bukan sekadar isapan jempol tentu. Sebaliknya, banyak temuan fakta (facts finding) yang saya pikir kontekstual untuk mendeskripsikan apa-apa yang saya kemukakan ini. Mulai dari katakanlah proses formalisasi kepengurusan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sedari mula yang terkesan ”menghendaki” fragmentasi politik (karena tidak terbangunnya komunikasi politik yang baik dari para agent yang ”bermain” ; Pen) alih-alih re-konsolidasi politik sampai ke kebijakan tidak populis yang mengantarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Situ Buleud terlegitimasi sebagai ”komisariat persiapan”, fenomena organisatoris seperti ini saya pikir relevan untuk ”mengkotaki” kapasitas personal para pengurus HMI Cabang Purwakarta di koridor paradigma politik ”biarkan dia mati” seperti halnya saya tegaskan sebelumnya. Tidak selesai dengan hanya itu, kondisi ini diperparah—bahkan—dengan tampilan (feature) kenyataan sosial yang secara faktual memberikan kesaksian tentang ”diamnya” (silences) elemen-elemen politik lain semisal HMI komisariat di wilayah kerja cabang Purwakarta yang seharusnya menjadi alat kontrol. Apakah ini indikator positif menguatnya paradigma politik ”biarkan dia mati” sampai ke titik hegemonisasinya ?. Dalam lain interpretasi, semapan itukah kekuasaan (authority) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta, sehingga mampu meng-atas-i secara ”mutlak” elemen-elemen politik lain diluarnya (yang ditandai dengan diamnya komisariat ; Pen) dan bisa melahirkan produk-produk politik apapun dengan begitu lengang tanggapan ?.
Saya bertanya-tanya karena keheranan, kenapa paradigma politik ”biarkan dia mati” itu bisa begitu menguat sekaligus meluas sinyalemennya di wilayah kerja cabang Purwakarta ?. Lebih heran lagi, mindset (pola pikir) politik seperti itu seakan diterima baik (well accepted) dan hampir ”membudaya” boleh jadi. Padahal sederhana, sederhana sekali. Padahal kerdil, sangat kerdil. Tapi, itu dicerap begitu saja. Ada apa dengan (kader) HMI di wilayah kerja cabang Purwakarta, sehingga model tata-kelola politik yang ”hanya” seperti demikian pun diakses untuk menghidupi dinamika politik HMI di wilayah kerja cabang Purwakarta ?, demikian pertanyaan susulan yang melintas di otak saya. Kok ”kanibalisme” eksistensi kader dilabeli merk moral ”benar” dan diperkuat dengan legitimasi politik kekuasaan HMI Cabang Purwakarta ?.
Satu hal saja yang dalam hal ini saya cermati secara serius, yaitu bahwa begitu lebar kesenjangan kekuatan (force) politik HMI Cabang Purwakarta dengan elemen-elemen politik diluarnya di wilayah kerja cabang Purwakarta. Begitu lebarnya, sehingga tidak terbangun dialog yang seimbang antara kutub dominant culture yang dimainkan oleh HMI Cabang Purwakarta dengan kutub sub-culture yang sebetulnya potensial diperankan oleh kader-kader HMI Komisariat misalnya. Akhirnya timpang, akhirnya terbangun hegemoni yang meniscayakan nihilnya energi-energi koreksi.
Maka, saya pikir pas argumentasi yang disampaikan politisi senior yang saya ceritakan di awal. Apa yang dibutuhkan hari ini adalah ”hidup”-nya lingkar sub-culture yang berdiri berani dan tegas di luar ruang dominant culture HMI Cabang Purwakarta. HMI Komisariat, sekali lagi saya ulangi, potensial untuk melakukan itu.
Persoalannya adalah tinggal kesadaran dan keberanian (encourage) kawan-kawan komisariat untuk mendemonstrasikan idea tersebut ?. Selanjutnya, tentu harus disisipi pula dengan harapan yang sama-sama ”kita” panjatkan bahwa semoga tidak ada tangan gaib (invisible hand) atau ”faktor x” yang menyebabkan goyahnya kontruksi pembelajaran politik sebagaimana saya paparkan di sini.
Akhirul kalam, saya titipkan sebuah perenungan yang mudah-mudahan mampu ditangkap essensinya oleh kawan-kawan yang hari ini berkesempatan hidup di lingkungan HMI Cabang Purwakarta. Di tahapan awal formulasi kepengurusan HMI Cabang Purwakarta, langkah-langkah yang kawan-kawan lakukan adalah suatu sikap politik dengan ”warna” yang kawan-kawan sepakati (terlepas apapun itu visi dan niatannya ; Pen). Lantas, bagaimana bila model penterjemahan itu juga diambil oleh kawan-kawan HMI Komisariat Situ Buled yang hari ini diturunkan statusnya menjadi komisariat persiapan ?. Lebih konkret lagi, bagaimana bila ”diam” dan ”beku”-nya HMI Komisariat Situ Buleud (yang memberikan celah legitimasi untuk diturunkan statusnya ; Pen) adalah juga suatu sikap politik ?. Semoga tidak ada standar ganda yang diambil untuk konteks persoalan ini.
