SELAYANG PANDANG
Ayo kita selamatkan Demokrasi & Mari kita bunuh Oligarkhi
Oleh : Eko Prasetyo
Ayo kita selamatkan Demokrasi & Mari kita bunuh Oligarkhi
Oleh : Eko Prasetyo
Jatuhnya Demokrasi di tangan komplotan bandit sudah tercium dimana-mana. Gejala umum yang menonjol adalah buasnya para saudagar dalam menduduki kursi partai politik. Jika dulu mereka menempati posisi sekedar sebagai bendahara maka kini mereka ingin juga duduk sebagai ketua. Uang berapapun akan dikucurkan karena memang kondisi yang ideal manakala saudagar yang kesukaanya berbisnis bisa juga pegang aturan. Rangkap fungsi ini menjadi bermasalah karena profesi saudagar dengan politisi itu berbeda. Kerjaanya beda dan hasilnya juga beda. Tapi apa mau dikata jika politik dipahami sebagai urusan jual-beli barang.
Runyamnya prinsip demokrasi memang diawali dari dibajaknya kepentingan publik untuk memuaskan kepentingan para saudagar. Di masa kolonial VOC mungkin jadi pengandaian yang tepat dari kekuasaan saudagar yang berlimpah. Mereka bukan hanya urus perdagangan lada melainkan juga memfasilitasi perundingan. Tak jarang VOC juga mempengaruhi para raja untuk bertingkah seperti boneka Eropa. Berpesta sambil minum bir atau raja ditempeli dengan berbagai tanda penghargaan. VOC adalah sayap perdagangan yang semula hanya mau cari untung tapi berbalik keinginan menjadi penguasa. Walau VOC kemudian jatuh dan gagal tapi gagasan besarnya yang ingin menyatukan keinginan menumpuk laba dan berkuasa masih menjadi keyakinan yang menebal.
Dengan cekatan Soeharto mulai meniru apa yang dilakukan oleh VOC tempo dulu. Padanya kekuasaan kembali memusat dan kontrol dilakukan dengan gaya yang sadis. Di dalam tubuh kekuasaanya, keluarga Cendana menjadi miniatur dari memusatnya kuasa ekonomi dengan pengaruh politik. Memompa doktrin persatuan dan kesatuan Soeharto mulai menciptakan tradisi politik yang bersandar pada kekerasan dan loyalitas. Ada banyak pengusaha berjubel untuk menanti restu politiknya. Deretan saudagar ini berkelompok dalam sebuah perserikatan yang mulai melakukan kapling baik atas sumber daya ekonomi maupun sumber kekuasaan politik. Walau Soeharto sudah jatuh tapi Cendana berhasil dalam menikahkan hubungan antara saudagar dengan politisi.
Relasi yang erat ini dihidupkan oleh berlakunya demokrasi prosedural. Satu sistem yang menganut demokrasi hanya sebatas pada penciptaan lembaga. Fasilitas demokrasi yang seperti ini bukan hanya memakan ongkos besar melainkan juga mengabaikan kebutuhan-kebutuhan riil rakyat. Pokok persoalanya berawal dari sana, bagaimana sistem demokrasi tambah menghasilkan keputusan-keputusan yang menganiaya rakyat. Proyek privatisasi telah meluncurkan program pendidikan dan kesehatan menjadi mahal dan tidak bisa diakses oleh rakyat miskin. Tata kota yang disulap telah menjerumuskan pedagang kaki lima dalam keterjepitan kemiskinan. Sama halnya dengan penyesuaian harga BBM yang menaikkan harga bahan-bahan kebutuhan pokok.
Bencana kebijakan semacam ini merupakan imbas dari persekutuan najis antara demokrasi prosedural dengan proyek fundamentalisme pasar. Jika dulu serdadu menjadi lapisan yang aktif mengamankan ambisi penguasa kini kumpulan para bandit yang menjadi sekutu baru. Bandit-bandit ini hidup subur karena hukum maupun pejabatnya telah berlumuran kotoran. Mereka menjalankan bisnis illegal dengan perlindungan maksimal dari aparat penegak hukum. Bisnis yang dikelola begitu beragam, dari perdagangan obat terlarang hingga penjualan anak. Jepitan kemiskinan membuat ikhitiar para bandit ini mendapat ladang yang subur. Lagi-lagi bandit menjadi sayap berpengaruh karena sistem yang berjalan masih mempertahankan keberadaan orang-orang lama. Mereka sekedar berganti baju tapi memiliki mandat dan kepentingan yang sama.
