Adsense Indonesia

Biarkan Dia Mati ; Sekadar Perspektif Politik Sederhana Menyoal Nalar (Politik) Kader HMI Cabang Purwakarta Yang Juga Sederhana

15.53 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Bahwa politik itu adalah ruang (space) yang sangat cair sebetulnya, sehingga ketika tersumbat saluran untuk berdinamisasi di dalam (inside), maka bukan berarti ekuivalen dengan ”tidak ada tempat sama sekali”. Demikian cetus politisi senior yang sempat saya temui tempo hari. Perbincangan yang sederhana saja sesungguhnya hemat saya, namun ternyata ”dalam”. Selebihnya, tak berlebihan-lah kiranya bila saya persepsi sebagai ”optimis” dan—bahkan—”inspiratif”.

Ya, begitu-lah. Lantas, saya renungkan begitu rupa celotehan politik itu. Kalkulasi-kalkulasi idea terus saja berkejaran. Nyaris kontinu, berkesinambungan seakan tak selesai-selesai. Saya terkesima, bagaimana pula logika politik yang sederhana itu bisa begitu luas pemaknaannya—baik itu di dataran konsepsi maupun interpretasi praksis-nya ?. Sekali lagi, saya katakan ”luar biasa !” ; sederhana tetapi luas dan cerdas !.

Terus, iseng-iseng, saya bawa alam pemikiran bebas yang saya singgung itu ke dunia aktual yang sedang saya jalani saat ini. Tentang mahasiswa, tentang dunia yang ”digagahinya”, tentang organisasi yang dijadikan motor realisasi dirinya, tentang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)—lebih khusus HMI Cabang Purwakarta, singkat kata demikian. Luar biasa nian pikir saya bilamana dinamika yang seperti demikian itu bisa hidup di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta. Lebih dari itu, bukan-kah luar biasa pula bila kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta—bahkan—bisa memainkan peran tersebut ?. Bayangkan saja bagaimana personalisasi kader dengan kapasitas personal seperti itu ?. Tak ragu lagi, berbekal kemampuan (skill) dan pengalaman (experience) itu, ”pantas” dan ”wajar” bila kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dimahkotai gelar (yang tentunya bukan ”anugerah” tetapi capaian perjuangan ; Pen) kualifikasi diri bertajuk ”avant garde” (sang pelopor).

Politik dan (organisasi) mahasiswa...kok ?, bisa jadi terbit pertanyaan seperti demikian. Lebih lanjut, bicara HMI kok ditarik ke pretensi politik sih ?. Pertanyaan itu juga sah-sah saja menurut saya kalau bergulir lepas dari gudang dialektika pemikiran kader-kader HMI Cabang Purwakarta. Toh nilai ”adiluhung” yang dicerap kader-kader HMI adalah seputar kritisisme, inklusifisme dan gaya berpikir open minded (berpikir terbuka), so what dengan pertanyaan se-model itu ?.

Tidak menjadi persoalan yang mendasar dan prinsipil lah !, biarkan kader memiliki platform pemikiran yang seperti demikian (barangkali sedang mencari-cari ; Pen). Justru yang membuat pelik perkara adalah ketika kader cenderung jijik dan apatis manakala bersinggungan dengan sodoran fenomena politis. Ini ngeri. Lebih dalam lagi, wah repot !, karena klimaks dari tumpukan persoalan ini adalah bertambahnya jumlah kasus ”kebutaan politik” (political literacy) Kab. Purwakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya yang nota bene merupakan anasir kontra-produktif dalam konteks demokratisasi Indonesia. Kalau sudah begini, apa arti eksistensi HMI dengan segala pernak-pernik ornamentasi nilai-nilai organisasinya di bumi Indonesia ini ?. Atas dasar itu, tanpa beban saja perasaan saya ini tatkala sesekali me-reka kreasi dalam bentuk tulisan a la kadar yang kurang lebih mempergunjingkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dalam perspektif politik.

Ada semacam geliat keingintahuan (curious) yang mengalir enteng di otak saya, tabir apa pula sebenarnya yang ”menghalangi” (dan selanjutnya bahkan diberikan point legitimasi kebenaran untuk hal tersebut ; Pen) kajian organisasi kemahasiswaan semacam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam koridor issue politik, sehingga terkadang ditimpali justifikasi etik ”tidak etis” atau—tidak menutup kemungkinan—”tabu”?. Menjawab pertanyaan tersebut, sederhana saja hemat pemikiran saya, yaitu bahwa secara fundamental tidak ada atau—boleh jadi—tidak rasional bila harus diabaikan begitu saja. Saya katakan seperti itu, karena toh se-kompleks apapun bentuk, nilai serta building capacity suatu organisasi, tetap saja persoalan politik itu bak aliran darah yang mengalir didalamnya. Pun demikian halnya dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta, tidak terlepas dari jerat problematika politik yang juga ada (exist) di keseharian sirkulasi eksistensinya. Dari sudut pandang ini, ”harus”-lah saya kira sesekali waktu ruang (space) pemberdayaan (empowerment) politik kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dibuka sampai ke proporsi yang sangat terbuka sekalipun.

Saya kaji persoalan ini—secara kasuistis—dari fenomena pengambilan kebijakan (policy)—baik yang tercermin dari manifestasi sikap serta kebijakan-kebijakan tertulis organisasi—Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta selama hampir satu semester ini (baca : di periode 2008-2009). Saya rangkum hasil penafsiran saya itu ke dalam peristilahan simbolik yang saya sebut ”biarkan dia mati” yang merefleksikan bagaimana Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sebagai ”sentrum politik” (dalam artian locus pengambilan kebijakan strategis ; Pen) relatif tidak memiliki kualifikasi political skill yang mumpuni untuk mengelola (manage) dinamika perpolitikan di wilayah kerja cabang Purwakarta. Bukan sekadar isapan jempol tentu. Sebaliknya, banyak temuan fakta (facts finding) yang saya pikir kontekstual untuk mendeskripsikan apa-apa yang saya kemukakan ini. Mulai dari katakanlah proses formalisasi kepengurusan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sedari mula yang terkesan ”menghendaki” fragmentasi politik (karena tidak terbangunnya komunikasi politik yang baik dari para agent yang ”bermain” ; Pen) alih-alih re-konsolidasi politik sampai ke kebijakan tidak populis yang mengantarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Situ Buleud terlegitimasi sebagai ”komisariat persiapan”, fenomena organisatoris seperti ini saya pikir relevan untuk ”mengkotaki” kapasitas personal para pengurus HMI Cabang Purwakarta di koridor paradigma politik ”biarkan dia mati” seperti halnya saya tegaskan sebelumnya. Tidak selesai dengan hanya itu, kondisi ini diperparah—bahkan—dengan tampilan (feature) kenyataan sosial yang secara faktual memberikan kesaksian tentang ”diamnya” (silences) elemen-elemen politik lain semisal HMI komisariat di wilayah kerja cabang Purwakarta yang seharusnya menjadi alat kontrol. Apakah ini indikator positif menguatnya paradigma politik ”biarkan dia mati” sampai ke titik hegemonisasinya ?. Dalam lain interpretasi, semapan itukah kekuasaan (authority) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta, sehingga mampu meng-atas-i secara ”mutlak” elemen-elemen politik lain diluarnya (yang ditandai dengan diamnya komisariat ; Pen) dan bisa melahirkan produk-produk politik apapun dengan begitu lengang tanggapan ?.

Saya bertanya-tanya karena keheranan, kenapa paradigma politik ”biarkan dia mati” itu bisa begitu menguat sekaligus meluas sinyalemennya di wilayah kerja cabang Purwakarta ?. Lebih heran lagi, mindset (pola pikir) politik seperti itu seakan diterima baik (well accepted) dan hampir ”membudaya” boleh jadi. Padahal sederhana, sederhana sekali. Padahal kerdil, sangat kerdil. Tapi, itu dicerap begitu saja. Ada apa dengan (kader) HMI di wilayah kerja cabang Purwakarta, sehingga model tata-kelola politik yang ”hanya” seperti demikian pun diakses untuk menghidupi dinamika politik HMI di wilayah kerja cabang Purwakarta ?, demikian pertanyaan susulan yang melintas di otak saya. Kok ”kanibalisme” eksistensi kader dilabeli merk moral ”benar” dan diperkuat dengan legitimasi politik kekuasaan HMI Cabang Purwakarta ?.
Satu hal saja yang dalam hal ini saya cermati secara serius, yaitu bahwa begitu lebar kesenjangan kekuatan (force) politik HMI Cabang Purwakarta dengan elemen-elemen politik diluarnya di wilayah kerja cabang Purwakarta. Begitu lebarnya, sehingga tidak terbangun dialog yang seimbang antara kutub dominant culture yang dimainkan oleh HMI Cabang Purwakarta dengan kutub sub-culture yang sebetulnya potensial diperankan oleh kader-kader HMI Komisariat misalnya. Akhirnya timpang, akhirnya terbangun hegemoni yang meniscayakan nihilnya energi-energi koreksi.

Maka, saya pikir pas argumentasi yang disampaikan politisi senior yang saya ceritakan di awal. Apa yang dibutuhkan hari ini adalah ”hidup”-nya lingkar sub-culture yang berdiri berani dan tegas di luar ruang dominant culture HMI Cabang Purwakarta. HMI Komisariat, sekali lagi saya ulangi, potensial untuk melakukan itu.

Persoalannya adalah tinggal kesadaran dan keberanian (encourage) kawan-kawan komisariat untuk mendemonstrasikan idea tersebut ?. Selanjutnya, tentu harus disisipi pula dengan harapan yang sama-sama ”kita” panjatkan bahwa semoga tidak ada tangan gaib (invisible hand) atau ”faktor x” yang menyebabkan goyahnya kontruksi pembelajaran politik sebagaimana saya paparkan di sini.

Akhirul kalam, saya titipkan sebuah perenungan yang mudah-mudahan mampu ditangkap essensinya oleh kawan-kawan yang hari ini berkesempatan hidup di lingkungan HMI Cabang Purwakarta. Di tahapan awal formulasi kepengurusan HMI Cabang Purwakarta, langkah-langkah yang kawan-kawan lakukan adalah suatu sikap politik dengan ”warna” yang kawan-kawan sepakati (terlepas apapun itu visi dan niatannya ; Pen). Lantas, bagaimana bila model penterjemahan itu juga diambil oleh kawan-kawan HMI Komisariat Situ Buled yang hari ini diturunkan statusnya menjadi komisariat persiapan ?. Lebih konkret lagi, bagaimana bila ”diam” dan ”beku”-nya HMI Komisariat Situ Buleud (yang memberikan celah legitimasi untuk diturunkan statusnya ; Pen) adalah juga suatu sikap politik ?. Semoga tidak ada standar ganda yang diambil untuk konteks persoalan ini.

Wallahu’alam Bisshowab...



Purwakarta, 26 Juli 2009
Itu saya menulis di Kampus STIE Muttaqien, tepatnya di Warnet Kampus
Sembari minum kopi, sembari senyum-senyum santai setelah selesai merevisi skripsi,
Sembari senang-senang karena bermain mafia wars yang belum tentu kawan-kawan bisa memainkannya

Label:

Lari-Lari Pagi-Pagi (Cerpen Spekulasi)

04.55 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Pagi-pagi ceritanya, lari-lari begitu juga saya ceritanya. Bukan sombong bukan apa, tapi ya begitu lah…terpaksa ! (sumpah !). Gara-gara si mamih sih sebetulnya yang mengajak-ajak saya untuk ikut lari pagi yang menyebabkan saya pagi-pagi sudah lari-lari. Dasar itu si mamih…dapat wangsit katanya tadi malam. Itu dia cerita lewat SMS yang dikirimkannya pasti ke handphone saya yang tentu saja bukan handphone si mamah apalagi handphone tetangga yang galaknya minta ampun itu. Bilang saja begini dianya yang ya ampun tanpa diminta :

Pokony papih hrs ikt lari pagi ini…

lez, GPL !!!

Aih itu si mamih…pakai “GPL” segala kayak sayanya tukang batagor ajah. Pasti itu artinya “Gak Pake Lama” yang mengakibatkan harus buru-buru saya balas itu SMS. Pastilah itu si mamih tidak mau tahu urusan apa pun selain sayanya harus segera balas, sehingga terjadi kegiatan balas membalas SMS. Ok lah, saya balaslah itu SMS si mamih daripada nanti masalahnya semakin panjang, terus panjang, terus, terus, terus sampai si mamih kapok kirim SMS ke sayanya :

Iah…hayu !!!

Jadinya saya bangun pagi-pagi setengah hati. Maksudnya setengah buat si mamih, setengah buat si kasur saya yang kelihatan semakin empuk saja dari menit ke menit. Saya pun berkaca-lah di cermin setelah pakai sabun, odol dan sikat gigi yang mungkin maksudnya adalah mandi. Itu saya sedang mematut-matut muka apa adanya yang beda dua SMS saja dari si Dellon. Semua orang sudah tahu toh, jadi tidak usahlah diperdebatkan lebih jauh. Buang-buang waktu. Ok ?!.

Sudah di luar rumah. Jangan tanya siapa yang sudah di luar rumah, karena sudah pasti itu saya. Lihat banyak orang berlalu-lalang, lihat juga Si mamih yang tampaknya sedang nyengir begitu di sepeda motor yang dibawanya dari rumah. Itu juga saya, pokoknya saya lah.

Emmm…si mamih basa-basi di pagi hari. Saya tengok kanan-kiri, mungkinkah si mamih sedang ingin ikutan shooting acara termehek-mehek ?. Aneh si mamih, bikin saya kepingin tidur lagi, mimpi lagi, ketemu bidadari lagi.

Pih…udah makan ?, kata si mamih. Saya diam, manyun tepatnya. Pih, udah mandi ?, kata si mamih lagi. Saya diam lagi, manyun lagi tepatnya. Pih…ngambek ke mamih ?. Otomatis saya diam lagi dan manyun lagi lah…pasti !. Pih…berani ke mamih manyun-manyun segala gitu ?, kata si mamih yang aduhai plus seringai trio macan tutul. Hehe…ngga mih, ampuuun, kata saya yang akhirnya harus tersenyum senang daripada dijitak.

