Adsense Indonesia

Baca bukumu...Jadilah Pemberontak !!!

22.24 / Diposting oleh Widdy Apriandi /

Baca bukumu…Jadilah Pemberontak !
Oleh : Widdy Apriandi
[1]



Kata-kata adalah senjata
(Subcomandante Marcos)


Prolog…






Menulis dengan “ketelanjangan”. Kali ini saya menulis dengan betul-betul mempercayai navigasi yang disediakan Tuhan kepada saya, yakni hati—tanpa embel-embel lain yang kadang membuat saya tersiksa dan tertekan. Kemarin hari biasanya saya balut tulisan demi tulisan dengan rajutan retorika-retorika ilmiah yang saya rasa itu “hebat” dan—minimal—membuat orang yang membacanya mengangkat alis meski sejenak. Maklum mahasiswa, demikian bisik jahil hati saya. Status sosial yang sebetulnya “ber-resiko”. Banyak konsekuensi yang harus saya pertimbangkan, mulai dari kadar ilmiah sampai ke identifikasi naïf atas diri pribadi saya sendiri yang menurut “logika umum” harus benar-benar memiliki karakteristik yang berbeda dengan kebanyakan orang (maksudnya mungkin orang-orang yang tidak memiliki kesempatan sekaligus hak seperti saya yang hari ini berstatus mahasiswa—kelas sosial yang terdidik ; Pen).

Tidak !. Sudah tiba saatnya bagi saya untuk mengatakan “tidak !”. Dalam artian tegas, “tidak !” untuk mengamini perspektif feodal yang pada hakikatnya memenjarakan eksistensi diri saya sebagai mahasiswa. Belenggu ini harus diakhiri, seperti itu tegas saya. Tak mau saya terus-terusan diperkosa, diperas nalar saya sejadi-jadinya oleh logika rekaan kapitalis. Tak rela pula saya menjalani politik “apartheid” yang memisahkan saya dengan massa rakyat “hanya” karena prestise sosial yang tiba-tiba saya sandang tanpa usaha sedikit pun (makin arogan dan makin nyaman di “menara gading” bahkan ketika diperkenalkan dengan istilah agen perubahan sosial ; Pen).

Lahirlah tulisan ini, wujud pemberontakan saya yang tentu saja bukan berarti yang kali pertama. Wacana-wacana anarkis membentuk tulisan ini, sehingga saya sendiri pun tak tahu apa “bentuk” dan “spesies” dari tulisan ini ; essai-kah dia, cerpen, atau feature ?!. Tak tentu. Apalagi berbicara kadar ilmiah dan ornamentasi serupa, sama sekali tidak saya “hitung”. Toh, itulah yang sejatinya saya lawan.

Mungkin terprovokasi oleh lecutan isme Foucault, Bakunin atau Noam Chomsky, sempat saya berpikir seperti itu. Tapi tidak, setelah melewati beberapa tahap perenungan, saya pikir memang kebetulan saja saya tepat berdiri sama (equal) pada domain pergulatan “mereka”. Suatu kebetulan yang menyenangkan sesungguhnya, karena paling tidak saya memiliki mitra diskusi yang jauh dari sekadar kompeten. Selebihnya, saya tidak peduli. Terserah apa yang hendak dikatakan orang kepada saya.

Apa yang saya tahu, saya sadari seinsyaf-insyafnya adalah saya harus melawan, angkat senjata !. Senada dengan apa yang dikatakan Subcomandante Insurgente Marcos (juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Zapatista – Meksiko), saya sepakat bahwa “kata-kata adalah senjata !”.

Negeri Dongeng Yang Saya Sebut “Kampus”

Tiba saatnya agenda perkuliahan yang ramai dikenal Mahasiswa—di Perguruan Tinggi tempat saya menuntut ilmu dan memproduksi wacana-wacana tandingan—sebagai Seminar Internal (semacam “pengadilan” kapasitas mahasiswa yang juga syarat akademik untuk pengajuan proposal skripsi ; Pen). Bukan main tegang dan kakunya segala sesuatu yang terjadi hari itu. Serba kikuk dan rikuh, singkat kata seperti itu. Ditambah dengan setting-an tempat yang begitu kental pretensi “intimidasi” (dosen penguji berada di depan sementara mahasiswa diposisikan saling berhadapan. Sendiri seperti “tersangka” di ruang pengadilan ; Pen), kontan suasana jauh dari takaran cair serta hangat.