Kini giliran partai politik yang sibuk untuk dikuasai oleh kelompok oligarkhis. Dengan fungsi-fungsi yang dilumpuhkan partai politik kemudian menjadi tangga bagi sekelompok orang untuk duduk di kursi kekuasaan. Perebutan untuk duduk di kursi ketua jauh lebih penting ketimbang bicara pengembangan program. Rekruitmen maupun pendidikan politik yang tidak dikerjakan tercermin dari mudahnya anggota partai untuk angkat kaki pindah ke partai lain. Partai diisi oleh sejumlah orang lama yang tak ingin pergi dari lingkaran kekuasaan. Dilema yang kemudian menggigit partai adalah tiadanya ideologi yang mengikat partai untuk setia pada programnya. Buruknya keadaan ini diperuncing oleh fragmentasi yang ada dalam partai politik akibat dari menguatnya feodalisme dan jaringan kepentingan yang saling melindungi. Kehidupan partai politik di Indonesia seperti guci unik yang mudah pecah karena tersenggol.
Berkaca dari tulisan Coen Husein Pontoh kita bisa melihat dengan jeli bagaimana sumber kekuasaan yang dikuasai oleh komplotan bandit ini juga berjalan disini. Masih kuat sinyal ingatan kita pada perkara korupsi yang ada di KPU. Sudah tentu kita juga ingat akan korupsi berjamaah yang dilakukan oleh anggota Dewan yang tidak terhormat. Fasilitas-fasilitas demokrasi yang tercemar dengan suap dan korupsi ini akan membuat publik kecewa bahkan geram. Kecewa karena demokrasi tidak mengantarkan kedaulatan melainkan kediktatoran para saudagar. Geram karena partai hanya jadi alat untuk berkumpulnya kekuatan lama yang ingin berkuasa kembali. Jebakan demokrasi yang getir ini memberikan alarm pada semua aktivis gerakan. Masanya bukan sekedar konsolidasi tetapi membuat langkah-langkah taktis yang berguna bagi kehidupan rakyat.
Langkah yang utama adalah memetakan kembali dimana sendi kekuatan gerakan demokrasi. Memetakan baik agenda, aktor maupun methode yang selama ini ditempuh bagi menguatnya prinsip demokrasi. Perseteruan sengit antar organ gerakan memang harus diakhiri karena ini selain dapat membunuh organ dari dalam juga akan meratakan jalan bagi sindikat bandit untuk memegang kendali. Peta ini senantiasa perlu dibaca ulang untuk menjalankan agenda konsolidasi yang lebih massif dan menghindarkan diri dari proses moderasi yang begitu cepat. Musibah yang menimpa gerakan, baik yang dijangkiti oleh kemandulan logistik maupun sulit berjalan bersama sebisa mungkin segera diatasi. Salah satu sumbangan penting bagi pemetaan adalah memberikan dasar evaluasi sekaligus mengukur kemajuan gerakan sosial dalam mengartikulasikan tuntutan-tuntutan publik.
Langkah berikutnya sudah tentu memperluas basis jaringan sekaligus suplai logistik yang memadai. Jaringan ini untuk menembus kebekuan-kebekuan dalam sistem kekuasaan yang selama ini dikuasai oleh komplotan bandit. Suplai logistik juga penting untuk meruntuhkan kecurigaan kalau gerakan sosial hanya kaki tangan dari gerakan asing. Ada benarnya jika gerakan sosial kemudian harus mencoba untuk menembus sumber-sumber keuangan yang ada di lembaga perbankan. Sebab lembaga keuangan yang ada sekarang hanya digunakan untuk memenuhi pundi-pundi uang para penjahat di samping guna memperlancar berbagai transaksi di pasar bebas. Jaringan dan pemenuhan asset logistik yang dikerjakan selama ini memang kurang banyak melibatkan secara aktif kekuatan ekonomi rakyat. Jaring lembaga donor telah melumpuhkan militansi dan kreativitas gerakan dalam mendulang dana.
Jika jalan untuk pemenuhan logistik ini sudah terjawab maka persoalan berikutnya yang perlu diselesaikan adalah mekanisme rekruitmen dan kaderisasi di lingkungan gerakan. Rekruitmen yang didasarkan hanya pada kesamaan ideologi atau pengalaman langsung lapangan kiranya sudah tidak mencukupi. Dasar rekruitmen juga perlu memasukkan pandangan sekaligus methode apa yang akan mereka lakukan untuk terjun dalam kancah gerakan sosial. Pandangan ini untuk menampung prakarsa-prakarsa progresif yang biasanya didapatkan pada kader-kader muda yang baru lulus. Methode digagas untuk menemukan kembali ide-ide yang segar yang bisa menembus kebekuan sistem maupun rumitnya jaringan oligarkhis. Tak bisa disangkal kehancuran gerakan lazimnya diawali dari tidak jelasnya alur dalam melakukan kaderisasi sekaligus kesulitan dalam menampung ide-ide radikal dari mereka yang masih belia.