Sampailah saya dan si mamih di lokasi lari yang entah bagaimana awalnya tiba-tiba saya dan si mamih tahu saja bahwa itu lokasi namanya Situ Buled. Lari-lari jadinya, berkeringat jadinya. Terus pegal, terus linu, terus haus.

Kan laki-laki harus kuat, jadinya jaga gengsi untuk bilang istirahat duluan. Kebetulan si mamih ngajak saya istirahat. Itu si mamih duluan yang bilang, capek katanya. Istirahat yuk pih ?, kata si mamih yang nafasnya luar biasa jadi mirip kuda nil. Iah hayu !. euh…padahal mah papih masih kuat lari perasaan mah dua juta kuriling lagi juga, kata saya serius. Beneran pih ?!, si mamih balas nanya. Iah dong, kata saya tambah serius. Si mamih penasaran. Itu coba lihat matanya si mamih liar memandang saya. Seram kayak Satpol PP. Perasaan mih…perasaaan, kata saya sekadar menegaskan saja. Yess !.

Jadinya duduk-duduk setelah lari-lari. Terus minum-minum, terus makan-makan. Pih…tadi malam mamih mimpi jadi langsing, celetuk si mamih. Saya diam manggut-manggut mencoba mendengarkan atau yang dalam istilah populer disebut ngaregepkeun !. Tidak berkata apa-apa, karena mulut saya sedang sibuk makan yang mengakibatkan tidak bisa diganggu. Serius sekali itu si mamih cerita-cerita sampai-sampai saya bingung itu si mamih apa wa kepoh sih. Badan mamih jadi mirip dian sastro pih, beneran !. Mamih jalan-jalan di catwalk, banyak orang lihat mamih, celoteh si mamih yang panjang bercerita.

Saya : Papih ikut liat ga mih ? (wkkkakwakkkak—maksudnya nanya sambil makan).

Si Mamih : Ngga ada tuh pih…kemana atuh pih kok ga ada yah ?

Saya : Euh mamih mah…

Si mamih : Hehe…

Saya : kan papih mah sama bidadari…wew

Si mamih : yeeehhhh….

Oh…itu maksudnya. Oh…itu intinya. Oh…buat itu toh lari-lari pagi-pagi ini itu. Mau diet katanya. Biar langsing katanya. Ingin jadi kayak dian sastro katanya.

Oh…si mamih yang ingin langsing seperti dian sastro. Jahat itu wangsit yang datang malam tadi ke si mamih. Kenapa harus dian sastro ?. Jadinya si mamih kepingin diet yang menyebabkan dianya mendadak ingin terus lari-lari pagi-pagi. Jahat itu wangsit, sehingga si mamih jadi jarang makan. Terus sakit lambungnya dikarenakan maag. Jadinya ngga bisa ketemuan sama saya, jadinya saya rindu, jadinya saya khawatir.

Padahal aduh itu si mamih….saya sayang dianya apa adanya. Biar selintas menyerupai kaleng kerupuk, biar-lah saya tetap cinta. Biar imut-imut kayak bayi trenggiling, sungguh saya sayang kamu seperti itu.

Purwakarta, 20 Juni 2009

Nirwana yang telah berlalu

Mamih—telepon aku

Label:

Saya dan Kritik Buat Perpustakaan Daerah Purwakarta

22.42 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (2)

Meragukan Peran Strategis Perpustakaan Daerah sebagai Medium
Pencerdasan Anak Bangsa
Oleh : Widdy Apriandi *

Padang Gersang Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta
Betapa sulit menjadi salah seorang manusia yang berkualifikasi “cerdas” dan ”arif’ di negeri ini. Intuisi seperti ini tiba-tiba meledak begitu saja di benak saya manakala menikmati buku a la kadarnya yang berdesak-desakkan tak tentu “bentuk” di Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta. A la kadar memang. Sejujurnya sangat a la kadar malah.
Singkat kata, hati saya sampai miris dibuatnya. Bagaimana tidak ?!, atmosfer intelektual yang terpancar dari buku-buku yang dijajakan di perpustakaan pemerintah ini mengabarkan warta sekaligus kesaksian yang begitu menggiriskan (bila tidak dikatakan “mengintimidasi” ; Pen). Buku-buku tua yang sudah jauh dari standar up to date berjajar “sombong” sembari menyeringai menyatakan kebanggaannya. Bangga, karena masih diakui eksistensinya. Lebih dari itu, aroma “politik gagasan” pun sempat-sempatnya tercium. Paradoks dan kontra-produktif tentu saja bila dipertautkan dengan persoalan demokrasi—dan otomatis demokratisasi. Hal yang terakhir ini dapat ditemui dari varian buku yang kebetulan mampir di perpustakaan pemerintah yang saya maksud. Politik Islam Anti-Komunisme, demikian judul salah satu buku yang saya temui di salah satu rak buku “resmi” pemerintah. Buku itu berdiri sendiri seperti merasakan “kemutlakan” kebenarannya. Tak ada counter-opinion (wacana pembanding) dari buku lain yang minimal mendekati proporsional. Terbayang oleh saya bagaimana ekses dari buku ini di ruang publik (public sphere). Kalau bukan pembodohan, maka tanpa bisa dibantah lagi adalah (lagi-lagi) “regenerasi” sesat pikir (gaya) orde baru yang termanifestasi dalam intelektualisme monolitik.
Padang gersang. Bila diibaratkan ke dalam proyeksi tipikal kondisi geografis dari salah satu tempat yang ada di muka bumi, maka sepertinya tak berlebihan bila Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta disimbolisasikan seperti itu. Alih-alih menyerupai oase yang mampu membalas rasa kehausan, Perpustakaan Daerah justru berlaku sebaliknya, yaitu menghamparkan kegersangan begitu rupa. Dalam artian yang lebih tegas, Perpustakaan Daerah gagal menjawab kehausan ilmu publik Purwakarta. Tak salah makanya bila dalam hal ini timbul percikan kritik terhadap eksistensi Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta ; mampukah Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta memainkan peran strategisnya sebagai medium pencerdasan anak bangsa ?.
Bukan Sekadar Formalitas
Tentu tidak seperti menjawab pertanyaan ber-genre eksakta. Problematika yang sedang ”kita” hadapi ini lebih kompleks dan pelik dari yang dibayangkan. Dikatakan demikian karena ternyata banyak variabel yang turut urun ”saham” persoalan di sana ; mulai dari—katakanlah—visi manajerial perpustakaan pemerintah itu sendiri yang dalam konteks ini perlu dipertanyakan (atau—bahkan—digugat sama sekali ; Pen) hingga ke minimnya kritisisme masyarakat luas terhadap kualitas layanan publik yang disediakan oleh Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta.
Namun begitu, bukan berarti permasalahan ini tidak dapat diurai atau—dalam lain perkataan—tidak terjelaskan sama sekali. Sekadar sebagai peringatan awal (early warning), imbauan ”bukan sekadar formalitas” sejatinya cukup mengena tepat di jantung kontekstual persoalan yang tengah diperbincangkan ini. Imbauan ini ditujukan kepada manajemen Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta pada khususnya (yang dalam hal ini memainkan peran sebagai eksekutor penyediaan fasilitas buku kepada publik ; Pen) dan Pemerintah Daerah Kab. Purwakarta yang dalam peta konfliktual yang lebih luas berposisi sebagai penanggung jawab layanan publik.
Betul !, bukan sekadar formalitas. Bukankah pemerintah (baca : Pemerintah Daerah Kab. Purwakarta) memiliki peran strategis sebagai institusi (negara) yang otoritatif dalam hal pengalokasian dana publik ?. Didik J. Rachbini menegaskan perkara ini secara eksplisit dalam Ekonomi Politik, yaitu bahwa pemerintah memiliki peran yang cukup besar dalam hal pendistribusian anggaran publik—yang potensial meng-cover kebutuhan hajat hidup orang banyak. Sisi inilah yang sebetulnya ”krusial” untuk dikritik. Nilai lebih (advantage value) pemerintah dalam kewenangan (otoritas) yang disandangnya tidak lantas berarti sama (equal) dengan pengelolaan yang ”semau enak sendiri” (atau dalam pengertian yang lebih soft, anti kritik ; Pen). Dengan demikian, maka imbauan ”bukan sekadar formalitas” cukup mendapatkan angin legitimasinya.
Jangan sampai Pemerintah—melalui kepanjangan tangannya (state apparatus)—”bermain-main” sendiri tanpa kawalan, termasuk dalam persoalan penyediaan fasilitas layanan buku kepada publik. Kondisi aktual yang hari ini mewujud (becoming) mengindikasikan bahwa Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta nyaris bereksistensi dalam ”logika”-nya sendiri (tanpa kritik, tanpa evaluasi yang menyeluruh dari para stake holder yang berkepentingan ; Pen). Tampilan (feature) kualitatif ini akan semakin memburuk tentunya bila sengaja direspon dengan sikap yang terus-menerus berpretensi pembiaran (obeying).
Peran Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta jelas dirasakan begitu penting di tengah pergumulan sosio-kultural Kab. Purwakarta (urgent bahkan barangkali ; Pen). Jangan terus dibiarkan menjadi ”hanya” sebatas formalitas saja, yaitu ada (exist) untuk sekadar membuktikan bahwa Kab. Purwakarta pun memiliki Perpustakaan Daerah walau bagaimanapun kondisinya. Sebaliknya, setiap stake holder yang berkepentingan terhadap arti (mean) Perpustakaan Daerah harus sama-sama menyadari nilai ”adi-luhung” dari Perpustakaan Daerah itu sendiri. Kesadaran (consciousness) dalam tafsiran yang holistik tentu saja !, tidak parsial apalagi pragmatis. Terlebih, kesadaran yang juga bukan sebatas ”parade” retorika, melainkan dihiasi pula dengan oleh ornamentasi aksiologis yang konkret.
Akhirnya, jawaban atas pertanyaan ”kita” di awal tadi tentu sangat dependable (bergantung). Tergantung apakah visi kolektif ini dapat teraktualisasikan di ranah nyata atau tidak ?. Satu hal yang jelas riil adanya adalah bahwa bila kondisi ini melulu bertahan tanpa mampu beranjak lebih baik, sulit rasanya mendamba anak-anak Indonesia yang berkualifikasi ”cerdas” dan ”arif” sebagaimana saya katakan di atas. Di tengah harga buku yang melambung tinggi, di antara peliknya fenomena komodifikasi dunia pendidikan, Perpustakaan Daerah seharusnya menjadi solusi alternatif dan—bahkan—”martir” penyelamat anak-anak bangsa dari jeratan kebodohan.
Wallahu’alam Bisshowab...

* Penulis adalah Koordinator Dewan Pengarah
re[d]sistance (Reading Society and Resistance Alliance) – Purwakarta

Label:

Kata Pengantar Di Buku REAKSI Yang Saya Susun

22.37 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

“ Kita semua telah menjadi terbiasa dengan sistem totaliter (otoriter) dan menerimanya sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa diubah sehingga membantu melestarikan sistem itu. Dengan kata lain, kita semua meskipun tentu saja dalam tingkatan berbeda-beda bertanggung jawab atas terciptanya sistem totaliter. Tak seorang pun diantara kita yang hanya menjadi korban saja ; kita semua bertanggung jawab atas sistem tersebut “.
(Jaclov Havel)

Lewat dari satu dekade sudah bangsa dan Negara Indonesia meretas jalan meraih kehidupan yang lebih baik pasca momentum people power yang populis dikenal sebagai “reformasi 1998”. Lebih kurang 11 tahun bahkan lebih tepatnya andaikata ditarik—secara relatif definitif—ruang lingkup historisitasnya ; terhitung sejak mei 1998 hingga sekarang (2009). Perubahan demi perubahan otomatis terjadi tanpa mampu terelakkan lagi dalam kurun waktu tersebut, terlepas dari apakah perubahan sebagaimana dimaksud berputar di locus struktural atau justru lebih terkonsentrasi di ranah kultural ke-Indonesia-an. Urat nadi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia seakan benar-benar “hidup”, tak lagi sekadar ada (exist) dan bergerak namun semu (absurd) eksistensinya seperti pernah mengemuka di orde kehidupan Indonesia sebelumnya. Menemukan kembali semangat (spirit) yang boleh jadi sempat sirna, setiap eksponen bangsa dan Negara Indonesia (kembali) bergejolak dinamis layaknya diterpa angin renaissance yang mencerahkan (enlightening) eropa dari abad kegelapannya. Terbit visi “baru”, kemudian komitmen-komitmen perjuangan kontemporer yang selaras dengan kehendak kolektif civitas bangsa dan Negara Indonesia ke-kini-an.
Tak selurus sebagaimana yang tertuang dalam setiap konsepsi transformatif yang selama ini menjamur di tengah ruang dinamika ke-ummat-an dan kebangsaaan Indonesia tentu saja, fakta di lapangan (field facts) terkadang—atau bahkan sering barangkali—mempersaksikan proyeksi realitas sosial menyoal “perubahan” bangsa dan negara Indonesia yang justru boleh jadi kerap kali bertendensi paradoks alih-alih linier dalam konteks komparasi (perbandingan) antara idealisasi Indonesia dalam konsepsi-konsepsi perubahannya vis a vis gambaran riil di lapangan aktual. Bukan berarti menggeneralisir potongan-potongan kenyataan di lapangan ke dalam satu konteks penterjemahan apalagi mereduksinya sama sekali sehingga refleksi realitas yang begitu kompleks menjadi sangat kerdil serta tendensius, asumsi demikian—katakanlah—tampaknya akan lebih tepat dan relevan bila diposisikan sebagai wacana pembanding (counter opinion) terhadap narasi utama idea perubahan bangsa dan negara Indonesia yang selama ini seringkali disikapi secara an sich dan minus kritisisme. Dalam lain artikulasi, asumsi tersebut dengan demikian juga tidak lantas mengindikasikan ketidak-percayaan (atau dalam lain perkataan, menafikan sama sekali ; Pen) terhadap guliran perubahan yang memang sedikit banyak telah meng-ada (being) di bumi pertiwi. Titik tolak perhatian yang lebih substansial pada konteks ini—dan kemudian menjadi pijakan analisis kritis—adalah gambaran nyata yang muncul di dataran faktual yang kemudian membentuk persepsi (yang kemudian tersimbolisasikan dalam bentuk kata dan kalimat ; Pen) sebagaimana dikatakan Paulo Freire dalam Pendidikan Masyarakat Kota, yaitu bahwa “kata dan kalimat bukanlah merupakan wacana kosong yang mengapung di udara, melainkan memiliki keterkaitan secara sosial dan historis”. Dengan demikian, penyebutan laju perubahan bangsa dan negara Indonesia sebagai “masih rentan dengan aroma paradoks disana-sini” tidak kontan berpretensi hiperbolik dan—kemudian—a-historis, melainkan justru riil, faktual dan relatif memiliki latar belakang sosial yang bisa dibilang kontekstual.