Wallahu’alam Bisshowab...
Purwakarta, 26 Juli 2009
Itu saya menulis di Kampus STIE Muttaqien, tepatnya di Warnet Kampus
Sembari minum kopi, sembari senyum-senyum santai setelah selesai merevisi skripsi,
Sembari senang-senang karena bermain mafia wars yang belum tentu kawan-kawan bisa memainkannya
Biarkan Dia Mati ; Sekadar Perspektif Politik Sederhana Menyoal Nalar (Politik) Kader HMI Cabang Purwakarta Yang Juga Sederhana
Pagi-pagi ceritanya, lari-lari begitu juga saya ceritanya. Bukan sombong bukan apa, tapi ya begitu lah…terpaksa ! (sumpah !). Gara-gara si mamih sih sebetulnya yang mengajak-ajak saya untuk ikut lari pagi yang menyebabkan saya pagi-pagi sudah lari-lari. Dasar itu si mamih…dapat wangsit katanya tadi malam. Itu dia cerita lewat SMS yang dikirimkannya pasti ke handphone saya yang tentu saja bukan handphone si mamah apalagi handphone tetangga yang galaknya minta ampun itu. Bilang saja begini dianya yang ya ampun tanpa diminta :
Pokony papih hrs ikt lari pagi ini…
lez, GPL !!!
Aih itu si mamih…pakai “GPL” segala kayak sayanya tukang batagor ajah. Pasti itu artinya “Gak Pake Lama” yang mengakibatkan harus buru-buru saya balas itu SMS. Pastilah itu si mamih tidak mau tahu urusan apa pun selain sayanya harus segera balas, sehingga terjadi kegiatan balas membalas SMS. Ok lah, saya balaslah itu SMS si mamih daripada nanti masalahnya semakin panjang, terus panjang, terus, terus, terus sampai si mamih kapok kirim SMS ke sayanya :
Iah…hayu !!!
Jadinya saya bangun pagi-pagi setengah hati. Maksudnya setengah buat si mamih, setengah buat si kasur saya yang kelihatan semakin empuk saja dari menit ke menit. Saya pun berkaca-lah di cermin setelah pakai sabun, odol dan sikat gigi yang mungkin maksudnya adalah mandi. Itu saya sedang mematut-matut muka apa adanya yang beda dua SMS saja dari si Dellon. Semua orang sudah tahu toh, jadi tidak usahlah diperdebatkan lebih jauh. Buang-buang waktu. Ok ?!.
Sudah di luar rumah. Jangan tanya siapa yang sudah di luar rumah, karena sudah pasti itu saya. Lihat banyak orang berlalu-lalang, lihat juga Si mamih yang tampaknya sedang nyengir begitu di sepeda motor yang dibawanya dari rumah. Itu juga saya, pokoknya saya lah.
Emmm…si mamih basa-basi di pagi hari. Saya tengok kanan-kiri, mungkinkah si mamih sedang ingin ikutan shooting acara termehek-mehek ?. Aneh si mamih, bikin saya kepingin tidur lagi, mimpi lagi, ketemu bidadari lagi.
Pih…udah makan ?, kata si mamih. Saya diam, manyun tepatnya. Pih, udah mandi ?, kata si mamih lagi. Saya diam lagi, manyun lagi tepatnya. Pih…ngambek ke mamih ?. Otomatis saya diam lagi dan manyun lagi lah…pasti !. Pih…berani ke mamih manyun-manyun segala gitu ?, kata si mamih yang aduhai plus seringai trio macan tutul. Hehe…ngga mih, ampuuun, kata saya yang akhirnya harus tersenyum senang daripada dijitak.
Sampailah saya dan si mamih di lokasi lari yang entah bagaimana awalnya tiba-tiba saya dan si mamih tahu saja bahwa itu lokasi namanya Situ Buled. Lari-lari jadinya, berkeringat jadinya. Terus pegal, terus linu, terus haus.
Jadinya duduk-duduk setelah lari-lari. Terus minum-minum, terus makan-makan. Pih…tadi malam mamih mimpi jadi langsing, celetuk si mamih. Saya diam manggut-manggut mencoba mendengarkan atau yang dalam istilah populer disebut ngaregepkeun !. Tidak berkata apa-apa, karena mulut saya sedang sibuk makan yang mengakibatkan tidak bisa diganggu. Serius sekali itu si mamih cerita-cerita sampai-sampai saya bingung itu si mamih apa wa kepoh sih. Badan mamih jadi mirip dian sastro pih, beneran !. Mamih jalan-jalan di catwalk, banyak orang lihat mamih, celoteh si mamih yang panjang bercerita.
Saya : Papih ikut liat ga mih ? (wkkkakwakkkak—maksudnya nanya sambil makan).