Itu sebabnya gerakan sosial jangan sampai mengulang tabiat negatif yang ada dalam partai politik. Kepemimpinan dikuasai oleh mereka yang sudah tua dalam soal gagasan dan tidak mau menerima perubahan. Dalam dunia gerakan sosial ide, gagasan maupun methode ada baiknya untuk terus-menerus diperbaharui. Pembaharuan ini terutama untuk menjawab tantangan yang selalu saja berubah cepat dan jaring kepentingan yang terus berbaur. Tersedianya pelatihan, pendidikan maupun training yang berjangka pendek dan sekedar untuk memenuhi tuntutan program sudah tidak lagi memadai. Pendidikan kader berjalan secara kontinu dengan jangka waktu panjang sekaligus secara detail dapat memberi amunisi analisis sosial yang tajam dan mendalam. Disini yang sebenarnya memerlukan kerja keras di kalangan gerakan terutama untuk mereka yang duduk di pucuk kepemimpinan.
Kalau gerakan mampu menyediakan proses pendidikan yang kontinu dan berjalan secara militan, maka tugas yang lainnya tinggal menjalankan pengorganisasian secara intens dengan menyisir semua potensi kekuatan rakyat. Pengorganisasian yang selama ini telah dilakukan memang sudah mengalami banyak kemajuan. Dari kaum miskin kota hingga jaringan kaum profesional memang sudah terbentuk. Tapi kebanyakan persoalan yang masih mencuat adalah konsolidasi diantara elemen gerakan yang begitu minim. Kebanyakan diantara mereka jalan dengan agenda sendiri dan tak jarang tumpang tindih. Malahan ada beberapa gerakan yang menggunakan jalur media untuk melakukan aksi saling kecam diantara sesama.
Pendidikan melatih kader untuk tidak terjebak dalam sikap opportunis dan budaya yang pragmatis. Keduanya mengancam karena oppurtunisme akan membuat seorang kader takluk dengan siasat licin penguasa dan pragmatisme membuat kader jatuh pada pilihan-pilihan yang situasional. Cerminan ini bisa disaksikan dari bagaimana impian indah aktivis saat masuk dalam lingkaran partai politik dan kemudian setelah sampai disana, hanya menjadi perantara bagi kepentingan partai dalam mendulang suara. Mereka yang tak mau disebut lagi gerakan moral mulai berpikir untuk masuk dalam lorong gerakan politik. Lorong yang hingga kini masih berjubel para politisi sesat yang berpikir hanya dalam jangkauan 5 tahun. Keadaan ini seperti sebuah jebakan yang menjerat kader gerakan dalam kebungkaman permanen. Opportunisme diawali dari menyerahnya kedaulatan aktivis dalam menyuarakan prinsip-prinsip gerakan yang benar.
Pendidikan juga mengajari aktivis untuk senantiasa tegar dan tekun dalam mengurai persoalan. Semua masalah sosial yang timbul punya akar struktural dan kultural yang dalam. Menyebut demokrasi kita tak bisa hanya menguraikan tentang sejarah pemikiranya melainkan juga bagaimana kritik yang menyertai sistem ini. Sama halnya berbicara soal gerakan sosial tidak bisa hanya berkaca pada pertumbuhan kontemporer gerakan melainkan juga sejarah yang mendahuluinya. Pendidikan gerakan ibarat akar yang akan menentukan cabang dan ranting gerakan secara kokoh. Soal inilah yang agak mencemaskan karena pendidikan gerakan nyatanya hanya akan mengulang apa yang sudah dilakukan secara turun-temurun dan rutin. Di tingkatan mahasiswa masih belum banyak perubahan pada pendidikan gerakan dan kecenderungan untuk berorientasi teori masih saja dominanl. Kemudian hal serupa pada sejumlah aktivis LSM yang lebih dominan dimensi praksis gerakan ketimbang sentuhan teori.