Pada area penelaahan inilah sebetulnya karya a la kadarnya ini menjejakkan kakinya di muka bumi. Bahwa kilasan puspa ragam paradoks masih tetap mewujud di seputar ruang (space) “perubahan” bangsa dan negara Indonesia, demikianlah buah kesadaran (consciousness) yang menancap di benak tim penyusun. Kegelisahan ini kemudian dijawab secara “taktis” lewat kesaksian yang dituturkan dalam karya sederhana sebagaimana kini hadir menyapa ruang pemikiran para pembaca sekalian.

Disadari betul, jelas begitu kompleks besaran “wilayah” paradoks perubahan bangsa dan negara Indonesia seperti telah disinggung sebelumnya. Analisis sektoral—pada konteks permasalahan ini—dengan demikian mau tidak mau harus diambil sebagai suatu opsi pembedahan persoalan yang paling “rasional” demi menjawab tantangan “kepentingan” yang include (terintegrasi) dalam “jati diri” karya ini. Di lain sisi, keterbatasan kapasitas serta kompetensi tim penyusun pun menjadi persoalan lain yang ternyata juga harus direspon dan disadari benar oleh tim penyusun.

Domestifikasi persoalan yang dalam hal ini lebih didorong ke issue good governance (pemerintahan yang baik) dan selanjutnya lebih dikerucutkan lagi ke persoalan pemberantasan korupsi merupakan manifestasi konkret dari upaya analisis sektoral seperti halnya telah disebutkan di atas. Sekali lagi, bukan tanpa alasan mendasar tentu saja. REAKSI (Relawan Anti Korupsi) sebagai salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam ikhtiar pemberantasan korupsi secara konsisten dan berkesinambungan (sustainable) merasa terpanggil dan—selebihnya—berkepentingan untuk menyuarakan idealismenya.

“Mengawal Good Governance ; Refleksi REAKSI dalam agenda suksesi pemerintahan tanpa korupsi” adalah simbolisasi aksi kreatif REAKSI (Relawan Anti Korupsi) dalam ikhtiar pembumian platform perjuangan pemberantasan korupsi yang diupayakannya.


Purwakarta, Maret 2009

Tim Penyusun

Label:

Baca bukumu...Jadilah Pemberontak !!!

22.24 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Baca bukumu…Jadilah Pemberontak !
Oleh : Widdy Apriandi
[1]



Kata-kata adalah senjata
(Subcomandante Marcos)


Prolog…






Menulis dengan “ketelanjangan”. Kali ini saya menulis dengan betul-betul mempercayai navigasi yang disediakan Tuhan kepada saya, yakni hati—tanpa embel-embel lain yang kadang membuat saya tersiksa dan tertekan. Kemarin hari biasanya saya balut tulisan demi tulisan dengan rajutan retorika-retorika ilmiah yang saya rasa itu “hebat” dan—minimal—membuat orang yang membacanya mengangkat alis meski sejenak. Maklum mahasiswa, demikian bisik jahil hati saya. Status sosial yang sebetulnya “ber-resiko”. Banyak konsekuensi yang harus saya pertimbangkan, mulai dari kadar ilmiah sampai ke identifikasi naïf atas diri pribadi saya sendiri yang menurut “logika umum” harus benar-benar memiliki karakteristik yang berbeda dengan kebanyakan orang (maksudnya mungkin orang-orang yang tidak memiliki kesempatan sekaligus hak seperti saya yang hari ini berstatus mahasiswa—kelas sosial yang terdidik ; Pen).

Tidak !. Sudah tiba saatnya bagi saya untuk mengatakan “tidak !”. Dalam artian tegas, “tidak !” untuk mengamini perspektif feodal yang pada hakikatnya memenjarakan eksistensi diri saya sebagai mahasiswa. Belenggu ini harus diakhiri, seperti itu tegas saya. Tak mau saya terus-terusan diperkosa, diperas nalar saya sejadi-jadinya oleh logika rekaan kapitalis. Tak rela pula saya menjalani politik “apartheid” yang memisahkan saya dengan massa rakyat “hanya” karena prestise sosial yang tiba-tiba saya sandang tanpa usaha sedikit pun (makin arogan dan makin nyaman di “menara gading” bahkan ketika diperkenalkan dengan istilah agen perubahan sosial ; Pen).

Lahirlah tulisan ini, wujud pemberontakan saya yang tentu saja bukan berarti yang kali pertama. Wacana-wacana anarkis membentuk tulisan ini, sehingga saya sendiri pun tak tahu apa “bentuk” dan “spesies” dari tulisan ini ; essai-kah dia, cerpen, atau feature ?!. Tak tentu. Apalagi berbicara kadar ilmiah dan ornamentasi serupa, sama sekali tidak saya “hitung”. Toh, itulah yang sejatinya saya lawan.

Mungkin terprovokasi oleh lecutan isme Foucault, Bakunin atau Noam Chomsky, sempat saya berpikir seperti itu. Tapi tidak, setelah melewati beberapa tahap perenungan, saya pikir memang kebetulan saja saya tepat berdiri sama (equal) pada domain pergulatan “mereka”. Suatu kebetulan yang menyenangkan sesungguhnya, karena paling tidak saya memiliki mitra diskusi yang jauh dari sekadar kompeten. Selebihnya, saya tidak peduli. Terserah apa yang hendak dikatakan orang kepada saya.

Apa yang saya tahu, saya sadari seinsyaf-insyafnya adalah saya harus melawan, angkat senjata !. Senada dengan apa yang dikatakan Subcomandante Insurgente Marcos (juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Zapatista – Meksiko), saya sepakat bahwa “kata-kata adalah senjata !”.

Negeri Dongeng Yang Saya Sebut “Kampus”

Tiba saatnya agenda perkuliahan yang ramai dikenal Mahasiswa—di Perguruan Tinggi tempat saya menuntut ilmu dan memproduksi wacana-wacana tandingan—sebagai Seminar Internal (semacam “pengadilan” kapasitas mahasiswa yang juga syarat akademik untuk pengajuan proposal skripsi ; Pen). Bukan main tegang dan kakunya segala sesuatu yang terjadi hari itu. Serba kikuk dan rikuh, singkat kata seperti itu. Ditambah dengan setting-an tempat yang begitu kental pretensi “intimidasi” (dosen penguji berada di depan sementara mahasiswa diposisikan saling berhadapan. Sendiri seperti “tersangka” di ruang pengadilan ; Pen), kontan suasana jauh dari takaran cair serta hangat.

Resmi, formal, konon memang harus demikian. Ini kampus toh, bukan sedang berbincang di warung kopi yang bisa free-sytle, gaya bebas. Terasa benar aroma arogansi, keangkuhan sang menara gading yang kini hadir menyapa mata para mahasiswa. Jauh dari kesan diskusi, sejujurnya malah lebih mirip mahkamah intelektual yang legitimate untuk menandai kening mahasiswa dengan stempel “cerdas” atau justru “dungu”.

Berat. Saya yakin perasaan yang terpendam di benak saya ini rata-rata bergetar serupa di hati kawan-kawan yang lain—yang kebetulan juga ikut “persidangan” intelektual ini. Tapi apa mau dikata, para mahasiswa dituntut untuk legowo saja, menerima keadaan meski harus rela menelannya dengan tanpa reserved sekalipun. Keringat pun bercucuran begitu deras. Tidak hanya itu, ada pula bahkan yang sampai meninggi tensi asam lambungnya karena diserang sindrom gugup. Terlihat wajah-wajah manusia yang mendadak pucat pasi. Beruntung bukan malaikat maut yang akan ditemuinya. “Hanya” dosen, ya, dosen—yang jangan-jangan saat itu (ironisnya) justru diasumsikan se-level lebih rendah dibandingkan dengan malaikat maut itu sendiri.

Acara pun dibuka secara resmi. Itu artinya pertarungan “harga diri” mahasiswa dimulai dari detik itu. Sepintas, sebagaimana saya katakan sebelumnya, terkesan begitu kuat bahwa memang ada rona tegas yang menyiratkan roman feodalistik di sana, dimana mahasiswa “terpaksa” dinilai isi batok kepalanya oleh oligarki manusia pemegang stempel intelektual yang disebut dosen penguji. Namun, entah kenapa bagi saya tidak mutlak seperti demikian. Ada narasi lain yang secara “ajaib” bisa saya tangkap kala itu, yaitu pergumulan eksistensi dua generasi yang sangat kontras antara satu sama lain ; dosen penguji sebagai perwakilan “generasi lama” yang begitu dominan akibat pengalaman akademiknya di masa-masa terdahulu (meski belum tentu rajin membaca buku dan mengolah diri sehingga bisa beradaptasi dengan realitas kontemporer ; Pen) dan mahasiswa selaku icon “hari ini” yang punya potensi besar menekuk kepongahan “generasi lama” karena anugerah kekiniannya (dimana mahasiswa adalah representasi manusia aktual yang paling mengerti kondisi kekinian apalagi bila ditambah cerapan bacaannya sebagai penunjang ; Pen).

Benar apa kata para bijak bestari !, siap-siap malu di atas mimbar bila tak ada persiapan sama sekali. Saya rasakan betul siapa “dia” yang menyelamatkan “harga diri” saya saat itu ; Buku !!!—selain memang materi seminar yang saya siapkan sendiri dengan peluh perjuangan yang alamak lelahnya. Dengan cengkeraman pengetahuan yang saya olah sendiri, dari buku ke buku, nikmat rasanya laju “persidangan” yang saya hadapi. Tampil penuh percaya diri dan terkadang ngotot berhias alter-ego sebagai “icon hari ini”, materi seminar saya pun akhirnya diluluskan walau memang—tanpa bisa dipungkiri—ada beberapa perbaikan yang harus saya terima.

Andaikata dramatisasi dirasakan perlu, maka tak ragu saya katakan bahwa saya-lah manusia paling bahagia di dunia saat itu. Lebih bahagia bahkan bila dibandingkan dengan Bill Gates yang dipandang orang dengan predikat “manusia terkaya di dunia”. Dosen, so what ?, demikian sesumbar hati saya yang telah berhasil melewati satu tangga ujian di mahkamah intelektual yang disebut kampus. Tak apalah, kan’ cuma sesekali ini saja ikut-ikutan sombong seperti si dosen penguji, celetuk batin saya yang sempat-sempatnya urun partisipasi dalam dalih dan pembenaran.

Ok, lagi-lagi benar adanya ucapan para bijak bestari, selalu ada kesedihan yang bersembunyi di balik kebahagiaan, begitu pun sebaliknya. Saya tafsirkan secara sederhana ; hidup ini tidak selalu lurus dan statis. Ditambah “puitisasi” kesadaran teologis yang Tolstoy bilang, “Tuhan tahu, tapi Dia menunggu”, akhirnya lengkap sudah. Ya, seperti itulah kira-kira detik-detik mencengangkan yang saya rasakan berputar dramatis setelah kebahagian yang hinggap sebentar dalam hidup saya itu. Heran saya terus terang, perputaran kebahagiaan itu berlangsung dramatis dan cepat !. Kalau saja Tolstoy masih hidup dan mau menemani saya di arena “persidangan” tersebut, ingin rasanya saya bertanya, kira-kira apa yang sedang ditunggu Tuhan dari saya melalui kilasan realitas ini ?.

Saya tak lagi merasa ada (exist) di kampung intelektual yang terang-benderang disepuh cahaya manusia-manusia par excellence (yang dibakukan dengan sebutan civitas akademik ; Pen). Tidak !, justru saya seperti mengawang-awang saja di negeri dongeng yang bias dalam proporsi nyata (real) atau tidaknya. Luar biasa efek yang ditimbulkan dari potongan realitas yang hadir pasca kebahagiaan singkat saya itu !. Diputarnya “warna” hati saya dari yang pada awalnya bahagia menjadi lemas tak berdaya sama sekali.

Apa yang saya lihat adalah parodi picisan kehidupan kampus. Lebih konkret, saya melihat mahasiswa yang terbata-bata kebingungan menjelaskan materi seminarnya sendiri. Dosen penguji bertanya, dia tergagap-gagap. Lincah dia berkilah, tapi jauh dari substansi materi. Melenceng tak tentu arah. Satu pertanyan mendasar dari dosen penguji menerjang benteng pertahanannya ; apakah kamu sendiri yang membuat materi ini ?. Dia menjawab dengan malu-malu, “ya”. Padahal apa yang dia jelaskan jauh dari materi yang disuguhkan. Lebih parah lagi, materinya sama betul dengan kawannya yang lain. Sebatas berbeda pada judul materi seminarnya (dan tentu saja nama si individu ; Pen), itu saja.

Negeri dongeng. Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Masyarakat Kota, Freire (Paulo Freire ; Pen) tegas mengatakan bahwa “kata atau kalimat bukanlah merupakan wacana yang menguap di udara, melainkan memiliki keterikatan dengan konteks sosial dan historis”. Kurang lebih demikian. Kontekstual artinya, bukan imajinatif (atau bahkan manipulatif). Dalam penyebutan yang lebih lugas, kata atau kalimat sebetulnya tidak lain adalah ikatan simbolis dari “sesuatu” yang membumi—tidak melangit, mengawang-awang meninggalkan jejak eksistensinya di tanah realitas.

Lantas, adakah bantahan yang cukup kuat untuk menghalangi saya supaya tidak (tergesa-gesa) mengatakan kampus (tempat dimana saya beraktualisasi diri tentunya ; Pen) sebagai negeri dongeng ?. Kemudian, apakah justru saya lebih tepat “dihakimi” sebagai “anak kemarin sore” yang sedang mencoba mengotak-atik mozaik realitas yang sesungguhnya secuil menjadi bongkahan batu besar yang memberikan kesan “total”, “umum” ?. Pendek kata, generalisasi atau justru “pem-bonsai-an” kenyataan menjadi satu asumsi yang berlaku umum.