Si Mamih : Ngga ada tuh pih…kemana atuh pih kok ga ada yah ?
Saya : Euh mamih mah…
Si mamih : Hehe…
Saya :
Si mamih : yeeehhhh….
Oh…itu maksudnya. Oh…itu intinya. Oh…buat itu toh lari-lari pagi-pagi ini itu. Mau diet katanya. Biar langsing katanya. Ingin jadi kayak dian sastro katanya.
Oh…si mamih yang ingin langsing seperti dian sastro. Jahat itu wangsit yang datang malam tadi ke si mamih. Kenapa harus dian sastro ?. Jadinya si mamih kepingin diet yang menyebabkan dianya mendadak ingin terus lari-lari pagi-pagi. Jahat itu wangsit, sehingga si mamih jadi jarang makan. Terus sakit lambungnya dikarenakan maag. Jadinya ngga bisa ketemuan sama saya, jadinya saya rindu, jadinya saya khawatir.
Padahal aduh itu si mamih….saya sayang dianya apa adanya. Biar selintas menyerupai kaleng kerupuk, biar-lah saya tetap cinta. Biar imut-imut kayak bayi trenggiling, sungguh saya sayang kamu seperti itu.
Purwakarta, 20 Juni 2009
Nirwana yang telah berlalu
Mamih—telepon aku
Saya dan Kritik Buat Perpustakaan Daerah Purwakarta
Oleh : Widdy Apriandi *
Wallahu’alam Bisshowab...
* Penulis adalah Koordinator Dewan Pengarah
re[d]sistance (Reading Society and Resistance Alliance) – Purwakarta
(Jaclov Havel)
Lewat dari satu dekade sudah bangsa dan Negara Indonesia meretas jalan meraih kehidupan yang lebih baik pasca momentum people power yang populis dikenal sebagai “reformasi 1998”. Lebih kurang 11 tahun bahkan lebih tepatnya andaikata ditarik—secara relatif definitif—ruang lingkup historisitasnya ; terhitung sejak mei 1998 hingga sekarang (2009). Perubahan demi perubahan otomatis terjadi tanpa mampu terelakkan lagi dalam kurun waktu tersebut, terlepas dari apakah perubahan sebagaimana dimaksud berputar di locus struktural atau justru lebih terkonsentrasi di ranah kultural ke-Indonesia-an. Urat nadi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia seakan benar-benar “hidup”, tak lagi sekadar ada (exist) dan bergerak namun semu (absurd) eksistensinya seperti pernah mengemuka di orde kehidupan Indonesia sebelumnya. Menemukan kembali semangat (spirit) yang boleh jadi sempat sirna, setiap eksponen bangsa dan Negara Indonesia (kembali) bergejolak dinamis layaknya diterpa angin renaissance yang mencerahkan (enlightening) eropa dari abad kegelapannya. Terbit visi “baru”, kemudian komitmen-komitmen perjuangan kontemporer yang selaras dengan kehendak kolektif civitas bangsa dan Negara Indonesia ke-kini-an.
Pada area penelaahan inilah sebetulnya karya a la kadarnya ini menjejakkan kakinya di muka bumi. Bahwa kilasan puspa ragam paradoks masih tetap mewujud di seputar ruang (space) “perubahan” bangsa dan negara Indonesia, demikianlah buah kesadaran (consciousness) yang menancap di benak tim penyusun. Kegelisahan ini kemudian dijawab secara “taktis” lewat kesaksian yang dituturkan dalam karya sederhana sebagaimana kini hadir menyapa ruang pemikiran para pembaca sekalian.
Disadari betul, jelas begitu kompleks besaran “wilayah” paradoks perubahan bangsa dan negara Indonesia seperti telah disinggung sebelumnya. Analisis sektoral—pada konteks permasalahan ini—dengan demikian mau tidak mau harus diambil sebagai suatu opsi pembedahan persoalan yang paling “rasional” demi menjawab tantangan “kepentingan” yang include (terintegrasi) dalam “jati diri” karya ini. Di lain sisi, keterbatasan kapasitas serta kompetensi tim penyusun pun menjadi persoalan lain yang ternyata juga harus direspon dan disadari benar oleh tim penyusun.
Domestifikasi persoalan yang dalam hal ini lebih didorong ke issue good governance (pemerintahan yang baik) dan selanjutnya lebih dikerucutkan lagi ke persoalan pemberantasan korupsi merupakan manifestasi konkret dari upaya analisis sektoral seperti halnya telah disebutkan di atas. Sekali lagi, bukan tanpa alasan mendasar tentu saja. REAKSI (Relawan Anti Korupsi) sebagai salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam ikhtiar pemberantasan korupsi secara konsisten dan berkesinambungan (sustainable) merasa terpanggil dan—selebihnya—berkepentingan untuk menyuarakan idealismenya.