Dengan ruang politik yang kini disapih untuk kepentingan saudagar maka tantangan utama aktivis ada pada upaya menarik garis batas nilai keadilan. Dalam upaya menarik garis batas itulah kebutuhan untuk mengenali medan menjadi penting. Medan pertarungan ini akan memberikan kita kemampuan untuk mendeteksi persoalan dan siapa saja yang menjadi penyokong utama sistem ini. Jika dulu keluarga Cendana merupakan penggerak sistem kediktatoran Orde Baru kini beralih fungsi pada pemodal-pemodal besar yang menyebar pada semua jenis usaha. Kekuatan modal ini telah mengkapling wilayah kekuasaan yang sukar disentuh bahkan oleh tindakan hukum sekalipun. Sinyal ancaman mereka selalu berawal dari ancaman untuk melakukan relokasi tempat usaha. Jika buruh ribut terus maka dengan cekatan mereka akan memindahkan ladang usahanya. Hal yang sama berlaku ketika tuduhan gencar dialamatkan pada tempat usaha yang melakukan pencemaran. Dengan lobbi intensif perkara pencemaran lingkungan bisa diselesaikan di meja perundingan ketimbang jalur meja pengadilan.
Meja pengadilan akan menjadi kekuatan baru yang bisa meringkus semua ekspresi politik yang tak sesuai dengan isi undang-undang. Alkisah tentang UU Terorisme yang secara membabi-buta memakan banyak korban dengan mengabaikan nilai serta prinsip hak asasi manusia. Seseorang yang kena label teroris berhak untuk di-apakan saja. Sama halnya dengan meringkus media melalui gugatan pencemaran nama baik. Politik hukum yang berhamba pada instrumen modal akan menyulitkan kesadaran massa yang lebih progresif . Hukum yang seperti ini akan membuat komplotan bandit dapat mengorganisir kekuasaan dan bisa-bisa hukum jadi alat untuk menundukkan semua kekuatan demokratis. Walaupun ada banyak fasilitas hukum yang dibentuk tetapi jika itu tidak didasari oleh sikap keberpihakan dan terakomodasinya kepentingan rakyat maka mustahil hukum bisa menegakkan keadilan.
Keadaan ini misalnya tercermin pada Peraturan Daerah yang mengatur tentang tata ruang. Perebutan tata ruang kini menjadi pertengkaran politik yang keras dan melibatkan berbagai kelas sosial. Tata aturan hukum lalu menjadi pelayan bagi kepentingan-kepentingan dominan. Seperti yang muncul disejumlah kota besar, yakni keberadaan pedagang kaki lima yang hingga hari ini dianggap menjadi biang utama persoalan perkotaan. Karena dianggap masalah maka pedagang kaki lima tidak diperkenankan untuk menjalankan usaha seenaknya. Yang semula boleh di pinggir jalan sekarang wilayah itu jadi larangan. Dengan mencantumkan sebagai larangan, hukum kemudian berperan sebagai alat penyeleksi. Politik hukum yang menjalankan mekanisme seleksi itulah yang berujung pada diskriminasi. Gugatan atas beberapa praktek tata ruang yang otoriter ini telah mengungkit kembali persoalan keadilan.
Karenanya semua gerakan sosial tampaknya akan berhadapan dengan budaya kekuasaan yang menggunakan hukum sebagai tameng kekuasaan. Itu sebabnya ada banyak prakarsa yang muncul untuk mendorong tampilnya aturan yang lebih berpihak pada kepentingan luas rakyat. Beberapa aktivitas legal draft dilakukan untuk menekan munculnya aturan-aturan hukum yang jauh lebih berpihak. Peraturan kini menjadi sumber ke-absahan segala prilaku maupun tindakan sosial. Bekal kemampuan yudisial menjadi sumber amunisi terpenting bagi gerakan sosial. Ini tampak pada diseretnya sejumlah anggota parlemen dalam kasus korupsi dan itu sebagian diantaranya karena tekanan kelompok masyarakat sipil. Disini gerakan sosial memang harus memiliki jaringan yang lebih terstruktur dengan aparat penegak hukum. Jalan untuk melakukan tekanan penting diimbangi dengan melakukan penguatan pada aparat.
Kesempatan untuk bergerak kini dibuka. Kejatuhan Soeharto memang membawa berkah kebebasan yang luar biasa. Kesempatan ini yang waktunya direbut oleh gerakan sosial. Ruang keputusan politik yang kini diperebutkan akan menjadi medan pertarungan yang sengit dan keras. Karenanya agak mendesak untuk memformat ulang sejumlah agenda dan apa yang sebaiknya diprioritaskan untuk dikerjakan. Lagi-lagi agar jangan sampai demokrasi liberal ini jatuh dalam pelukan komplotan bandit yang bersekutu dengan kaum saudagar. Andai itu yang berjalan maka gerakan sosial hanya akan mengalami kemandegan dan bisa-bisa menjadi kaki tangan dari kelompok saudagar yang memakai tabir demokrasi. Waktunya kita untuk jeli membedakan mana oligarkhi dan mana yang memang menjadi sendi kekuatan progresif. Kira-kira karya ini bersandar dalam semangat pemberontakan semacam ini. Sebuah karya menarik yang patut diapresiasi.