Tidak !, saya rasa tidak. Para “hakim agung” yang bersembunyi di balik gemerlap “kesucian” toga yang menyilaukan mata para mahasiswa boleh memutuskan penafsiran saya itu dengan bahasa “tidak ilmiah” (seperti biasanya ; Pen). Tapi, saya justru bertanya. Lebih ekstrem lagi, saya menggugat sebenarnya. Darimana datangnya penilaian “tidak ilmiah” itu sendiri ?. Datang serta-merta ke tempurung kepala para “hakim agung”-kah seperti aliran sinar “wahyu” yang dialami nabi-nabi atau jangan-jangan malah sekadar letupan ego “manusiawi” yang jelas-jelas jauh dari kualifikasi “ilmiah” seperti “mereka” bilang ?.

Apakah sisi ke-ilmiah-an “mereka” telah memperhitungkan keberadaan pengalaman (experience) yang juga merupakan elemen integral dari pengetahuan ?. Pada sisi ini saya meragukan. “Wajar”, saya bisa memahami. Watak pendidikan borjuis memang “mengharuskan” hal yang demikian itu. Tak perlu bicara pengalaman, karena apa yang diperlukan adalah sistem pengetahuan plus disiplin ilmu berbasis mistifikasi yang mengerdilkan manusia menjadi sebatas robot atau—paling tidak—komoditi pengisi imperium industrial para elit borjuis. Satu komando kesadaran (consciousness) ; aku ada, karena modal (capital)—bukan untuk mengantarkan manusia ke arah keparipurnaannya sebagai manusia (human being). Melangkahlah ke arah cita ke-modal-an, bukan terpatri secara aktual di tanah kenyataan dengan segala pernak-pernik persoalannya, kode rahasia (secret code) yang membaur (build in) dalam bangunan isme “ilmiah” pendidikan gaya borjuis.

Saya tahu, saya sadar !. Dibekali ilmu-ilmu alternatif yang saya baca dari buku ke buku, akhirnya saya menggenggam kesadaran penuh sebagai seorang manusia, subjek sejarah yang dihadapkan pada pertarungan abadi antara mereka yang menindas dan mereka yang ditindas. Saya tahu, saya sadar !. Disinari cahaya pengetahuan yang saya cerna dari buku ke buku, saya paham bahwa saya tepat berdiri di “dapur” percetakan manusia-manusia ber-label kapitalis ; pendidikan borjuis !. Saya tahu, saya sadar !. Hari ini saya menghirup nafas di tanah kering negeri dongeng.

Negeri dongeng, ya, negeri dongeng. Saya ikat parodi picisan kampus saat itu dengan sebutan negeri dongeng. Tidak hiperbolik, karena begitu kontekstual. Tidak berarti mutlak generalisasi asal-asalan, sebab tidak bisa dinafikan kejadian serupa juga terjadi di kampus-kampus yang lain. Tidak tendensius pula dalam pengertian yang macam-macam. Tidak !, karena apa yang saya tunjukkan bukan didorong oleh kepentingan itu, melainkan semata “menelanjangi” sisi politisitas (mengutip apa yang dikatakan Freire ; Pen) pendidikan yang berputar di locus watak (politik) pendidikan itu sendiri ; untuk kepentingan siapa dan atau untuk melawan siapa ? .

Di atas kertas boleh saja orang-orang berdecak kagum kegirangan menterjemahkan eksistensi kampus (tanpa terkecuali kampus saya ; Pen). Bukan-kah begitu ?!, paling tidak di tingkatan persepsi jamak masyarakat “kita”. Alwi Shihab dalam Islam Inklusif misalnya, beliau kurang lebih bilang bahwa kampus adalah medium strategis yang potensial dan mampu menggulirkan roda perubahan sosial (social change). Apa yang dapat ditangkap ?. Satu saja yang paling terlihat kentara ; harapan (hope). Harapan bergelayut di sana, sama sebanding dengan harapan mak’ Ijah yang rela membanting tulang menyekolahkan anaknya di Perguruan Tinggi dan/atau Universitas demi menjawab harapannya itu (meski dalam bahasa yang berbeda ; Pen).

Harapan tinggal harapan !. Mohon maaf Pak Alwi, mohon maaf mak’ Ijah. Apa yang kalian lihat bukan ranah ideal yang mampu menjawab setiap harapan yang kalian lemparkan. Kampus yang kalian kira merupakan kanal bagi sejuta harapan ternyata tidak lain adalah negeri dongeng. Bukan pencetak generasi intelektual yang mengharumkan wajah bangsa. Tidak !, justru “pabrik” pencetak sekrup penyangga kemapanan kerajaan kapitalis. Secara ringkas, walau terasa pahit ; buruh-buruh yang rela dibayar dengan upah marah sesuai dengan keinginan sang majikan. Bukan pencetak barisan muda yang mencerahkan (enlightening) muramnya “wajah” negeri ini. Tidak !, melainkan “hanya” generasi gagap sekaligus terbata-bata yang—bahkan—tak mengerti apa yang dipelajarinya, plagiator ulung yang tidak pernah terbiasa untuk bekerja keras ditangannya sendiri, sosok manusia yang diberi hak untuk menjadi kelas yang terdidik namun malah mencederainya.

Negeri dongeng, ya, negeri dongeng. Saya tempuh ekspedisi perlawanan yang melelahkan ini. Berkalung benci, takut, marah dan potongan-potongan emosi lainnya, saya kuatkan hati untuk berdiri tegak menantang. Tidak sendirian saya melangkah. Banyak kawan yang menemani. Jerit mas wiji thukul terngiang-ngiang di telinga, “hanya ada satu kata ; lawan !”. Sayup-sayup suara masyarakat adat (indigenous people) Chiapas-Meksiko yang dipimpin oleh subcomandante-nya bergemuruh di belakang saya. Itu Marcos, berorasi dia ; Kata-kata adalah senjata !. Tenang hati saya tiba-tiba, karena di sela kesibukannya Fidel Castro masih sempat berbisik ; ide tidak akan pernah mati. Buku-buku yang menentramkan hati saya. Tenang…setenang terang bintang kejora yang berpijar di atas sana.

Baca Buku-mu…Jadilah Pemberontak !

Buku-buku, “mereka” hadir dalam “rupa” dan “sapa” yang kompleks. Multi-warna. Seperti angin sepoi-sepoi, “mereka” bisa menyejukkan hati para pencari (the seeker). Di lain dimensi, terkadang “mereka” pun mampu memaksa para petualang untuk berhenti sejenak ; sekadar merenung atau berleha-leha melepas kepenatan. Soft, feminin…”mereka” tanamkan rasa ini untuk para pecinta (the lover).

Merah. Buku-buku juga adalah “merah” itu sendiri. “Merah” dalam artian gelora api perlawanan yang mengikis tirai kemapanan sekaligus ke-jumud-an. Dirangkulnya kata-kata, tersusun rapi sekali. Rapi memang, sepintas menyerupai barisan revolutionaries yang bergerak cepat di teluk pig atau pejuang beruang merah yang tegak dalam sikap sempurna.

Ada daya magis yang sekejap menyapu kejemuan di lorong-lorong tersempit nalar “kita” sekalipun. Kekuatan kata-kata, ya, kurang lebih seperti itu. Tidak tanggung-tanggung, kata-kata itu meledak seperti bom molotov yang dihadiahkan para campanero untuk para penindas. Kata-kata itu kemudian meleleh bagaikan lahar yang keluar dari perut bumi. Dihempasnya kebekuan, lantas mencair. Bergelombang, panas sekali.

Itulah sensasi !. Lebih tepatnya lagi, sensasi ideologis yang “hidup” bersama buku-buku. Bukan sensasi murahan yang dipropagandakan dalam pesan—sponsor kapitalis—Iklan Sprite atau Star-Mild. Bukan !. Jauh dari itu, berbeda sama sekali. Sensasi yang satu ini menantang “kita” untuk berteriak lantang, mengabarkan sesuatu kepada dunia bahwa masih ada kaum muda yang peduli dan mau melawan. Tak heran makanya kenapa kemudian The Police berani menuliskan wacana alternatif yang dibingkiskannya khusus untuk kaum muda, we’re the class they couldn’t teach…cause we know better. Tak perlu heran !, tak perlu heran !. “Mereka” yang membaca, “mereka” yang dibesarkan oleh buku. “Mereka” yang membaca, “mereka” yang menyadari identitas dirinya sebagai seorang pemberontak.

Dari proses dialektika ini, sungguh saya kangen dengan sosok mas Eko Prasetyo. Catatan-catatan pinggirnya saya baca, begitupula halnya dengan buku-buku “khas mas eko” yang sangat melodic ritme nada-nada marginalitasnya. “Serial orang miskin”, labeling gagasan yang dimajukan oleh mas Eko. Siapa dia yang berani “show of force” identitas individual seperti itu kalau bukan mas Eko ?. Riskan menghadapi kehendak pasar yang serba kapitalistis, demikianlah rasionalisasi sederhana yang sering terucap dari mulut para penulis (oppurtunis). Meski tak terdengar, meski sebatas bisik-bisik atau main mata antara penulis dan pemodal. Ide dikontrol, suara-suara dibungkam oleh mekanisme tangan gaib (invisible hand) yang “kita” kenal sebagai pasar. Konsekuensinya, wacana-wacana tandingan (counter opinion) jarang sekali menguat di permukaan (surface).

Beruntung saya masih sempat dipertemukan dengan sosok mas Eko Prasetyo. Tidak terkecuali hari itu, masa dimana detail nalar perlawanan saya di kampus mulai tergambar—meski samar-samar. Abstrak dia, termanifestasi dalam rupa titik-titik (dots) yang menyebar sporadis. Titik-titik itu dalam perjalanannya bertransformasi menjadi koma, tanda petik, tanda tanya hingga akhirnya tanda seru yang tegas setegas-tegasnya.

Saya ingat mas Eko tengah memperbincangkan sisi lain dari sekolah dalam salah satu catatannya yang dipublikasikan di salah satu website. Selalu begitu, mas Eko selalu begitu. Tegas, “berpihak”. Posisi gagasannya selalu konsisten di ranah perlawanan, tidak berkamuflase atau berpindah dari satu gerbong ke gerbong lainnya—sesuai dengan selera pasar.

Ada 2 (dua) simpul besar idea yang bisa saya tangkap dari tawaran gagasan mas Eko dalam catatannya tersebut. Sekolah, itu yang pertama. Pemberontakan, itu yang kedua. “Aneh” memang. Lebih pantas disebut provokasi daripada wacana utuh yang dapat “dipertanggungjawabkan”, demikian penilaian pertama saya yang andaikata dituangkan dalam bahasa “romantis” tidak lain adalah pandangan pertama (first sight)—yang “ironisnya” mampu menyisakan kesan yang begitu dalam. Semakin tertarik saya untuk membacanya. Maklum, di lingkungan kampus yang serba tertib dan “mabuk ilmiah” ini, kapan lagi ada kesempatan untuk bersua dengan provokasi. Kalau bukan mencari-cari sendiri, tentu tak bisa. Selain itu, bukankah relasi antara sekolah dan pemberontakan adalah “sinting” ?. Ya, tak pernah itu saya sadari—bahkan—setelah sekian lamanya saya bersekolah. Berbeda halnya dengan perikatan (kepentingan) sekolah dan pasar kerja, itu wajar. Persepsi kolektif masyarakat terlanjur mengamininya. Lho, tapi ini “sekolah dan pemberontakan” yang dijadikan narasi utamanya. Siapa dia yang berani lancang mengotori “kesucian” sekolah (dan tentunya pahlawan tanpa tanda jasa yang semakin utopis ; Pen) ?.

Saya baca, saya nikmati “permainan” kata yang diolah mas Eko. Kesan pertama itu pun kian lama terkikis akibat terpaan angin dialektika yang bergejolak di nalar saya. “Terhipnotis” kekuatan kata-kata, saya mengangguk-angguk pertanda “sepakat”.

Benar !, sekolah dan pemberontakan memang dua mata rantai yang saling bergelayut “mesra” satu sama lain. Bukankah sekolah yang melahirkan individu-invididu pemberontak sekaliber bung Karno, bung Hatta, Tan Malaka dan sederet nama-nama pemberontak lainnya yang telah membebaskan negeri ini dari cengkeraman kaum imperalis “old school” ?. Bukankah pula sekolah yang turut membidani kelahiran “mereka” yang mati muda ; Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, Jenderal Soedirman, R.A. Kartini dan sosok-sosok kaum muda lainnya yang begitu cepat dipanggil Tuhan untuk kembali ke sisi-Nya ?. Mati muda, tapi untuk “hidup” selamanya.

Tak terbantahkan, sekolah memang mencipta pemberontak-pemberontak !. Hanya “mereka” yang gemar ber-apologia, berdalih hingga berbusa-busa yang sanggup dan “tabah” untuk menyangkalnya. Hanya “mereka” yang ber-kacamata kuda yang tak dapat melihat kenyataan ini.

Inilah keberuntungan yang saya maksud, berkah kesadaran (consciousness) yang mempunyai arti tersendiri buat saya. Mas eko mendudukkan saya di starting point perlawanan saya di kampus. Berlarilah !, seolah-olah mas Eko ada di samping saya dan mengatakan itu. Seberapa cepat kau berlari, kawan ?!, teriak Lintang yang menggembosi saya untuk segera berlari. Tiba-tiba saja dia hadir di benak saya, entah datang dari arah mana. Padahal tak dijemput. Begitupun konsekuensi logis selanjutnya, tidak pula saya berketetapan hati mengantarkannya untuk kembali nantinya. Ke Sorbonne, Lintang...ke Sorbonne, jawab saya ketika mulai berlari. Sama-sama berlari ke sana, ke sorbonne !. Saya mencari Sartre, saya mencari Foucault.

Pahami arkeologi kebisuan (archeology of silence), sadari pat gulipat permainan bayangan (shadow play) kekuasaan dan pengetahuan yang ada (exist) di kampusmu, pesan Foucault yang disisipkannya di sela perbincangan yang berlangsung santai. Perpustakaan kampus memang selalu sepi, bukankah demikian ?!. Jauh dari variatif pula bukan varian buku-bukunya ?.