“Mengawal Good Governance ; Refleksi REAKSI dalam agenda suksesi pemerintahan tanpa korupsi” adalah simbolisasi aksi kreatif REAKSI (Relawan Anti Korupsi) dalam ikhtiar pembumian platform perjuangan pemberantasan korupsi yang diupayakannya.
Tim Penyusun
(Subcomandante Marcos)
Prolog…
Terbukalah tirai semu kehidupan kampus. Kini, tak seperti dulu lagi, saya mampu melihat jejaring kepentingan elit borjuis yang dititipkan di kampus ini. Kini, jauh dari kondisi kesadaran saya di waktu-waktu sebelumnya, saya sadari bahwa muatan pendidikan yang saya tempuh ini tak pernah sekalipun berkehendak menciptakan manusia-manusia yang bertipikal merdeka. Tidak !, tak ada itu idealisasi pendidikan untuk pembebasan. Tidak !, saya tidak dibentuk untuk menjawab tantangan itu.
Semakin larut saya dalam buku dan kekuatan kata-katanya. Di samping saya tergolek buku yang baru saja saya baca, Catatan Seorang Demonstran dan Dari Sierra Maestra Ke Havana. Mati muda...apakah saya juga akan mengalaminya ?.
Lorong Perenungan Proletariat – Purwakarta
WIDDY APRIANDI
[1] Penulis adalah Mahasiswa STIE DR. KHEZ Muttaqien – Purwakarta sekaligus Koord. Dewan Pengarah re[d]sistance (Reading Society and Resistance Alliance)
Selayang Pandang Buku Sayanya "Melawan Dari Kampus" By : Eko Prasetyo
Ayo kita selamatkan Demokrasi & Mari kita bunuh Oligarkhi
Oleh : Eko Prasetyo
Runyamnya prinsip demokrasi memang diawali dari dibajaknya kepentingan publik untuk memuaskan kepentingan para saudagar. Di masa kolonial VOC mungkin jadi pengandaian yang tepat dari kekuasaan saudagar yang berlimpah. Mereka bukan hanya urus perdagangan lada melainkan juga memfasilitasi perundingan. Tak jarang VOC juga mempengaruhi para raja untuk bertingkah seperti boneka Eropa. Berpesta sambil minum bir atau raja ditempeli dengan berbagai tanda penghargaan. VOC adalah sayap perdagangan yang semula hanya mau cari untung tapi berbalik keinginan menjadi penguasa. Walau VOC kemudian jatuh dan gagal tapi gagasan besarnya yang ingin menyatukan keinginan menumpuk laba dan berkuasa masih menjadi keyakinan yang menebal.
Dengan cekatan Soeharto mulai meniru apa yang dilakukan oleh VOC tempo dulu. Padanya kekuasaan kembali memusat dan kontrol dilakukan dengan gaya yang sadis. Di dalam tubuh kekuasaanya, keluarga Cendana menjadi miniatur dari memusatnya kuasa ekonomi dengan pengaruh politik. Memompa doktrin persatuan dan kesatuan Soeharto mulai menciptakan tradisi politik yang bersandar pada kekerasan dan loyalitas. Ada banyak pengusaha berjubel untuk menanti restu politiknya. Deretan saudagar ini berkelompok dalam sebuah perserikatan yang mulai melakukan kapling baik atas sumber daya ekonomi maupun sumber kekuasaan politik. Walau Soeharto sudah jatuh tapi Cendana berhasil dalam menikahkan hubungan antara saudagar dengan politisi.
Relasi yang erat ini dihidupkan oleh berlakunya demokrasi prosedural. Satu sistem yang menganut demokrasi hanya sebatas pada penciptaan lembaga. Fasilitas demokrasi yang seperti ini bukan hanya memakan ongkos besar melainkan juga mengabaikan kebutuhan-kebutuhan riil rakyat. Pokok persoalanya berawal dari sana, bagaimana sistem demokrasi tambah menghasilkan keputusan-keputusan yang menganiaya rakyat. Proyek privatisasi telah meluncurkan program pendidikan dan kesehatan menjadi mahal dan tidak bisa diakses oleh rakyat miskin. Tata kota yang disulap telah menjerumuskan pedagang kaki lima dalam keterjepitan kemiskinan. Sama halnya dengan penyesuaian harga BBM yang menaikkan harga bahan-bahan kebutuhan pokok.
Bencana kebijakan semacam ini merupakan imbas dari persekutuan najis antara demokrasi prosedural dengan proyek fundamentalisme pasar. Jika dulu serdadu menjadi lapisan yang aktif mengamankan ambisi penguasa kini kumpulan para bandit yang menjadi sekutu baru. Bandit-bandit ini hidup subur karena hukum maupun pejabatnya telah berlumuran kotoran. Mereka menjalankan bisnis illegal dengan perlindungan maksimal dari aparat penegak hukum. Bisnis yang dikelola begitu beragam, dari perdagangan obat terlarang hingga penjualan anak. Jepitan kemiskinan membuat ikhitiar para bandit ini mendapat ladang yang subur. Lagi-lagi bandit menjadi sayap berpengaruh karena sistem yang berjalan masih mempertahankan keberadaan orang-orang lama. Mereka sekedar berganti baju tapi memiliki mandat dan kepentingan yang sama.