Runyamnya prinsip demokrasi memang diawali dari dibajaknya kepentingan publik untuk memuaskan kepentingan para saudagar. Di masa kolonial VOC mungkin jadi pengandaian yang tepat dari kekuasaan saudagar yang berlimpah. Mereka bukan hanya urus perdagangan lada melainkan juga memfasilitasi perundingan. Tak jarang VOC juga mempengaruhi para raja untuk bertingkah seperti boneka Eropa. Berpesta sambil minum bir atau raja ditempeli dengan berbagai tanda penghargaan. VOC adalah sayap perdagangan yang semula hanya mau cari untung tapi berbalik keinginan menjadi penguasa. Walau VOC kemudian jatuh dan gagal tapi gagasan besarnya yang ingin menyatukan keinginan menumpuk laba dan berkuasa masih menjadi keyakinan yang menebal.
Dengan cekatan Soeharto mulai meniru apa yang dilakukan oleh VOC tempo dulu. Padanya kekuasaan kembali memusat dan kontrol dilakukan dengan gaya yang sadis. Di dalam tubuh kekuasaanya, keluarga Cendana menjadi miniatur dari memusatnya kuasa ekonomi dengan pengaruh politik. Memompa doktrin persatuan dan kesatuan Soeharto mulai menciptakan tradisi politik yang bersandar pada kekerasan dan loyalitas. Ada banyak pengusaha berjubel untuk menanti restu politiknya. Deretan saudagar ini berkelompok dalam sebuah perserikatan yang mulai melakukan kapling baik atas sumber daya ekonomi maupun sumber kekuasaan politik. Walau Soeharto sudah jatuh tapi Cendana berhasil dalam menikahkan hubungan antara saudagar dengan politisi.
Relasi yang erat ini dihidupkan oleh berlakunya demokrasi prosedural. Satu sistem yang menganut demokrasi hanya sebatas pada penciptaan lembaga. Fasilitas demokrasi yang seperti ini bukan hanya memakan ongkos besar melainkan juga mengabaikan kebutuhan-kebutuhan riil rakyat. Pokok persoalanya berawal dari sana, bagaimana sistem demokrasi tambah menghasilkan keputusan-keputusan yang menganiaya rakyat. Proyek privatisasi telah meluncurkan program pendidikan dan kesehatan menjadi mahal dan tidak bisa diakses oleh rakyat miskin. Tata kota yang disulap telah menjerumuskan pedagang kaki lima dalam keterjepitan kemiskinan. Sama halnya dengan penyesuaian harga BBM yang menaikkan harga bahan-bahan kebutuhan pokok.
Bencana kebijakan semacam ini merupakan imbas dari persekutuan najis antara demokrasi prosedural dengan proyek fundamentalisme pasar. Jika dulu serdadu menjadi lapisan yang aktif mengamankan ambisi penguasa kini kumpulan para bandit yang menjadi sekutu baru. Bandit-bandit ini hidup subur karena hukum maupun pejabatnya telah berlumuran kotoran. Mereka menjalankan bisnis illegal dengan perlindungan maksimal dari aparat penegak hukum. Bisnis yang dikelola begitu beragam, dari perdagangan obat terlarang hingga penjualan anak. Jepitan kemiskinan membuat ikhitiar para bandit ini mendapat ladang yang subur. Lagi-lagi bandit menjadi sayap berpengaruh karena sistem yang berjalan masih mempertahankan keberadaan orang-orang lama. Mereka sekedar berganti baju tapi memiliki mandat dan kepentingan yang sama.
Kini giliran partai politik yang sibuk untuk dikuasai oleh kelompok oligarkhis. Dengan fungsi-fungsi yang dilumpuhkan partai politik kemudian menjadi tangga bagi sekelompok orang untuk duduk di kursi kekuasaan. Perebutan untuk duduk di kursi ketua jauh lebih penting ketimbang bicara pengembangan program. Rekruitmen maupun pendidikan politik yang tidak dikerjakan tercermin dari mudahnya anggota partai untuk angkat kaki pindah ke partai lain. Partai diisi oleh sejumlah orang lama yang tak ingin pergi dari lingkaran kekuasaan. Dilema yang kemudian menggigit partai adalah tiadanya ideologi yang mengikat partai untuk setia pada programnya. Buruknya keadaan ini diperuncing oleh fragmentasi yang ada dalam partai politik akibat dari menguatnya feodalisme dan jaringan kepentingan yang saling melindungi. Kehidupan partai politik di Indonesia seperti guci unik yang mudah pecah karena tersenggol.