Tanpa ada inisiatif, tak akan ada perlawanan, bung !. Buku karangan Foucault yang saya baca ini kebetulan adalah hasil “rampasan perang” setelah sempat death locked di tahapan lobby. Sekali lagi, saya berbincang dengan Foucault dalam suasana yang begitu santai. “Santai”, karena memang tak banyak orang. Perpustakaan kampus kalah bargaining dibanding kantin, cafetaria, mall-mall dan yang lebih ironis ; pub-pub terkemuka yang menjajakan parodi nilai “monolitik” kaum muda a la MTv .

Terbukalah tirai semu kehidupan kampus. Kini, tak seperti dulu lagi, saya mampu melihat jejaring kepentingan elit borjuis yang dititipkan di kampus ini. Kini, jauh dari kondisi kesadaran saya di waktu-waktu sebelumnya, saya sadari bahwa muatan pendidikan yang saya tempuh ini tak pernah sekalipun berkehendak menciptakan manusia-manusia yang bertipikal merdeka. Tidak !, tak ada itu idealisasi pendidikan untuk pembebasan. Tidak !, saya tidak dibentuk untuk menjawab tantangan itu.

Saya, mahasiswa, tanpa bisa dipungkiri justru adalah “stereotype” buruh terampil yang akan mengisi pos-pos wants and needs borjuasi penghisap. Bukan pemberontak, bukan !. Tapi, buruh !...ya, buruh terampil yang akan menggusur buruh-buruh potensial lain yang tidak sebanding tingkatan pendidikannya seperti saya. Itu keniscayaan, toh “link and match” antara Universitas dan/ Perguruan Tinggi merupakan “ideologi” yang dijual di ranah pertarungan pasar Universitas dan/Perguruan Tinggi. Siapa dia yang mampu menjamin keterbukaan akses mahasiswa ke pasar kerja, maka dialah yang keluar sebagai raja di pasar kompetisi Perguruan Tinggi / Universitas...bukankah seperti itu ?. Tak salah makanya bila jargon yang dipakai oleh para birokrat kampus (bukan pendidik, melainkan pemuja modal ; Pen) melulu “gampang cari kerja”. Adalah “soal lain” ketika berbicara kapasitas intelektual mahasiswa sekaligus keparipurnaan kesadarannya sebagai manusia (human being), intinya kerja dan kerja !. Tak peduli bagaimana kerasnya deraan tirani pasar kerja, tak peduli carut-marutnya “logika” pasar kerja...prinsipnya tetap kerja !. Lapangkan akses mahasiswa ke dunia kerja, selesai perkara. Upah murah, out sourcing yang menghinakan harga diri manusia...itu konsekuensi !.

Pemberontakan harus dimulai !. Tidak bisa tidak, pemberontakan adalah harga mati—lebih khusus buat saya. Saya cari role model konseptual yang minimal mendekati utuh. Beruntung (dan ini juga karena “kesediaan revolusioner” mencari buku-buku ; Pen) saya temukan manusia kreatif yang “berani” menghamparkan strategi dan taktik perlawanan mahasiswa di kampusnya. Ernest Mandel, beliaulah yang saya maksud. Lain dari itu, landasan filosofis perlawanan pun jangan sampai terkesan bolong-bolong. Infra-struktur perlawanan minus supra-struktur yang jelas bisa dibilang malah mengada-ada atau—bahkan—ngawur sama sekali. Untuk keperluan itu, satu nama yang langsung terbit di otak saya adalah Sartre—Intelektual revolusioner ternama berkebangsaan Perancis. Psikologi Imajinasi dan catatan kecilnya yang berjudul Sang Revolusioner saya nilai cukup untuk dijadikan supra-struktur perlawanan saya di kampus.

Pergerakan pun saya awali. Sakit memang menjadi minoritas di tengah main-stream yang punya “previlege” dalam penentuan keabsahan benar atau tidaknya sesuatu. Kesabaran revolusioner, hanya itu yang bisa saya lakukan. Untaian kata yang sungguh luar biasa dalam dari bung Karno. Saya dapati itu dari beberapa buku karangan beliau yang sempat saya baca. Terima kasih saya ucapkan kepada beliau, karena ucapan beliaulah yang membesarkan hati saya manakala diserang virus keputus-asaan.

Saya terjemahkan buah pikiran Ernest Mandel. Student control katanya, kendali mahasiswa. Mahasiswa harus mempunyai ruang lingkup otonominya sendiri yang idealnya tidak tersentuh tangan-tangan kekuasaan (birokrat) kampus. Saya rangkul kawan-kawan melalui agenda penyadaran dari satu individu ke individu yang lain. Terbentuklah apa yang disebut sebagai creative minority (minoritas kreatif) yang punya daya dorong signifikan bagi bergulirnya roda perubahan sosial (social change).

Dari lingkar inti sel yang telah terbentuk, minoritas kreatif ini terus meluas saja. Otomatis strategi perlawanan pun berubah. Bila di masa-masa perlawanan, strategi yang diusung adalah persuasif dan cenderung defensif, maka dengan kondisi objektif yang telah ada formatnya harus berubah ; ofensif. Parade-parade mulai intens dilakukan, begitupun dengan ekspresi sikap yang lainnya.

Jargon yang dimajukan sebagai “label opposisi” adalah Baca buku-mu...jadilah pemberontak !!!. Ada beberapa tuntutan minimum yang meletup di ruang publik (public sphere) kampus, seperti misalnya garansi kebebasan akademik dan kebebasan bermimbar. Tuntutan ini menciptakan efek bola salju (snow ball effect) yang lumayan deras. Nyaris beberapa langkah lagi perlawanan ini akan mencapai derajat optimal. Setelah “revolusi” kurikulum sebagai (salah satu) target antara....Otonomisasi Mahasiswa !. Ya, itu...otonomisasi maksimum mahasiswa !.

Epilog

Saya sadar perjuangan ini masih begitu panjang. Tak peduli saya siapa orang yang akan “mengeksekusi” revolusi di kampus ini. Toh, “mereka” adalah perwujudan benih-benih perlawanan yang telah saya semai.
Semakin larut saya dalam buku dan kekuatan kata-katanya. Di samping saya tergolek buku yang baru saja saya baca, Catatan Seorang Demonstran dan Dari Sierra Maestra Ke Havana. Mati muda...apakah saya juga akan mengalaminya ?.


Purwakarta, 21 April 2009
Lorong Perenungan Proletariat – Purwakarta


WIDDY APRIANDI


[1] Penulis adalah Mahasiswa STIE DR. KHEZ Muttaqien – Purwakarta sekaligus Koord. Dewan Pengarah re[d]sistance (Reading Society and Resistance Alliance)

Label:

Selayang Pandang Buku Sayanya "Melawan Dari Kampus" By : Eko Prasetyo

22.19 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

SELAYANG PANDANG
Ayo kita selamatkan Demokrasi & Mari kita bunuh Oligarkhi
Oleh : Eko Prasetyo
Jatuhnya Demokrasi di tangan komplotan bandit sudah tercium dimana-mana. Gejala umum yang menonjol adalah buasnya para saudagar dalam menduduki kursi partai politik. Jika dulu mereka menempati posisi sekedar sebagai bendahara maka kini mereka ingin juga duduk sebagai ketua. Uang berapapun akan dikucurkan karena memang kondisi yang ideal manakala saudagar yang kesukaanya berbisnis bisa juga pegang aturan. Rangkap fungsi ini menjadi bermasalah karena profesi saudagar dengan politisi itu berbeda. Kerjaanya beda dan hasilnya juga beda. Tapi apa mau dikata jika politik dipahami sebagai urusan jual-beli barang.
Runyamnya prinsip demokrasi memang diawali dari dibajaknya kepentingan publik untuk memuaskan kepentingan para saudagar. Di masa kolonial VOC mungkin jadi pengandaian yang tepat dari kekuasaan saudagar yang berlimpah. Mereka bukan hanya urus perdagangan lada melainkan juga memfasilitasi perundingan. Tak jarang VOC juga mempengaruhi para raja untuk bertingkah seperti boneka Eropa. Berpesta sambil minum bir atau raja ditempeli dengan berbagai tanda penghargaan. VOC adalah sayap perdagangan yang semula hanya mau cari untung tapi berbalik keinginan menjadi penguasa. Walau VOC kemudian jatuh dan gagal tapi gagasan besarnya yang ingin menyatukan keinginan menumpuk laba dan berkuasa masih menjadi keyakinan yang menebal.
Dengan cekatan Soeharto mulai meniru apa yang dilakukan oleh VOC tempo dulu. Padanya kekuasaan kembali memusat dan kontrol dilakukan dengan gaya yang sadis. Di dalam tubuh kekuasaanya, keluarga Cendana menjadi miniatur dari memusatnya kuasa ekonomi dengan pengaruh politik. Memompa doktrin persatuan dan kesatuan Soeharto mulai menciptakan tradisi politik yang bersandar pada kekerasan dan loyalitas. Ada banyak pengusaha berjubel untuk menanti restu politiknya. Deretan saudagar ini berkelompok dalam sebuah perserikatan yang mulai melakukan kapling baik atas sumber daya ekonomi maupun sumber kekuasaan politik. Walau Soeharto sudah jatuh tapi Cendana berhasil dalam menikahkan hubungan antara saudagar dengan politisi.
Relasi yang erat ini dihidupkan oleh berlakunya demokrasi prosedural. Satu sistem yang menganut demokrasi hanya sebatas pada penciptaan lembaga. Fasilitas demokrasi yang seperti ini bukan hanya memakan ongkos besar melainkan juga mengabaikan kebutuhan-kebutuhan riil rakyat. Pokok persoalanya berawal dari sana, bagaimana sistem demokrasi tambah menghasilkan keputusan-keputusan yang menganiaya rakyat. Proyek privatisasi telah meluncurkan program pendidikan dan kesehatan menjadi mahal dan tidak bisa diakses oleh rakyat miskin. Tata kota yang disulap telah menjerumuskan pedagang kaki lima dalam keterjepitan kemiskinan. Sama halnya dengan penyesuaian harga BBM yang menaikkan harga bahan-bahan kebutuhan pokok.
Bencana kebijakan semacam ini merupakan imbas dari persekutuan najis antara demokrasi prosedural dengan proyek fundamentalisme pasar. Jika dulu serdadu menjadi lapisan yang aktif mengamankan ambisi penguasa kini kumpulan para bandit yang menjadi sekutu baru. Bandit-bandit ini hidup subur karena hukum maupun pejabatnya telah berlumuran kotoran. Mereka menjalankan bisnis illegal dengan perlindungan maksimal dari aparat penegak hukum. Bisnis yang dikelola begitu beragam, dari perdagangan obat terlarang hingga penjualan anak. Jepitan kemiskinan membuat ikhitiar para bandit ini mendapat ladang yang subur. Lagi-lagi bandit menjadi sayap berpengaruh karena sistem yang berjalan masih mempertahankan keberadaan orang-orang lama. Mereka sekedar berganti baju tapi memiliki mandat dan kepentingan yang sama.
Kini giliran partai politik yang sibuk untuk dikuasai oleh kelompok oligarkhis. Dengan fungsi-fungsi yang dilumpuhkan partai politik kemudian menjadi tangga bagi sekelompok orang untuk duduk di kursi kekuasaan. Perebutan untuk duduk di kursi ketua jauh lebih penting ketimbang bicara pengembangan program. Rekruitmen maupun pendidikan politik yang tidak dikerjakan tercermin dari mudahnya anggota partai untuk angkat kaki pindah ke partai lain. Partai diisi oleh sejumlah orang lama yang tak ingin pergi dari lingkaran kekuasaan. Dilema yang kemudian menggigit partai adalah tiadanya ideologi yang mengikat partai untuk setia pada programnya. Buruknya keadaan ini diperuncing oleh fragmentasi yang ada dalam partai politik akibat dari menguatnya feodalisme dan jaringan kepentingan yang saling melindungi. Kehidupan partai politik di Indonesia seperti guci unik yang mudah pecah karena tersenggol.
Berkaca dari tulisan Coen Husein Pontoh kita bisa melihat dengan jeli bagaimana sumber kekuasaan yang dikuasai oleh komplotan bandit ini juga berjalan disini. Masih kuat sinyal ingatan kita pada perkara korupsi yang ada di KPU. Sudah tentu kita juga ingat akan korupsi berjamaah yang dilakukan oleh anggota Dewan yang tidak terhormat. Fasilitas-fasilitas demokrasi yang tercemar dengan suap dan korupsi ini akan membuat publik kecewa bahkan geram. Kecewa karena demokrasi tidak mengantarkan kedaulatan melainkan kediktatoran para saudagar. Geram karena partai hanya jadi alat untuk berkumpulnya kekuatan lama yang ingin berkuasa kembali. Jebakan demokrasi yang getir ini memberikan alarm pada semua aktivis gerakan. Masanya bukan sekedar konsolidasi tetapi membuat langkah-langkah taktis yang berguna bagi kehidupan rakyat.
Langkah yang utama adalah memetakan kembali dimana sendi kekuatan gerakan demokrasi. Memetakan baik agenda, aktor maupun methode yang selama ini ditempuh bagi menguatnya prinsip demokrasi. Perseteruan sengit antar organ gerakan memang harus diakhiri karena ini selain dapat membunuh organ dari dalam juga akan meratakan jalan bagi sindikat bandit untuk memegang kendali. Peta ini senantiasa perlu dibaca ulang untuk menjalankan agenda konsolidasi yang lebih massif dan menghindarkan diri dari proses moderasi yang begitu cepat. Musibah yang menimpa gerakan, baik yang dijangkiti oleh kemandulan logistik maupun sulit berjalan bersama sebisa mungkin segera diatasi. Salah satu sumbangan penting bagi pemetaan adalah memberikan dasar evaluasi sekaligus mengukur kemajuan gerakan sosial dalam mengartikulasikan tuntutan-tuntutan publik.
Langkah berikutnya sudah tentu memperluas basis jaringan sekaligus suplai logistik yang memadai. Jaringan ini untuk menembus kebekuan-kebekuan dalam sistem kekuasaan yang selama ini dikuasai oleh komplotan bandit. Suplai logistik juga penting untuk meruntuhkan kecurigaan kalau gerakan sosial hanya kaki tangan dari gerakan asing. Ada benarnya jika gerakan sosial kemudian harus mencoba untuk menembus sumber-sumber keuangan yang ada di lembaga perbankan. Sebab lembaga keuangan yang ada sekarang hanya digunakan untuk memenuhi pundi-pundi uang para penjahat di samping guna memperlancar berbagai transaksi di pasar bebas. Jaringan dan pemenuhan asset logistik yang dikerjakan selama ini memang kurang banyak melibatkan secara aktif kekuatan ekonomi rakyat. Jaring lembaga donor telah melumpuhkan militansi dan kreativitas gerakan dalam mendulang dana.
Jika jalan untuk pemenuhan logistik ini sudah terjawab maka persoalan berikutnya yang perlu diselesaikan adalah mekanisme rekruitmen dan kaderisasi di lingkungan gerakan. Rekruitmen yang didasarkan hanya pada kesamaan ideologi atau pengalaman langsung lapangan kiranya sudah tidak mencukupi. Dasar rekruitmen juga perlu memasukkan pandangan sekaligus methode apa yang akan mereka lakukan untuk terjun dalam kancah gerakan sosial. Pandangan ini untuk menampung prakarsa-prakarsa progresif yang biasanya didapatkan pada kader-kader muda yang baru lulus. Methode digagas untuk menemukan kembali ide-ide yang segar yang bisa menembus kebekuan sistem maupun rumitnya jaringan oligarkhis. Tak bisa disangkal kehancuran gerakan lazimnya diawali dari tidak jelasnya alur dalam melakukan kaderisasi sekaligus kesulitan dalam menampung ide-ide radikal dari mereka yang masih belia.
Itu sebabnya gerakan sosial jangan sampai mengulang tabiat negatif yang ada dalam partai politik. Kepemimpinan dikuasai oleh mereka yang sudah tua dalam soal gagasan dan tidak mau menerima perubahan. Dalam dunia gerakan sosial ide, gagasan maupun methode ada baiknya untuk terus-menerus diperbaharui. Pembaharuan ini terutama untuk menjawab tantangan yang selalu saja berubah cepat dan jaring kepentingan yang terus berbaur. Tersedianya pelatihan, pendidikan maupun training yang berjangka pendek dan sekedar untuk memenuhi tuntutan program sudah tidak lagi memadai. Pendidikan kader berjalan secara kontinu dengan jangka waktu panjang sekaligus secara detail dapat memberi amunisi analisis sosial yang tajam dan mendalam. Disini yang sebenarnya memerlukan kerja keras di kalangan gerakan terutama untuk mereka yang duduk di pucuk kepemimpinan.
Kalau gerakan mampu menyediakan proses pendidikan yang kontinu dan berjalan secara militan, maka tugas yang lainnya tinggal menjalankan pengorganisasian secara intens dengan menyisir semua potensi kekuatan rakyat. Pengorganisasian yang selama ini telah dilakukan memang sudah mengalami banyak kemajuan. Dari kaum miskin kota hingga jaringan kaum profesional memang sudah terbentuk. Tapi kebanyakan persoalan yang masih mencuat adalah konsolidasi diantara elemen gerakan yang begitu minim. Kebanyakan diantara mereka jalan dengan agenda sendiri dan tak jarang tumpang tindih. Malahan ada beberapa gerakan yang menggunakan jalur media untuk melakukan aksi saling kecam diantara sesama.
Pendidikan melatih kader untuk tidak terjebak dalam sikap opportunis dan budaya yang pragmatis. Keduanya mengancam karena oppurtunisme akan membuat seorang kader takluk dengan siasat licin penguasa dan pragmatisme membuat kader jatuh pada pilihan-pilihan yang situasional. Cerminan ini bisa disaksikan dari bagaimana impian indah aktivis saat masuk dalam lingkaran partai politik dan kemudian setelah sampai disana, hanya menjadi perantara bagi kepentingan partai dalam mendulang suara. Mereka yang tak mau disebut lagi gerakan moral mulai berpikir untuk masuk dalam lorong gerakan politik. Lorong yang hingga kini masih berjubel para politisi sesat yang berpikir hanya dalam jangkauan 5 tahun. Keadaan ini seperti sebuah jebakan yang menjerat kader gerakan dalam kebungkaman permanen. Opportunisme diawali dari menyerahnya kedaulatan aktivis dalam menyuarakan prinsip-prinsip gerakan yang benar.
Pendidikan juga mengajari aktivis untuk senantiasa tegar dan tekun dalam mengurai persoalan. Semua masalah sosial yang timbul punya akar struktural dan kultural yang dalam. Menyebut demokrasi kita tak bisa hanya menguraikan tentang sejarah pemikiranya melainkan juga bagaimana kritik yang menyertai sistem ini. Sama halnya berbicara soal gerakan sosial tidak bisa hanya berkaca pada pertumbuhan kontemporer gerakan melainkan juga sejarah yang mendahuluinya. Pendidikan gerakan ibarat akar yang akan menentukan cabang dan ranting gerakan secara kokoh. Soal inilah yang agak mencemaskan karena pendidikan gerakan nyatanya hanya akan mengulang apa yang sudah dilakukan secara turun-temurun dan rutin. Di tingkatan mahasiswa masih belum banyak perubahan pada pendidikan gerakan dan kecenderungan untuk berorientasi teori masih saja dominanl. Kemudian hal serupa pada sejumlah aktivis LSM yang lebih dominan dimensi praksis gerakan ketimbang sentuhan teori.
Dengan ruang politik yang kini disapih untuk kepentingan saudagar maka tantangan utama aktivis ada pada upaya menarik garis batas nilai keadilan. Dalam upaya menarik garis batas itulah kebutuhan untuk mengenali medan menjadi penting. Medan pertarungan ini akan memberikan kita kemampuan untuk mendeteksi persoalan dan siapa saja yang menjadi penyokong utama sistem ini. Jika dulu keluarga Cendana merupakan penggerak sistem kediktatoran Orde Baru kini beralih fungsi pada pemodal-pemodal besar yang menyebar pada semua jenis usaha. Kekuatan modal ini telah mengkapling wilayah kekuasaan yang sukar disentuh bahkan oleh tindakan hukum sekalipun. Sinyal ancaman mereka selalu berawal dari ancaman untuk melakukan relokasi tempat usaha. Jika buruh ribut terus maka dengan cekatan mereka akan memindahkan ladang usahanya. Hal yang sama berlaku ketika tuduhan gencar dialamatkan pada tempat usaha yang melakukan pencemaran. Dengan lobbi intensif perkara pencemaran lingkungan bisa diselesaikan di meja perundingan ketimbang jalur meja pengadilan.
Meja pengadilan akan menjadi kekuatan baru yang bisa meringkus semua ekspresi politik yang tak sesuai dengan isi undang-undang. Alkisah tentang UU Terorisme yang secara membabi-buta memakan banyak korban dengan mengabaikan nilai serta prinsip hak asasi manusia. Seseorang yang kena label teroris berhak untuk di-apakan saja. Sama halnya dengan meringkus media melalui gugatan pencemaran nama baik. Politik hukum yang berhamba pada instrumen modal akan menyulitkan kesadaran massa yang lebih progresif . Hukum yang seperti ini akan membuat komplotan bandit dapat mengorganisir kekuasaan dan bisa-bisa hukum jadi alat untuk menundukkan semua kekuatan demokratis. Walaupun ada banyak fasilitas hukum yang dibentuk tetapi jika itu tidak didasari oleh sikap keberpihakan dan terakomodasinya kepentingan rakyat maka mustahil hukum bisa menegakkan keadilan.
Keadaan ini misalnya tercermin pada Peraturan Daerah yang mengatur tentang tata ruang. Perebutan tata ruang kini menjadi pertengkaran politik yang keras dan melibatkan berbagai kelas sosial. Tata aturan hukum lalu menjadi pelayan bagi kepentingan-kepentingan dominan. Seperti yang muncul disejumlah kota besar, yakni keberadaan pedagang kaki lima yang hingga hari ini dianggap menjadi biang utama persoalan perkotaan. Karena dianggap masalah maka pedagang kaki lima tidak diperkenankan untuk menjalankan usaha seenaknya. Yang semula boleh di pinggir jalan sekarang wilayah itu jadi larangan. Dengan mencantumkan sebagai larangan, hukum kemudian berperan sebagai alat penyeleksi. Politik hukum yang menjalankan mekanisme seleksi itulah yang berujung pada diskriminasi. Gugatan atas beberapa praktek tata ruang yang otoriter ini telah mengungkit kembali persoalan keadilan.
Karenanya semua gerakan sosial tampaknya akan berhadapan dengan budaya kekuasaan yang menggunakan hukum sebagai tameng kekuasaan. Itu sebabnya ada banyak prakarsa yang muncul untuk mendorong tampilnya aturan yang lebih berpihak pada kepentingan luas rakyat. Beberapa aktivitas legal draft dilakukan untuk menekan munculnya aturan-aturan hukum yang jauh lebih berpihak. Peraturan kini menjadi sumber ke-absahan segala prilaku maupun tindakan sosial. Bekal kemampuan yudisial menjadi sumber amunisi terpenting bagi gerakan sosial. Ini tampak pada diseretnya sejumlah anggota parlemen dalam kasus korupsi dan itu sebagian diantaranya karena tekanan kelompok masyarakat sipil. Disini gerakan sosial memang harus memiliki jaringan yang lebih terstruktur dengan aparat penegak hukum. Jalan untuk melakukan tekanan penting diimbangi dengan melakukan penguatan pada aparat.
Kesempatan untuk bergerak kini dibuka. Kejatuhan Soeharto memang membawa berkah kebebasan yang luar biasa. Kesempatan ini yang waktunya direbut oleh gerakan sosial. Ruang keputusan politik yang kini diperebutkan akan menjadi medan pertarungan yang sengit dan keras. Karenanya agak mendesak untuk memformat ulang sejumlah agenda dan apa yang sebaiknya diprioritaskan untuk dikerjakan. Lagi-lagi agar jangan sampai demokrasi liberal ini jatuh dalam pelukan komplotan bandit yang bersekutu dengan kaum saudagar. Andai itu yang berjalan maka gerakan sosial hanya akan mengalami kemandegan dan bisa-bisa menjadi kaki tangan dari kelompok saudagar yang memakai tabir demokrasi. Waktunya kita untuk jeli membedakan mana oligarkhi dan mana yang memang menjadi sendi kekuatan progresif. Kira-kira karya ini bersandar dalam semangat pemberontakan semacam ini. Sebuah karya menarik yang patut diapresiasi.

Salam pembebasan

Label:

Ruang Kelas Yang Tergusur

22.08 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Ruang kelas yang dahulu biasa penuh sesak dengan manusia-manusia putih abu-abu, kini berubah hening. Sepi tanpa gerak-gerik yang berarti. Kemarin-kemarin ruang kelas ini jadi buah bibir. Banyak prestasi yang lahir dari hasil pergulatan manusia-manusianya. Sorak-sorai kebahagiaan, suara tawa terkekeh-kekeh kegirangan seolah masih terdengar. Banyak cerita ; suka, duka, luka, senang dan sebagainya. Semua tercatat dalam gerakan debu yang gemar bercinta dengan peluh kelelahan khas anak SMA.Tapi itu dulu…enam tahun yang lalu. Tak kusangka waktu berlarian begitu cepat. Banyak berubah…atau justru malah dipaksa untuk berubah. Ruang kelas ini saksinya. Sekarang semuanya hilang. Tersapu rata bersama tanah padat. Kosong tak bermakna. Semuanya betul-betul raib entah kemana. Bangku, meja, papan tulis dan para manusia di tanah itu semuanya sirna. Ruang kelas itu bisu dikangkangi waktu. Beralih arti menjadi hanya sepetak tanah parkiran motor yang sungguh menyedihkan.
Apa arti prestasi yang dahulu dibanggakan setinggi langit ?. Padahal itu lahir dari ruang kelas ini, bukan dari ruang-ruang kelas yang lain. Sekarang ?!...ahh !, adakah perangsang yang mampu menghasut sukma untuk bernostalgia dengan itu semua ?. Tinggal mimpi, atau…paling tidak ingatan dari mulut ke mulut yang sengaja dibuat turun-temurun. Tragis.
Ruang kelas 3 IPS 2 yang dulu dipuji sedemikian rupa terampas benang sejarah gilang-gemilangnya. Habis dijarah oleh ambisi dan obsesi manusia-manusia yang terlanjur percaya dengan mitos pembangunan. Kelas teladan, kelas para bintang…itu dulu. Sekarang…lahan parkiran sekolah yang sepintas lalu tak jauh berbeda dengan petakan parkiran di mall-mall besar kota ini. Purwakarta.
***
Masih saja kusempatkan waktu untuk tersenyum pahit ketika setiap waktu melintas berhadap-hadapan dengan gerbang sekolah yang kelihatan begitu megah hari ini. Setiap waktu juga kurasakan sesak di dadaku gara-gara itu. Campur baur perasaan dalam warna yang berjuta-juta. Berpikir, melayang bersama derap langkah sadar saat melintas. Kemudian sesak, karena pada akhirnya perjalanan liar perasaan itu berlabuh di pulau kegetiran.
Ingin selalu mempercepat langkah di kala melintas, tetapi tak mampu. Kepongahan gerbang sekolah itu yang menyedot sebagian besar tenagaku. Begitu angkuh…sehingga jelas punya kekuasaan untuk menghakimi orang seenak hati tanpa butuh penjelasan apalagi bantahan. Aku korbannya…manusia yang selalu saja merasa dihakimi ketika memberanikan diri untuk menatap. Selalu saja…malu, minder, asing, terkucilkan. Berat kaki untuk melangkah, lelah. Seperti undur-undur…melangkah merayap-rayap karena terlalu besar timbangan malu ketimbang pede-nya.
Waktu memang sungguh-sungguh berputar. Enam tahun bukan waktu yang sebentar. Segala sesuatunya serba berubah. Tak peduli besar atau kecil, setiap perubahan itu nyata. Enam tahun ke belakang, gerbang yang angkuh itu sama sekali tak ada. Tak terpikirkan boleh jadi. Bangunan itu tak sesombong sekarang yang terkesan garang menantang. Bangunan itu dulu begitu anggun, namun berwibawa. Sederhana, tak neko-neko. Eksotis…karena ada goresan tinta sejarah kolonial yang bersaksi dalam rangkaian rapi batu-batu. Saksi bisu sejarah pemerintahan kolonial Belanda. Bangunan tua bersejarah yang difungsikan sebagai sekolah.
Seminggu sekali kubiasakan duduk-duduk benci menatap si gerbang yang sombong. Mengambil arah yang berseberangan, kuteliti urat-urat bangunan itu yang kupikir makin arogan dari waktu ke waktu. Sesekali kupotret...hanya untuk memuaskan dahaga batinku saja. Pertanyaan demi pertanyaan acapkali bersliweran ke arahku di saat tengah asyik-asyiknya duduk dan menatap kesal bangunan itu. “Lagi ngapain, a’ ?”, umumnya seperti itu. Paling-paling kusikapi dengan senyum hambar tanpa jawaban. Terserah apa kata orang.
Bangunan tua milik para meneer yang gemar menjajah dan menghisap pribumi negeri ini. Hari ini tiada…musnah tak tersisa. Dihadapanku kini bertengger bangunan megah yang tampilannya begitu mencolok. Terlihat benar-benar berbeda diantara sesamanya. Tegak berdiri…penuh sumpah serapah.
Jiwa yang bingung mencari-cari jawaban. Butir-butir keheranan mengkristal menjadi batu terjal yang mengisi setiap ruang batinku. Sesak tak terkira. Entah kapan punya kesempatan untuk mewujud menjadi gugatan. Kesaksian yang mau tak mau harus disuarakan. Ruh penjajah belum hilang dari bangunan megah yang ada di sana, meski hilang pesona kolonial-nya. Sejatinya memang betul-betul belum hilang. Hanya bentuk yang berubah. Bukan isi, namun bentuk. Para meneer yang sempat kerasan mengkeruk harta bumi pertiwi, sekarang berganti baju. Bersembunyi dalam jubah para birokrat sekolah yang gemar memuja kata “pembangunan”.
Ruang kelas yang tergusur. Tergusurlah begitu saja. Runtuh menjadi abu bercampur debu yang tak lagi bercinta dengan peluh kelelahan para siswa di kelasnya. Justru dengan oli dan bensin yang tumpah dari kendi-nya. Perselingkuhan yang menyakitkan.
***
Namaku Sujana. Jangan repot-repot panggil namaku seutuhnya, cukup Jana saja. Anak pertama dari keluarga yang masih semangat memanjat tebing kemiskinannya. Berpacu dengan waktu…melawan segala rintangan. Bekerja keras…bisa dipastikan lebih keras dibandingkan PNS yang lebih memilih ongkang-ongkang kaki plus gaji buta. Jangkung, kurus, mata cekung kurang makan…itu aku. Jangan heran. Itu saja ?... ah tidak !. Masih ada yang lain ; insomnia. Yang terakhir ini kudapati setelah akrab bergaul dengan bangku kuliah.
Misteri terbesar dalam hidup ini, buatku justru kehidupan itu sendiri. Entah…sesuatu yang disebut roda nasib-lah yang membuatku semakin yakin bahwa hidup dan kehidupan memang sebuah misteri. Lho iya…bukankah memang harusnya seperti demikian ?. Siapa sangka darah dan daging yang bersenggama dalam sosok Sujana bisa merasakan atmosfer kampus ?. Bila bukan karena kebaikan roda nasib yang kebetulan berpihak…niscaya semua ini tak akan terjadi. Ya sudahlah…biarkanlah roda nasib itu terus melaju deras. Lepas landas dan bebas memilih siapa-siapa yang hendak dijadikan kawan atau lawannya.
Bangunan yang sedang kutatap ini dulunya adalah tempat berlabuhnya semua impian yang tertanam genit di otakku. Tak terlupakan setiap cuplikan peristiwanya. Enam tahun yang lalu. Ada Aulia, teman sebangku yang gemar sekali bercanda. Handi, si tukang basket yang selalu mampu menghidupkan suasana kelas betapapun jemunya. Teman-teman sekelas yang lain…semuanya. Ruang kelas para bintang. Percetakan manusia-manusia teladan yang dianggap akan menjadi orang sukses kala itu. Lahir di ruang kelas ini.
Aku adalah bintang kelas. Sujana si anak kampunglah yang ternyata di detik-detik akhir perjalanan SMA-nya bisa membuat semua siswa menatap kebingungan sekaligus takjub. Predikat terbaik untuk nilai Ujian Akhir Nasional se-kabupaten Purwakarta, aku yang pegang. Sujana si anak kampung. Sumringah tak terbahasakan. Aku masih ingat masa-masa indah itu. Aku—Sujana si anak kampung—yang biasanya tertunduk malu dihadapan teman-teman satu sekolah, tak lagi merasa malu saat itu. Malah kepongahan yang justru timbul-tenggelam. Perasaan geram yang tertahan selama tiga tahun bersekolah pecah sudah. Tertumpah di satu hari tanpa mampu terbendung lagi. Sujana si anak kampunglah yang justru lahir sebagai siswa terbaik di sekolah itu, bukan siapa-siapa. Tidak anak-anak kota yang selalu trendy, tapi Sujana !...Sujana si anak kampunglah yang terbaik.
Enam tahun yang lalu. Ahh…kubuang batang rokok terakhir yang kuhisap setelah hampir satu jam termenung di seberang gerbang sekolah. Kupaksakan langkahku walau terasa berat. Pergi dan mencoba untuk tidak menghiraukan kembali. Satu, dua, tiga langkah…ada tarikan memori yang kembali memaksaku untuk mengheningkan cipta sejenak. Ternyata lahan parkiran itu. Magnet yang kuat mengikat…memaksaku untuk dingin membeku. Ruang kelas yang tergusur. Lebih dihargai sebagai lahan parkiran tanpa peduli segudang prestasi yang telah digubah. Diperkosa oleh para meneer berwajah pribumi, berbaju safari khas birokrat.Ruang kelas yang tergusur. Tergusurlah.
***
Heboh pagi ini. Jerit Sirine ambulance melengking tinggi memekakkan telinga. Tersiar kabar mengejutkan. Wartawan, orang tua, bahkan Bupati pun berdatangan. Aku pun ada…menjadi penonton ke sekian yang memadati keriuhan luar biasa tersebut. Tak sempat kutengok langsung apa yang sebenarnya terjadi. Berdesak-desakkan dalam lautan manusia, jujur saja aku malas untuk itu. Simpang-siur informasi, ini-itu…ini-itu. Aku menyaksikan dari kejauhan dengan penuh rasa penasaran. Hanya bisa mendengarkan penuturan orang per orang.
Akhirnya kudapati juga titik terangnya.Oooh…ternyata begitu ceritanya…Petaka menghiasi cerah pagi ini. Ruang kelas Sekolah Dasar yang letaknya tepat bersebelahan dengan gerbang sekolah yang sombong itu ambruk berantakan. Hancur terburai…mengisahkan nestapa untuk beberapa orang tua. Isak tangis mengiringi jenazah anak kecil yang tertimpa beban jauh melebihi berat badannya. 2 siswa SD tewas terkapar di tempat, sisanya luka ringan.Ngeri seketika. Banyak tangan coba membantu. Aku diam-diam saja mengamati. Terlalu banyak orang…ramai. Kupikir sudah lebih dari cukup untuk pertolongan pertama.
Kembali melangkah ringan, terus saja berjalan layaknya hari-hari biasa. Tanpa muatan emosi apapun, enteng-enteng saja. Berbohong, padahal hati geram. Lagi-lagi terlihat gerbang sekolah yang setelah kejadian itu terasa semakin mentereng. Sesak dadaku lebih dari yang jamak kurasakan…setengah marah menggila. Kulampiaskan dengan senyum pahit menyebalkan. Kutatap gerbang berikut penjaga sekolah itu. Berbisik pelan dalam kata-kata yang sangat ironis ; ambil ruang kelas yang ambruk itu untuk lahan parkiran selanjutnya.
Purwakarta, 5 April 2008

Label:

Tentang Sekolah...Tentang Jakarta

21.57 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)


Siang hari, kawan. Kurang lebih seperti itu. Tapi, ah tidak !, tidak !, tidak seperti itu. Justru tepat. Ya !, jelas ini siang hari, tak lebih tak kurang. Matahari telah meninggi tepat di atas ubun-ubun, udara semakin terasa sesak, pengap, pedih menusuk rongga dada yang kembang-kempis tertekan bengisnya zaman. Panas, ya !...itu, panas. Siang hari bukan ?. Paling tidak menurut pengalamanku saja, kawan. Pengalaman turun-temurun. Buyutku bilang begitu, dilanjut ke kakek, ayah, kakak dan akhirnya meresap ke lumbung ingatanku. Aneh memang, tapi ya…sudahlah.
Harap dimaklum, kawan. Tak tahu aku itu soal putaran jam. Soal huruf, soal angka, ah !...misteri. Tak ada itu !, tak pernah sekalipun Bapak cerita soal itu. Kami tak ambil peduli, dingin. Biarlah alam bicara apa adanya. Siang itu berarti panas, terang benderang…dan beberapa hal yang kuketahui pasti ; guyuran keringat, pegal di tangan dan kaki akibat seharian mengolah sawah milik juragan Tommy yang konon tinggal di Jakarta—negeri yang kata Bapak gemerlapan, meriah sejadi-jadinya. Itu !, sebatas itu saja pengetahuanku kawan soal siang hari.
Dan, ah !...ya !…satu lagi ; soal malam hari, kawan !. Perkara itu aku tahu. Jelas Bapak yang cerita…bukan mantri, lurah apalagi Pak guru yang sampai saat ini hanya kukenal dari obrolan warung kopi anak-anak sekolah Inpres. Lagi-lagi, pengalaman saja yang membuatku paham tentang apa itu sesuatu yang disebut malam hari. Sederhana, kawan. Begini, begadang semalaman di gubuk dekat sawah juragan Tommy bersama hawa dingin dan pekatnya malam yang kadang bikin bulu kuduk merinding, berjaga-jaga khawatir ada orang yang nekad memutar jalur air irigasi yang membasahi sawah juragan. Itu !, itulah malam hari. Sudah kubilang dari tadi bukan ?!, sederhana !.
Anak-anak Inpres seringkali cekikikan tiap kali kubuka persoalan siang dan malam itu tadi. Tolol mereka bilang, telunjuk mengarah angkuh tepat ke mukaku. Setelah itu biasanya bergantian mereka melemparkan ejekan demi ejekan. Kurasa-rasa, temponya teratur, tak jauh berbeda seperti embikan kambing. Buta huruf !...tak lama…Kampungan !. Kemudian suasana mendadak riuh layaknya pesta-pesta Jakarta yang Bapak ceritakan kepadaku. Entah kenapa mereka tertawa, terus terang aku tak tahu. Manusia terbelakang !...tak beradab !. Tertawa lagi…heran lagi aku dibuatnya.
Pacul masih tergenggam kuat di tangan. Sembari menyeka keringat yang mengalir begitu deras, aku merenung, mencari serpihan hikmah dari hidup yang kujalani. Tolol, buta huruf, kampungan, manusia terbelakang, tak beradab…suara-suara sumbang anak-anak Inpres. Disela-sela tarikan nafas yang terasa berat, kucoba berani menyimpulkan sesuatu yang bahkan tak kumengerti sama sekali ; itukah arti sekolah ?!.

***
Bapak diam saja sedari tadi, tanpa kata atau bahkan sekadar sapa kecil Bapak kepada anaknya. Hening, bisu, itu saja. Tak seperti biasanya, entah apa yang sedang dipikirkan Bapak. Cicit centil suara burung yang lalu lalang, semilir angin panas yang tak tahu diri…berlalu, mondar-mandir seperti arus lalu lintas yang sempat kulihat dengan penuh ketakjuban sewaktu menikmati tontonan manusia aneh yang bergerak-gerak persis di layar. Misbar, Gerimis Bubar, kira-kira seperti itulah namanya. Sapaan akrab untuk hal yang demikian itu. Intinya seperti itulah, aku tak mau bertele-tele. “Biar anak-anak Inpres yang pusing memikirkan tetek bengek penjelasan ini-itunya”, bisik suara batin yang tak jelas apakah lirih ikhlas nrimo atau malah tak percaya diri.
Tampak seperti ramai memang, tapi tidak. Jelas-jelas aku menunggu, menanti sesuatu yang tak pasti juga apa gerangan itu. Tak pasti…ya !, namun kutahu itu lebih menggelegar dari segala keramaian. Suara bapak…cerita bapak tentang apapun yang dia ketahui dan lantas dibaginya khusus untukku. Potongan-potongan kisah yang selalu punya arti tersendiri, meski bagi anak-anak Inpres itu sepele.
Kutatap wajah Bapak, terlihat murung kehilangan gairah. Sorot matanya kosong. Berkedip sekali-kali, namun berat. Jauh dari kelincahan yang ditampilkannya sehari-hari. Seperti mencari sesuatu, dipandangnya apapun di arah kiri dan kanannya. Liar, bingung. Padahal sawah, hanya sawah tempat bergantungnya nasib kami dari masa ke masa.
“Nak...”, mulai Bapak bicara. Kutangkap jeli getaran simfoni dukanya.
“Parmin, anak si Sadli…dia pergi ke Jakarta besok. Kerja katanya…”, deras kata-kata Bapak tiba-tiba terhenti. Terganjal. Sejenak ditariknya nafas dalam-dalam, sekadar melepaskan secuil beban perasaannya mungkin. “…lepas dari Sekolah Inpres, Sadli bilang…Parmin dicarikan kerja oleh pamannya. Bayar tukang catut pabrik, Parmin diterima. Urusan mesin begitulah katanya, Nak. Upahnya besar, lebih dari lima ratus ribu. Hebat itu si Sadli…” , lagi-lagi tuturan curahan hatinya terpenggal di tengah jalan.
Sebatang rokok diambil Bapak dari kantong celananya. Kepulan asap putih yang serta-merta bergabung bersama angin seakan menjadi saksi kepedihan yang sedang ditanggungnya. Mengapung tinggi, semakin tinggi. Sontak hilang, sirna seakan menandai pupusnya harapan seorang Bapak. Masih saja aku terpaku, berpikir keras mencerap segala hal yang dibicarakan Bapak. Tak berani aku menjawab, lebih baik membisu.