Kini giliran partai politik yang sibuk untuk dikuasai oleh kelompok oligarkhis. Dengan fungsi-fungsi yang dilumpuhkan partai politik kemudian menjadi tangga bagi sekelompok orang untuk duduk di kursi kekuasaan. Perebutan untuk duduk di kursi ketua jauh lebih penting ketimbang bicara pengembangan program. Rekruitmen maupun pendidikan politik yang tidak dikerjakan tercermin dari mudahnya anggota partai untuk angkat kaki pindah ke partai lain. Partai diisi oleh sejumlah orang lama yang tak ingin pergi dari lingkaran kekuasaan. Dilema yang kemudian menggigit partai adalah tiadanya ideologi yang mengikat partai untuk setia pada programnya. Buruknya keadaan ini diperuncing oleh fragmentasi yang ada dalam partai politik akibat dari menguatnya feodalisme dan jaringan kepentingan yang saling melindungi. Kehidupan partai politik di Indonesia seperti guci unik yang mudah pecah karena tersenggol.
Berkaca dari tulisan Coen Husein Pontoh kita bisa melihat dengan jeli bagaimana sumber kekuasaan yang dikuasai oleh komplotan bandit ini juga berjalan disini. Masih kuat sinyal ingatan kita pada perkara korupsi yang ada di KPU. Sudah tentu kita juga ingat akan korupsi berjamaah yang dilakukan oleh anggota Dewan yang tidak terhormat. Fasilitas-fasilitas demokrasi yang tercemar dengan suap dan korupsi ini akan membuat publik kecewa bahkan geram. Kecewa karena demokrasi tidak mengantarkan kedaulatan melainkan kediktatoran para saudagar. Geram karena partai hanya jadi alat untuk berkumpulnya kekuatan lama yang ingin berkuasa kembali. Jebakan demokrasi yang getir ini memberikan alarm pada semua aktivis gerakan. Masanya bukan sekedar konsolidasi tetapi membuat langkah-langkah taktis yang berguna bagi kehidupan rakyat.
Langkah yang utama adalah memetakan kembali dimana sendi kekuatan gerakan demokrasi. Memetakan baik agenda, aktor maupun methode yang selama ini ditempuh bagi menguatnya prinsip demokrasi. Perseteruan sengit antar organ gerakan memang harus diakhiri karena ini selain dapat membunuh organ dari dalam juga akan meratakan jalan bagi sindikat bandit untuk memegang kendali. Peta ini senantiasa perlu dibaca ulang untuk menjalankan agenda konsolidasi yang lebih massif dan menghindarkan diri dari proses moderasi yang begitu cepat. Musibah yang menimpa gerakan, baik yang dijangkiti oleh kemandulan logistik maupun sulit berjalan bersama sebisa mungkin segera diatasi. Salah satu sumbangan penting bagi pemetaan adalah memberikan dasar evaluasi sekaligus mengukur kemajuan gerakan sosial dalam mengartikulasikan tuntutan-tuntutan publik.
Langkah berikutnya sudah tentu memperluas basis jaringan sekaligus suplai logistik yang memadai. Jaringan ini untuk menembus kebekuan-kebekuan dalam sistem kekuasaan yang selama ini dikuasai oleh komplotan bandit. Suplai logistik juga penting untuk meruntuhkan kecurigaan kalau gerakan sosial hanya kaki tangan dari gerakan asing. Ada benarnya jika gerakan sosial kemudian harus mencoba untuk menembus sumber-sumber keuangan yang ada di lembaga perbankan. Sebab lembaga keuangan yang ada sekarang hanya digunakan untuk memenuhi pundi-pundi uang para penjahat di samping guna memperlancar berbagai transaksi di pasar bebas. Jaringan dan pemenuhan asset logistik yang dikerjakan selama ini memang kurang banyak melibatkan secara aktif kekuatan ekonomi rakyat. Jaring lembaga donor telah melumpuhkan militansi dan kreativitas gerakan dalam mendulang dana.
Jika jalan untuk pemenuhan logistik ini sudah terjawab maka persoalan berikutnya yang perlu diselesaikan adalah mekanisme rekruitmen dan kaderisasi di lingkungan gerakan. Rekruitmen yang didasarkan hanya pada kesamaan ideologi atau pengalaman langsung lapangan kiranya sudah tidak mencukupi. Dasar rekruitmen juga perlu memasukkan pandangan sekaligus methode apa yang akan mereka lakukan untuk terjun dalam kancah gerakan sosial. Pandangan ini untuk menampung prakarsa-prakarsa progresif yang biasanya didapatkan pada kader-kader muda yang baru lulus. Methode digagas untuk menemukan kembali ide-ide yang segar yang bisa menembus kebekuan sistem maupun rumitnya jaringan oligarkhis. Tak bisa disangkal kehancuran gerakan lazimnya diawali dari tidak jelasnya alur dalam melakukan kaderisasi sekaligus kesulitan dalam menampung ide-ide radikal dari mereka yang masih belia.