Berkaca dari tulisan Coen Husein Pontoh kita bisa melihat dengan jeli bagaimana sumber kekuasaan yang dikuasai oleh komplotan bandit ini juga berjalan disini. Masih kuat sinyal ingatan kita pada perkara korupsi yang ada di KPU. Sudah tentu kita juga ingat akan korupsi berjamaah yang dilakukan oleh anggota Dewan yang tidak terhormat. Fasilitas-fasilitas demokrasi yang tercemar dengan suap dan korupsi ini akan membuat publik kecewa bahkan geram. Kecewa karena demokrasi tidak mengantarkan kedaulatan melainkan kediktatoran para saudagar. Geram karena partai hanya jadi alat untuk berkumpulnya kekuatan lama yang ingin berkuasa kembali. Jebakan demokrasi yang getir ini memberikan alarm pada semua aktivis gerakan. Masanya bukan sekedar konsolidasi tetapi membuat langkah-langkah taktis yang berguna bagi kehidupan rakyat.
Langkah yang utama adalah memetakan kembali dimana sendi kekuatan gerakan demokrasi. Memetakan baik agenda, aktor maupun methode yang selama ini ditempuh bagi menguatnya prinsip demokrasi. Perseteruan sengit antar organ gerakan memang harus diakhiri karena ini selain dapat membunuh organ dari dalam juga akan meratakan jalan bagi sindikat bandit untuk memegang kendali. Peta ini senantiasa perlu dibaca ulang untuk menjalankan agenda konsolidasi yang lebih massif dan menghindarkan diri dari proses moderasi yang begitu cepat. Musibah yang menimpa gerakan, baik yang dijangkiti oleh kemandulan logistik maupun sulit berjalan bersama sebisa mungkin segera diatasi. Salah satu sumbangan penting bagi pemetaan adalah memberikan dasar evaluasi sekaligus mengukur kemajuan gerakan sosial dalam mengartikulasikan tuntutan-tuntutan publik.
Langkah berikutnya sudah tentu memperluas basis jaringan sekaligus suplai logistik yang memadai. Jaringan ini untuk menembus kebekuan-kebekuan dalam sistem kekuasaan yang selama ini dikuasai oleh komplotan bandit. Suplai logistik juga penting untuk meruntuhkan kecurigaan kalau gerakan sosial hanya kaki tangan dari gerakan asing. Ada benarnya jika gerakan sosial kemudian harus mencoba untuk menembus sumber-sumber keuangan yang ada di lembaga perbankan. Sebab lembaga keuangan yang ada sekarang hanya digunakan untuk memenuhi pundi-pundi uang para penjahat di samping guna memperlancar berbagai transaksi di pasar bebas. Jaringan dan pemenuhan asset logistik yang dikerjakan selama ini memang kurang banyak melibatkan secara aktif kekuatan ekonomi rakyat. Jaring lembaga donor telah melumpuhkan militansi dan kreativitas gerakan dalam mendulang dana.
Jika jalan untuk pemenuhan logistik ini sudah terjawab maka persoalan berikutnya yang perlu diselesaikan adalah mekanisme rekruitmen dan kaderisasi di lingkungan gerakan. Rekruitmen yang didasarkan hanya pada kesamaan ideologi atau pengalaman langsung lapangan kiranya sudah tidak mencukupi. Dasar rekruitmen juga perlu memasukkan pandangan sekaligus methode apa yang akan mereka lakukan untuk terjun dalam kancah gerakan sosial. Pandangan ini untuk menampung prakarsa-prakarsa progresif yang biasanya didapatkan pada kader-kader muda yang baru lulus. Methode digagas untuk menemukan kembali ide-ide yang segar yang bisa menembus kebekuan sistem maupun rumitnya jaringan oligarkhis. Tak bisa disangkal kehancuran gerakan lazimnya diawali dari tidak jelasnya alur dalam melakukan kaderisasi sekaligus kesulitan dalam menampung ide-ide radikal dari mereka yang masih belia.