Resmi, formal, konon memang harus demikian. Ini kampus toh, bukan sedang berbincang di warung kopi yang bisa free-sytle, gaya bebas. Terasa benar aroma arogansi, keangkuhan sang menara gading yang kini hadir menyapa mata para mahasiswa. Jauh dari kesan diskusi, sejujurnya malah lebih mirip mahkamah intelektual yang legitimate untuk menandai kening mahasiswa dengan stempel “cerdas” atau justru “dungu”.

Berat. Saya yakin perasaan yang terpendam di benak saya ini rata-rata bergetar serupa di hati kawan-kawan yang lain—yang kebetulan juga ikut “persidangan” intelektual ini. Tapi apa mau dikata, para mahasiswa dituntut untuk legowo saja, menerima keadaan meski harus rela menelannya dengan tanpa reserved sekalipun. Keringat pun bercucuran begitu deras. Tidak hanya itu, ada pula bahkan yang sampai meninggi tensi asam lambungnya karena diserang sindrom gugup. Terlihat wajah-wajah manusia yang mendadak pucat pasi. Beruntung bukan malaikat maut yang akan ditemuinya. “Hanya” dosen, ya, dosen—yang jangan-jangan saat itu (ironisnya) justru diasumsikan se-level lebih rendah dibandingkan dengan malaikat maut itu sendiri.

Acara pun dibuka secara resmi. Itu artinya pertarungan “harga diri” mahasiswa dimulai dari detik itu. Sepintas, sebagaimana saya katakan sebelumnya, terkesan begitu kuat bahwa memang ada rona tegas yang menyiratkan roman feodalistik di sana, dimana mahasiswa “terpaksa” dinilai isi batok kepalanya oleh oligarki manusia pemegang stempel intelektual yang disebut dosen penguji. Namun, entah kenapa bagi saya tidak mutlak seperti demikian. Ada narasi lain yang secara “ajaib” bisa saya tangkap kala itu, yaitu pergumulan eksistensi dua generasi yang sangat kontras antara satu sama lain ; dosen penguji sebagai perwakilan “generasi lama” yang begitu dominan akibat pengalaman akademiknya di masa-masa terdahulu (meski belum tentu rajin membaca buku dan mengolah diri sehingga bisa beradaptasi dengan realitas kontemporer ; Pen) dan mahasiswa selaku icon “hari ini” yang punya potensi besar menekuk kepongahan “generasi lama” karena anugerah kekiniannya (dimana mahasiswa adalah representasi manusia aktual yang paling mengerti kondisi kekinian apalagi bila ditambah cerapan bacaannya sebagai penunjang ; Pen).

Benar apa kata para bijak bestari !, siap-siap malu di atas mimbar bila tak ada persiapan sama sekali. Saya rasakan betul siapa “dia” yang menyelamatkan “harga diri” saya saat itu ; Buku !!!—selain memang materi seminar yang saya siapkan sendiri dengan peluh perjuangan yang alamak lelahnya. Dengan cengkeraman pengetahuan yang saya olah sendiri, dari buku ke buku, nikmat rasanya laju “persidangan” yang saya hadapi. Tampil penuh percaya diri dan terkadang ngotot berhias alter-ego sebagai “icon hari ini”, materi seminar saya pun akhirnya diluluskan walau memang—tanpa bisa dipungkiri—ada beberapa perbaikan yang harus saya terima.

Andaikata dramatisasi dirasakan perlu, maka tak ragu saya katakan bahwa saya-lah manusia paling bahagia di dunia saat itu. Lebih bahagia bahkan bila dibandingkan dengan Bill Gates yang dipandang orang dengan predikat “manusia terkaya di dunia”. Dosen, so what ?, demikian sesumbar hati saya yang telah berhasil melewati satu tangga ujian di mahkamah intelektual yang disebut kampus. Tak apalah, kan’ cuma sesekali ini saja ikut-ikutan sombong seperti si dosen penguji, celetuk batin saya yang sempat-sempatnya urun partisipasi dalam dalih dan pembenaran.