Itu sebabnya gerakan sosial jangan sampai mengulang tabiat negatif yang ada dalam partai politik. Kepemimpinan dikuasai oleh mereka yang sudah tua dalam soal gagasan dan tidak mau menerima perubahan. Dalam dunia gerakan sosial ide, gagasan maupun methode ada baiknya untuk terus-menerus diperbaharui. Pembaharuan ini terutama untuk menjawab tantangan yang selalu saja berubah cepat dan jaring kepentingan yang terus berbaur. Tersedianya pelatihan, pendidikan maupun training yang berjangka pendek dan sekedar untuk memenuhi tuntutan program sudah tidak lagi memadai. Pendidikan kader berjalan secara kontinu dengan jangka waktu panjang sekaligus secara detail dapat memberi amunisi analisis sosial yang tajam dan mendalam. Disini yang sebenarnya memerlukan kerja keras di kalangan gerakan terutama untuk mereka yang duduk di pucuk kepemimpinan.
Kalau gerakan mampu menyediakan proses pendidikan yang kontinu dan berjalan secara militan, maka tugas yang lainnya tinggal menjalankan pengorganisasian secara intens dengan menyisir semua potensi kekuatan rakyat. Pengorganisasian yang selama ini telah dilakukan memang sudah mengalami banyak kemajuan. Dari kaum miskin kota hingga jaringan kaum profesional memang sudah terbentuk. Tapi kebanyakan persoalan yang masih mencuat adalah konsolidasi diantara elemen gerakan yang begitu minim. Kebanyakan diantara mereka jalan dengan agenda sendiri dan tak jarang tumpang tindih. Malahan ada beberapa gerakan yang menggunakan jalur media untuk melakukan aksi saling kecam diantara sesama.
Pendidikan melatih kader untuk tidak terjebak dalam sikap opportunis dan budaya yang pragmatis. Keduanya mengancam karena oppurtunisme akan membuat seorang kader takluk dengan siasat licin penguasa dan pragmatisme membuat kader jatuh pada pilihan-pilihan yang situasional. Cerminan ini bisa disaksikan dari bagaimana impian indah aktivis saat masuk dalam lingkaran partai politik dan kemudian setelah sampai disana, hanya menjadi perantara bagi kepentingan partai dalam mendulang suara. Mereka yang tak mau disebut lagi gerakan moral mulai berpikir untuk masuk dalam lorong gerakan politik. Lorong yang hingga kini masih berjubel para politisi sesat yang berpikir hanya dalam jangkauan 5 tahun. Keadaan ini seperti sebuah jebakan yang menjerat kader gerakan dalam kebungkaman permanen. Opportunisme diawali dari menyerahnya kedaulatan aktivis dalam menyuarakan prinsip-prinsip gerakan yang benar.
Pendidikan juga mengajari aktivis untuk senantiasa tegar dan tekun dalam mengurai persoalan. Semua masalah sosial yang timbul punya akar struktural dan kultural yang dalam. Menyebut demokrasi kita tak bisa hanya menguraikan tentang sejarah pemikiranya melainkan juga bagaimana kritik yang menyertai sistem ini. Sama halnya berbicara soal gerakan sosial tidak bisa hanya berkaca pada pertumbuhan kontemporer gerakan melainkan juga sejarah yang mendahuluinya. Pendidikan gerakan ibarat akar yang akan menentukan cabang dan ranting gerakan secara kokoh. Soal inilah yang agak mencemaskan karena pendidikan gerakan nyatanya hanya akan mengulang apa yang sudah dilakukan secara turun-temurun dan rutin. Di tingkatan mahasiswa masih belum banyak perubahan pada pendidikan gerakan dan kecenderungan untuk berorientasi teori masih saja dominanl. Kemudian hal serupa pada sejumlah aktivis LSM yang lebih dominan dimensi praksis gerakan ketimbang sentuhan teori.
Dengan ruang politik yang kini disapih untuk kepentingan saudagar maka tantangan utama aktivis ada pada upaya menarik garis batas nilai keadilan. Dalam upaya menarik garis batas itulah kebutuhan untuk mengenali medan menjadi penting. Medan pertarungan ini akan memberikan kita kemampuan untuk mendeteksi persoalan dan siapa saja yang menjadi penyokong utama sistem ini. Jika dulu keluarga Cendana merupakan penggerak sistem kediktatoran Orde Baru kini beralih fungsi pada pemodal-pemodal besar yang menyebar pada semua jenis usaha. Kekuatan modal ini telah mengkapling wilayah kekuasaan yang sukar disentuh bahkan oleh tindakan hukum sekalipun. Sinyal ancaman mereka selalu berawal dari ancaman untuk melakukan relokasi tempat usaha. Jika buruh ribut terus maka dengan cekatan mereka akan memindahkan ladang usahanya. Hal yang sama berlaku ketika tuduhan gencar dialamatkan pada tempat usaha yang melakukan pencemaran. Dengan lobbi intensif perkara pencemaran lingkungan bisa diselesaikan di meja perundingan ketimbang jalur meja pengadilan.