Itu sebabnya gerakan sosial jangan sampai mengulang tabiat negatif yang ada dalam partai politik. Kepemimpinan dikuasai oleh mereka yang sudah tua dalam soal gagasan dan tidak mau menerima perubahan. Dalam dunia gerakan sosial ide, gagasan maupun methode ada baiknya untuk terus-menerus diperbaharui. Pembaharuan ini terutama untuk menjawab tantangan yang selalu saja berubah cepat dan jaring kepentingan yang terus berbaur. Tersedianya pelatihan, pendidikan maupun training yang berjangka pendek dan sekedar untuk memenuhi tuntutan program sudah tidak lagi memadai. Pendidikan kader berjalan secara kontinu dengan jangka waktu panjang sekaligus secara detail dapat memberi amunisi analisis sosial yang tajam dan mendalam. Disini yang sebenarnya memerlukan kerja keras di kalangan gerakan terutama untuk mereka yang duduk di pucuk kepemimpinan.
Kalau gerakan mampu menyediakan proses pendidikan yang kontinu dan berjalan secara militan, maka tugas yang lainnya tinggal menjalankan pengorganisasian secara intens dengan menyisir semua potensi kekuatan rakyat. Pengorganisasian yang selama ini telah dilakukan memang sudah mengalami banyak kemajuan. Dari kaum miskin kota hingga jaringan kaum profesional memang sudah terbentuk. Tapi kebanyakan persoalan yang masih mencuat adalah konsolidasi diantara elemen gerakan yang begitu minim. Kebanyakan diantara mereka jalan dengan agenda sendiri dan tak jarang tumpang tindih. Malahan ada beberapa gerakan yang menggunakan jalur media untuk melakukan aksi saling kecam diantara sesama.
Pendidikan melatih kader untuk tidak terjebak dalam sikap opportunis dan budaya yang pragmatis. Keduanya mengancam karena oppurtunisme akan membuat seorang kader takluk dengan siasat licin penguasa dan pragmatisme membuat kader jatuh pada pilihan-pilihan yang situasional. Cerminan ini bisa disaksikan dari bagaimana impian indah aktivis saat masuk dalam lingkaran partai politik dan kemudian setelah sampai disana, hanya menjadi perantara bagi kepentingan partai dalam mendulang suara. Mereka yang tak mau disebut lagi gerakan moral mulai berpikir untuk masuk dalam lorong gerakan politik. Lorong yang hingga kini masih berjubel para politisi sesat yang berpikir hanya dalam jangkauan 5 tahun. Keadaan ini seperti sebuah jebakan yang menjerat kader gerakan dalam kebungkaman permanen. Opportunisme diawali dari menyerahnya kedaulatan aktivis dalam menyuarakan prinsip-prinsip gerakan yang benar.
Pendidikan juga mengajari aktivis untuk senantiasa tegar dan tekun dalam mengurai persoalan. Semua masalah sosial yang timbul punya akar struktural dan kultural yang dalam. Menyebut demokrasi kita tak bisa hanya menguraikan tentang sejarah pemikiranya melainkan juga bagaimana kritik yang menyertai sistem ini. Sama halnya berbicara soal gerakan sosial tidak bisa hanya berkaca pada pertumbuhan kontemporer gerakan melainkan juga sejarah yang mendahuluinya. Pendidikan gerakan ibarat akar yang akan menentukan cabang dan ranting gerakan secara kokoh. Soal inilah yang agak mencemaskan karena pendidikan gerakan nyatanya hanya akan mengulang apa yang sudah dilakukan secara turun-temurun dan rutin. Di tingkatan mahasiswa masih belum banyak perubahan pada pendidikan gerakan dan kecenderungan untuk berorientasi teori masih saja dominanl. Kemudian hal serupa pada sejumlah aktivis LSM yang lebih dominan dimensi praksis gerakan ketimbang sentuhan teori.
Dengan ruang politik yang kini disapih untuk kepentingan saudagar maka tantangan utama aktivis ada pada upaya menarik garis batas nilai keadilan. Dalam upaya menarik garis batas itulah kebutuhan untuk mengenali medan menjadi penting. Medan pertarungan ini akan memberikan kita kemampuan untuk mendeteksi persoalan dan siapa saja yang menjadi penyokong utama sistem ini. Jika dulu keluarga Cendana merupakan penggerak sistem kediktatoran Orde Baru kini beralih fungsi pada pemodal-pemodal besar yang menyebar pada semua jenis usaha. Kekuatan modal ini telah mengkapling wilayah kekuasaan yang sukar disentuh bahkan oleh tindakan hukum sekalipun. Sinyal ancaman mereka selalu berawal dari ancaman untuk melakukan relokasi tempat usaha. Jika buruh ribut terus maka dengan cekatan mereka akan memindahkan ladang usahanya. Hal yang sama berlaku ketika tuduhan gencar dialamatkan pada tempat usaha yang melakukan pencemaran. Dengan lobbi intensif perkara pencemaran lingkungan bisa diselesaikan di meja perundingan ketimbang jalur meja pengadilan.