“…maafkan Bapakmu ini, Nak. Tak mampu Bapak menyekolahkanmu…ke sekolah Inpres seperti anak-anak yang lain. Seperti si Parmin…bekerja…ke Jakarta…dapat upah !”, luapan emosi campur aduk dalam kata-kata yang meluncur dari mulut Bapak. Pecah, membludak begitu saja penuh tekanan. Tidak lagi putus-putus seperti sebelumnya, kali ini benar-benar berbeda. Tegas, namun miris. Hentakan suaranya lebih mirip pernyataan keputusasaan daripada kehilangan. “Ah...Bapak”, jerit batinku yang tanggap menyelami samudera derita Bapak.
Sempat kulihat tetes air mata Bapak dalam langkahnya kembali ke sawah. Tak sanggup rupanya dia menahan sesak di hatinya. Lelaki tua yang sedang kucermati ini…dia menangis. Tangis kekalahan manusia di tengah arena pertandingan yang disebut kehidupan.
Sendiri. Kuteruskan perbincangan ini bersama alam. Berdialog, membuka makna sekolah. Setelah celaan yang tempo hari dilontarkan anak-anak Inpres kepadaku, sekarang Bapak yang dirundung malang. Gara-gara sekolah, kemudian kerja, terus upah…Bapak terluka.

***
Musim panen tiba, kebahagiaan bersemi tanpa perlu dipinta. Seantero kampung bergembira, wajah sumringah para buruh penggarap sawah menguap tanpa ampun. Disana-sini, meriah sekali. Selalu ada cerita yang mengisi hiruk-pikuk kehidupan kampungku. Selain kisah sehari-hari tentang buruh penggarap, para juragan dan sawahnya tentu saja… silih berganti cerita demi cerita datang dan pergi. Ramai Parmin jadi buah bibir kemarin, semua tahu dari ujung ke ujung. Tentang kepergiannya ke Jakarta, siapa yang tidak menyempatkan diri untuk turut serta berwacana ?.

Kini tak ada lagi. Tergusur. Parmin tak lagi terangkat namanya sebagai bahan pembicaraan orang sekampung. Musim panen membawa ceritanya sendiri. Dari tahun ke tahun…sama saja, selalu itu. Juragan Tommy, melulu beliau yang hadir dalam setiap obrolan. Dari kelurahan sampai ke warung kopi, Juragan Tommy lagi…Juragan Tommy lagi.

Bagaimana tidak ?, juragan Tommy yang baik hati itu…dibagi-baginya berlembar-lembar uang kepada seluruh buruh penggarap yang bekerja di sawahnya. Tiap kali musim panen, sungguh beliau orang yang murah hati. Berkah musim panen, kata beliau, “harus dibagi…biar semua senang”. Kami bersyukur, sesekali melontarkan kekaguman yang tak terkira untuk beliau.
Juragan Tommy…orang Jakarta. Baik hati dia itu. Ingin aku pergi ke Jakarta…jadi orang Jakarta seperti Bapak bilang. Menyusul Parmin, menguji peruntungan di tanah harapan. Kalau juragan Tommy saja baik hati begitu, artinya orang Jakarta memang baik semua. Kubagi-bagikan nanti uang untuk orang sekampung setelah jadi orang Jakarta. Mungkin…suatu saat nanti...entah…

***
Juragan Tommy tidak datang sendiri. Musim panen ini turut serta pula saudara kandungnya, juragan Bambang. Gagah dan berwibawa, seperti itulah gambaran sekilas sosok juragan Bambang yang setengah malu-malu kutengok dari kejauhan. Sulit untuk melihat mereka berdua, orang sekampung berjejal-jejal ingin menyaksikan tokoh yang telah memberikan kesempatan untuk merasakan nikmatnya makan tiap hari walau serba seadanya.
Kehadiran juragan Bambang…dalam sikap, lirikan mata hingga ke langkah kaki yang dipertontonkan ke khalayak ramai menambah sedikit perbendaharaan kesanku tentang orang Jakarta. Hebat, luar biasa. Ditambah mobil mewah dan puspa ragam peralatan yang disandangnya…ah !, otakku semakin menggila memikirkan alam raya yang disebut Jakarta. Parmin jelas tahu itu, Jakarta…dia tahu. “Punya kesempatan jadi orang hebat si Parmin itu”, bunyi suara hatiku yang terdengar seperti meronta-ronta. Esok atau lusa, bulan depan, tahun depan…kampung ini mungkin punya juragan baru, juragan Parmin.
Balai desa ramai dipadati orang sekampung. Pak Lurah memberikan perintah kemarin, orang sekampung harus hadir ke balai desa untuk kepentingan silaturahmi dengan juragan Tommy dan saudara kandungnya. Dialog, seperti itulah istilah yang sampai dari mulut ke mulut. Apapula itu dialog, aku tak tahu. Hanya manggut-manggut saja aku ketika Bapak menyampaikan perihal itu selesai membenahi peralatan kerja sawah kami kemarin sore.
Acara resmi dibuka oleh juragan Tommy. Setelah sambutan Pak Lurah yang begitu hangat, sepatah dua patah kata Pak camat yang alamak begitu panjang hingga pantat terasa beku, juragan Tommy angkat bicara. Tak banyak apa dan apa, itu yang kusuka. Singkat saja waktu bicara yang dipakai juragan Tommy. Selesai mengucapkan salam, masih kuingat beliau bilang begini, “mari kita buka acara ini dengan mengucapkan basmallah”. Luar biasa !. Tak seperti Pak Camat yang terlihat makin pikun dan mengerikan itu, lama dia bertutur kata. Tak sampai pula di otakku apa yang dia maksud ; ekstensifikasi pertanian-lah, modernisasi, etos kerja, kemandirian komunal. Sulit dimengerti, paling tidak olehku. Bapak tak pernah cerita masalah itu. Namun begitu, hal itu tak menghalangi niatku untuk turut serta bertepuk tangan untuk beliau setelah rampung pidatonya. Meski banyak sesal membuncah-membuncah di dalam hati, meski terjal kerikil perasaan mengganjal di benak serta otakku. “tak paham aku itu, Pak…apa maksud bela negara, sedang negara pun tak pernah kusadari bagaimana rupanya”.
Juragan Tommy menyapa para buruh penggarap sawahnya. Berbincang-bincang santai. Tanpa prasangka, lurus-lurus saja. Pak Sadli ditanyanya, bagaimana perkembangan keluarganya sebagai salah seorang mandor buruh tani kepercayaannya. Seperti baru saja mendapatkan utangan, Pak Sadli semangat mengisahkan segala hal yang berkenaan dengan pertanyaan itu, “Anakku, juragan… Si Parmin…telah lulus sekolahnya. Di sekolah Impres, juragan…Impres begitulah kata si Parmin. Dia bekerja, juragan…di jjjjj…Jakarta. Jakarta, juragan”. Si penanya diam saja, tak bergeming dengan kilatan sejuta cahaya kegirangan yang meluncur dari mulut Pak Sadli. Turun naik kepalanya, mengikuti setiap petak cerita yang dirangkai Pak Sadli. “Ya…Ya !. Terus cerita, Sadli…terus…”, mungkin demikianlah pesan yang bisa kutangkap dari gerakan kepala juragan Tommy yang kurekam.
“Inpres Sadli !...Inpres !...bukan Impres !. Tapi, ya…sudahlah. Mulia kau itu bisa menyekolahkan anakmu. Apalagi sampai lulus, sampai kerja…di Jakarta !. Bravo !. Hebat kau, Sadli”, hadirin terhenyak dari lamunannya. Suara juragan Tommy memecahkan kebuntuan suasana di ruangan ini.
Ada yang memulai tepuk tangan. Satu orang, dua orang, sampai Bapak dan akhirnya aku. Semua hadirin tepuk tangan, suka ria. “Hidup Sadli, Hidup Parmin !”, melintas suara bising dari arah belakangku. “Sekolah !...sekolah !...Kerja !...Jakarta !”, balas teriak orang lain dari arah yang tak jelas. Juragan Tommy tersenyum puas kini. Bangga boleh jadi, karena ada anak mandornya yang bisa lulus sekolah dan akhirnya bekerja di Jakarta. Beliau ikut tepuk tangan, mengamini dan larut dalam suka cita bersama.
“Dan…ah !...kau !...ya !...kau…siapa namamu ?”, juragan Tommy kembali mencoba membuka perbincangan. Riuh tawa yang tadi sempat bergelombang di Balai Desa, tergerus makin tipis kini. Lama-lama sepi, tak lagi bising. Tak lagi ada yang berani berbicara apalagi menjerit keras seperti tadi. Tak ada. Tinggal juragan Tommy dan yang ditanya, pusat perhatian semua orang.Mencekam. “ya !...kau !...siapa namamu pak tua ?”, tandas juragan Tommy kembali. “Sapardi…Juragan”, lemah suaranya, tak seperti letusan suara juragan Tommy yang penuh rasa percaya diri.

Pak tua yang dimaksudkan juragan Tommy ternyata adalah bapak, lelaki tua yang semakin kurus saja. Wajahnya mendadak pucat. Bibirnya kaku, semu beku. Tegang dia memandang juragan Tommy.

“Kau punya anak Pak tua ?!”, tanya juragan Tommy.

“Ppp…punya, juragan. Satu saja. Suhadma namanya”, jawab Bapak.

“Sekolah dia ?”, layaknya hakim agung, juragan Tommy menyarangkan pertanyaan khusus untuk sang tertuduh…Bapak.

“……….”, tak menjawab apa-apa Bapak. Hanya diam, murung sembari menggulung punggungnya hingga nyaris seperti kura-kura.
Dunia boleh saja iri dengan apa yang terjadi di ruangan ini. Seakan tinggal dua manusia saja yang kebetulan hinggap di bumi. Juragan Tommy, Bapak…sebuah klise tragis yang masih tetap saja ada, walaupun ada sosok lain yang konon lebih arogan. Kutahu itu dari Pak Camat…negara.
Mungkin Bapak sadar bahwa dirinya terhimpit, terdesak oleh sebuah pertanyaan yang mau tidak mau harus dijawabnya. Bapak sadar pula mungkin, semua orang menanti jawabannya. Bukan saja juragan Tommy, bukan saja Pak Sadli…kesaksiannya dinanti oleh semua orang di kampung ini yang sekarang menjejakkan kakinya di balai desa. Kesaksian orang kampung…kesaksian seorang manusia yang pengertiannya tentang dunia terkurung oleh suatu kenyataan bahwa yang ada di hadapannya adalah petakan tanah berhektar-hektar yang harus digarapnya demi sekadar bertahan hidup.
“Tidak, juragan….anakku tidak sekolah”, jawab Bapak setelah cukup lama dia membatu.
Juragan Tommy tersenyum kecut, sehingga kontan lebih mirip seringai serigala. Mimik muka yang sungguh aneh sebetulnya.
“Ah !...Sapardi. Manusia udik…Sapardi…ah !”, jawaban Bapak dibalas dengan letusan kata-kata yang cukup memekakkan telinga. Setengah melotot juragan Tommy di waktu melepaskan kata-kata itu.
Juragan Tommy tertawa. Keras…keras sekali. Disusul Pak Sadli, disusul pula oleh orang banyak di belakangku. Semua tertawa…terbahak-bahak.
Balai desa sepi. Tinggal aku dan Bapak yang masih belum beranjak dari tempat duduk. Malu Bapak…merasa ditelanjangi begitu rupa. Kini semua orang tahu…Sapardi, Bapakku…manusia udik. Kuulas kembali, manusia udik…karena tak mampu menyekolahkan anaknya.

***
Bapak belum lagi kuat kembali ke sawah. Beberapa hari ini dia sakit, terkapar dia di tempat tidurnya. Beberapa hari ini pula kugarap sawah juragan Tommy sendiri, tanpa Bapak. Kasihan Bapak…terputus sejenak kesempatannya untuk bercerita tentang apa saja kepadaku. Lebih dari itu, kasihan juga Bapak…tak mampu dia berkumpul di balai desa hari ini. “Ada berita besar yang harus disampaikan ke semua orang kampung”, demikian kata Pak Lurah. Berita apa, aku tak tahu. Sejujurnya tak ada yang tahu. Tak ada desas-desus, kali ini berbeda. Berita itu akan disampaikan langsung oleh orang berseragam yang selama ini kukenal sebagai tuan Kapolsek. Lagi-lagi itu juga kata Pak Lurah yang kebetulan berpapasan denganku siang tadi.

Orang-orang sekampung pun berkumpul, sesuai dengan permintaan Pak Lurah dan tuan Kapolsek. Tanpa sambutan yang membuat badan pegal, acara langsung diawali dengan uraian dari tuan Kapolsek. “ada tembusan dari kepolisian Jakarta sana. Parmin…jadi buronan. Setelah mencuri barang di pabriknya, Parmin terlibat dalam tragedi pembunuhan bosnya. Kawan-kawannya sudah ditangkap, di penjara. Parmin belum. Jadi…kuharap bapak-bapak sekalian bisa bantu kepolisian. Lapor ke Polsek kalau-kalau Parmin datang ke kampung ini…”, tutur Kapolsek.
Tanpa tawa, tanpa tepuk tangan…acara pertemuan ini bubar begitu saja. Tersisa pertanyaan di benakku…tentang sekolah, tentang Jakarta. Tak berani aku bercerita ke Bapak ihwal kejadian ini. Biar Bapak saja yang ceritakan semuanya nanti.
Sore menyapa seisi kampung. Kulangkahkan kaki untuk pulang ke rumah bersama Pak Lurah. Melewati sawah yang biasa kugarap, kupaksakan niat untuk bertanya kepada Pak Lurah, “apa maksud papan yang menandai sawah juragan Tommy itu, Pak ?”
Enteng jawaban yang ditandaskan oleh Pak Lurah, “Oh…TANAH NEGARA, nak !”.


Purwakarta, 24 Maret 2009

Lorong Sepi Proletariat – Purwakarta

Label:
Adsense Indonesia