Meja pengadilan akan menjadi kekuatan baru yang bisa meringkus semua ekspresi politik yang tak sesuai dengan isi undang-undang. Alkisah tentang UU Terorisme yang secara membabi-buta memakan banyak korban dengan mengabaikan nilai serta prinsip hak asasi manusia. Seseorang yang kena label teroris berhak untuk di-apakan saja. Sama halnya dengan meringkus media melalui gugatan pencemaran nama baik. Politik hukum yang berhamba pada instrumen modal akan menyulitkan kesadaran massa yang lebih progresif . Hukum yang seperti ini akan membuat komplotan bandit dapat mengorganisir kekuasaan dan bisa-bisa hukum jadi alat untuk menundukkan semua kekuatan demokratis. Walaupun ada banyak fasilitas hukum yang dibentuk tetapi jika itu tidak didasari oleh sikap keberpihakan dan terakomodasinya kepentingan rakyat maka mustahil hukum bisa menegakkan keadilan.
Keadaan ini misalnya tercermin pada Peraturan Daerah yang mengatur tentang tata ruang. Perebutan tata ruang kini menjadi pertengkaran politik yang keras dan melibatkan berbagai kelas sosial. Tata aturan hukum lalu menjadi pelayan bagi kepentingan-kepentingan dominan. Seperti yang muncul disejumlah kota besar, yakni keberadaan pedagang kaki lima yang hingga hari ini dianggap menjadi biang utama persoalan perkotaan. Karena dianggap masalah maka pedagang kaki lima tidak diperkenankan untuk menjalankan usaha seenaknya. Yang semula boleh di pinggir jalan sekarang wilayah itu jadi larangan. Dengan mencantumkan sebagai larangan, hukum kemudian berperan sebagai alat penyeleksi. Politik hukum yang menjalankan mekanisme seleksi itulah yang berujung pada diskriminasi. Gugatan atas beberapa praktek tata ruang yang otoriter ini telah mengungkit kembali persoalan keadilan.
Karenanya semua gerakan sosial tampaknya akan berhadapan dengan budaya kekuasaan yang menggunakan hukum sebagai tameng kekuasaan. Itu sebabnya ada banyak prakarsa yang muncul untuk mendorong tampilnya aturan yang lebih berpihak pada kepentingan luas rakyat. Beberapa aktivitas legal draft dilakukan untuk menekan munculnya aturan-aturan hukum yang jauh lebih berpihak. Peraturan kini menjadi sumber ke-absahan segala prilaku maupun tindakan sosial. Bekal kemampuan yudisial menjadi sumber amunisi terpenting bagi gerakan sosial. Ini tampak pada diseretnya sejumlah anggota parlemen dalam kasus korupsi dan itu sebagian diantaranya karena tekanan kelompok masyarakat sipil. Disini gerakan sosial memang harus memiliki jaringan yang lebih terstruktur dengan aparat penegak hukum. Jalan untuk melakukan tekanan penting diimbangi dengan melakukan penguatan pada aparat.
Kesempatan untuk bergerak kini dibuka. Kejatuhan Soeharto memang membawa berkah kebebasan yang luar biasa. Kesempatan ini yang waktunya direbut oleh gerakan sosial. Ruang keputusan politik yang kini diperebutkan akan menjadi medan pertarungan yang sengit dan keras. Karenanya agak mendesak untuk memformat ulang sejumlah agenda dan apa yang sebaiknya diprioritaskan untuk dikerjakan. Lagi-lagi agar jangan sampai demokrasi liberal ini jatuh dalam pelukan komplotan bandit yang bersekutu dengan kaum saudagar. Andai itu yang berjalan maka gerakan sosial hanya akan mengalami kemandegan dan bisa-bisa menjadi kaki tangan dari kelompok saudagar yang memakai tabir demokrasi. Waktunya kita untuk jeli membedakan mana oligarkhi dan mana yang memang menjadi sendi kekuatan progresif. Kira-kira karya ini bersandar dalam semangat pemberontakan semacam ini. Sebuah karya menarik yang patut diapresiasi.
Siang hari, kawan. Kurang lebih seperti itu. Tapi, ah tidak !, tidak !, tidak seperti itu. Justru tepat. Ya !, jelas ini siang hari, tak lebih tak kurang. Matahari telah meninggi tepat di atas ubun-ubun, udara semakin terasa sesak, pengap, pedih menusuk rongga dada yang kembang-kempis tertekan bengisnya zaman. Panas, ya !...itu, panas. Siang hari bukan ?. Paling tidak menurut pengalamanku saja, kawan. Pengalaman turun-temurun. Buyutku bilang begitu, dilanjut ke kakek, ayah, kakak dan akhirnya meresap ke lumbung ingatanku. Aneh memang, tapi ya…sudahlah.