Meja pengadilan akan menjadi kekuatan baru yang bisa meringkus semua ekspresi politik yang tak sesuai dengan isi undang-undang. Alkisah tentang UU Terorisme yang secara membabi-buta memakan banyak korban dengan mengabaikan nilai serta prinsip hak asasi manusia. Seseorang yang kena label teroris berhak untuk di-apakan saja. Sama halnya dengan meringkus media melalui gugatan pencemaran nama baik. Politik hukum yang berhamba pada instrumen modal akan menyulitkan kesadaran massa yang lebih progresif . Hukum yang seperti ini akan membuat komplotan bandit dapat mengorganisir kekuasaan dan bisa-bisa hukum jadi alat untuk menundukkan semua kekuatan demokratis. Walaupun ada banyak fasilitas hukum yang dibentuk tetapi jika itu tidak didasari oleh sikap keberpihakan dan terakomodasinya kepentingan rakyat maka mustahil hukum bisa menegakkan keadilan.
Keadaan ini misalnya tercermin pada Peraturan Daerah yang mengatur tentang tata ruang. Perebutan tata ruang kini menjadi pertengkaran politik yang keras dan melibatkan berbagai kelas sosial. Tata aturan hukum lalu menjadi pelayan bagi kepentingan-kepentingan dominan. Seperti yang muncul disejumlah kota besar, yakni keberadaan pedagang kaki lima yang hingga hari ini dianggap menjadi biang utama persoalan perkotaan. Karena dianggap masalah maka pedagang kaki lima tidak diperkenankan untuk menjalankan usaha seenaknya. Yang semula boleh di pinggir jalan sekarang wilayah itu jadi larangan. Dengan mencantumkan sebagai larangan, hukum kemudian berperan sebagai alat penyeleksi. Politik hukum yang menjalankan mekanisme seleksi itulah yang berujung pada diskriminasi. Gugatan atas beberapa praktek tata ruang yang otoriter ini telah mengungkit kembali persoalan keadilan.
Karenanya semua gerakan sosial tampaknya akan berhadapan dengan budaya kekuasaan yang menggunakan hukum sebagai tameng kekuasaan. Itu sebabnya ada banyak prakarsa yang muncul untuk mendorong tampilnya aturan yang lebih berpihak pada kepentingan luas rakyat. Beberapa aktivitas legal draft dilakukan untuk menekan munculnya aturan-aturan hukum yang jauh lebih berpihak. Peraturan kini menjadi sumber ke-absahan segala prilaku maupun tindakan sosial. Bekal kemampuan yudisial menjadi sumber amunisi terpenting bagi gerakan sosial. Ini tampak pada diseretnya sejumlah anggota parlemen dalam kasus korupsi dan itu sebagian diantaranya karena tekanan kelompok masyarakat sipil. Disini gerakan sosial memang harus memiliki jaringan yang lebih terstruktur dengan aparat penegak hukum. Jalan untuk melakukan tekanan penting diimbangi dengan melakukan penguatan pada aparat.
Kesempatan untuk bergerak kini dibuka. Kejatuhan Soeharto memang membawa berkah kebebasan yang luar biasa. Kesempatan ini yang waktunya direbut oleh gerakan sosial. Ruang keputusan politik yang kini diperebutkan akan menjadi medan pertarungan yang sengit dan keras. Karenanya agak mendesak untuk memformat ulang sejumlah agenda dan apa yang sebaiknya diprioritaskan untuk dikerjakan. Lagi-lagi agar jangan sampai demokrasi liberal ini jatuh dalam pelukan komplotan bandit yang bersekutu dengan kaum saudagar. Andai itu yang berjalan maka gerakan sosial hanya akan mengalami kemandegan dan bisa-bisa menjadi kaki tangan dari kelompok saudagar yang memakai tabir demokrasi. Waktunya kita untuk jeli membedakan mana oligarkhi dan mana yang memang menjadi sendi kekuatan progresif. Kira-kira karya ini bersandar dalam semangat pemberontakan semacam ini. Sebuah karya menarik yang patut diapresiasi.
Salam pembebasan
Label:
buku-ku
0 komentar:
Posting Komentar