Dan, ah !...ya !…satu lagi ; soal malam hari, kawan !. Perkara itu aku tahu. Jelas Bapak yang cerita…bukan mantri, lurah apalagi Pak guru yang sampai saat ini hanya kukenal dari obrolan warung kopi anak-anak sekolah Inpres. Lagi-lagi, pengalaman saja yang membuatku paham tentang apa itu sesuatu yang disebut malam hari. Sederhana, kawan. Begini, begadang semalaman di gubuk dekat sawah juragan Tommy bersama hawa dingin dan pekatnya malam yang kadang bikin bulu kuduk merinding, berjaga-jaga khawatir ada orang yang nekad memutar jalur air irigasi yang membasahi sawah juragan. Itu !, itulah malam hari. Sudah kubilang dari tadi bukan ?!, sederhana !.
***
“Nak...”, mulai Bapak bicara. Kutangkap jeli getaran simfoni dukanya.
“…maafkan Bapakmu ini, Nak. Tak mampu Bapak menyekolahkanmu…ke sekolah Inpres seperti anak-anak yang lain. Seperti si Parmin…bekerja…ke Jakarta…dapat upah !”, luapan emosi campur aduk dalam kata-kata yang meluncur dari mulut Bapak. Pecah, membludak begitu saja penuh tekanan. Tidak lagi putus-putus seperti sebelumnya, kali ini benar-benar berbeda. Tegas, namun miris. Hentakan suaranya lebih mirip pernyataan keputusasaan daripada kehilangan. “Ah...Bapak”, jerit batinku yang tanggap menyelami samudera derita Bapak.
Sendiri. Kuteruskan perbincangan ini bersama alam. Berdialog, membuka makna sekolah. Setelah celaan yang tempo hari dilontarkan anak-anak Inpres kepadaku, sekarang Bapak yang dirundung malang. Gara-gara sekolah, kemudian kerja, terus upah…Bapak terluka.
***
Kini tak ada lagi. Tergusur. Parmin tak lagi terangkat namanya sebagai bahan pembicaraan orang sekampung. Musim panen membawa ceritanya sendiri. Dari tahun ke tahun…sama saja, selalu itu. Juragan Tommy, melulu beliau yang hadir dalam setiap obrolan. Dari kelurahan sampai ke warung kopi, Juragan Tommy lagi…Juragan Tommy lagi.
Bagaimana tidak ?, juragan Tommy yang baik hati itu…dibagi-baginya berlembar-lembar uang kepada seluruh buruh penggarap yang bekerja di sawahnya. Tiap kali musim panen, sungguh beliau orang yang murah hati. Berkah musim panen, kata beliau, “harus dibagi…biar semua senang”. Kami bersyukur, sesekali melontarkan kekaguman yang tak terkira untuk beliau.
***
Pak tua yang dimaksudkan juragan Tommy ternyata adalah bapak, lelaki tua yang semakin kurus saja. Wajahnya mendadak pucat. Bibirnya kaku, semu beku. Tegang dia memandang juragan Tommy.
“Kau punya anak Pak tua ?!”, tanya juragan Tommy.
“Ppp…punya, juragan. Satu saja. Suhadma namanya”, jawab Bapak.
“Sekolah dia ?”, layaknya hakim agung, juragan Tommy menyarangkan pertanyaan khusus untuk sang tertuduh…Bapak.
“……….”, tak menjawab apa-apa Bapak. Hanya diam, murung sembari menggulung punggungnya hingga nyaris seperti kura-kura.
Juragan Tommy tersenyum kecut, sehingga kontan lebih mirip seringai serigala. Mimik muka yang sungguh aneh sebetulnya.
***
Orang-orang sekampung pun berkumpul, sesuai dengan permintaan Pak Lurah dan tuan Kapolsek. Tanpa sambutan yang membuat badan pegal, acara langsung diawali dengan uraian dari tuan Kapolsek. “ada tembusan dari kepolisian Jakarta sana. Parmin…jadi buronan. Setelah mencuri barang di pabriknya, Parmin terlibat dalam tragedi pembunuhan bosnya. Kawan-kawannya sudah ditangkap, di penjara. Parmin belum. Jadi…kuharap bapak-bapak sekalian bisa bantu kepolisian. Lapor ke Polsek kalau-kalau Parmin datang ke kampung ini…”, tutur Kapolsek.
Tanpa tawa, tanpa tepuk tangan…acara pertemuan ini bubar begitu saja. Tersisa pertanyaan di benakku…tentang sekolah, tentang Jakarta. Tak berani aku bercerita ke Bapak ihwal kejadian ini. Biar Bapak saja yang ceritakan semuanya nanti.
Enteng jawaban yang ditandaskan oleh Pak Lurah, “Oh…TANAH NEGARA, nak !”.
Lorong Sepi Proletariat – Purwakarta