Ok, lagi-lagi benar adanya ucapan para bijak bestari, selalu ada kesedihan yang bersembunyi di balik kebahagiaan, begitu pun sebaliknya. Saya tafsirkan secara sederhana ; hidup ini tidak selalu lurus dan statis. Ditambah “puitisasi” kesadaran teologis yang Tolstoy bilang, “Tuhan tahu, tapi Dia menunggu”, akhirnya lengkap sudah. Ya, seperti itulah kira-kira detik-detik mencengangkan yang saya rasakan berputar dramatis setelah kebahagian yang hinggap sebentar dalam hidup saya itu. Heran saya terus terang, perputaran kebahagiaan itu berlangsung dramatis dan cepat !. Kalau saja Tolstoy masih hidup dan mau menemani saya di arena “persidangan” tersebut, ingin rasanya saya bertanya, kira-kira apa yang sedang ditunggu Tuhan dari saya melalui kilasan realitas ini ?.

Saya tak lagi merasa ada (exist) di kampung intelektual yang terang-benderang disepuh cahaya manusia-manusia par excellence (yang dibakukan dengan sebutan civitas akademik ; Pen). Tidak !, justru saya seperti mengawang-awang saja di negeri dongeng yang bias dalam proporsi nyata (real) atau tidaknya. Luar biasa efek yang ditimbulkan dari potongan realitas yang hadir pasca kebahagiaan singkat saya itu !. Diputarnya “warna” hati saya dari yang pada awalnya bahagia menjadi lemas tak berdaya sama sekali.

Apa yang saya lihat adalah parodi picisan kehidupan kampus. Lebih konkret, saya melihat mahasiswa yang terbata-bata kebingungan menjelaskan materi seminarnya sendiri. Dosen penguji bertanya, dia tergagap-gagap. Lincah dia berkilah, tapi jauh dari substansi materi. Melenceng tak tentu arah. Satu pertanyan mendasar dari dosen penguji menerjang benteng pertahanannya ; apakah kamu sendiri yang membuat materi ini ?. Dia menjawab dengan malu-malu, “ya”. Padahal apa yang dia jelaskan jauh dari materi yang disuguhkan. Lebih parah lagi, materinya sama betul dengan kawannya yang lain. Sebatas berbeda pada judul materi seminarnya (dan tentu saja nama si individu ; Pen), itu saja.

Negeri dongeng. Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Masyarakat Kota, Freire (Paulo Freire ; Pen) tegas mengatakan bahwa “kata atau kalimat bukanlah merupakan wacana yang menguap di udara, melainkan memiliki keterikatan dengan konteks sosial dan historis”. Kurang lebih demikian. Kontekstual artinya, bukan imajinatif (atau bahkan manipulatif). Dalam penyebutan yang lebih lugas, kata atau kalimat sebetulnya tidak lain adalah ikatan simbolis dari “sesuatu” yang membumi—tidak melangit, mengawang-awang meninggalkan jejak eksistensinya di tanah realitas.

Lantas, adakah bantahan yang cukup kuat untuk menghalangi saya supaya tidak (tergesa-gesa) mengatakan kampus (tempat dimana saya beraktualisasi diri tentunya ; Pen) sebagai negeri dongeng ?. Kemudian, apakah justru saya lebih tepat “dihakimi” sebagai “anak kemarin sore” yang sedang mencoba mengotak-atik mozaik realitas yang sesungguhnya secuil menjadi bongkahan batu besar yang memberikan kesan “total”, “umum” ?. Pendek kata, generalisasi atau justru “pem-bonsai-an” kenyataan menjadi satu asumsi yang berlaku umum.

Tidak !, saya rasa tidak. Para “hakim agung” yang bersembunyi di balik gemerlap “kesucian” toga yang menyilaukan mata para mahasiswa boleh memutuskan penafsiran saya itu dengan bahasa “tidak ilmiah” (seperti biasanya ; Pen). Tapi, saya justru bertanya. Lebih ekstrem lagi, saya menggugat sebenarnya. Darimana datangnya penilaian “tidak ilmiah” itu sendiri ?. Datang serta-merta ke tempurung kepala para “hakim agung”-kah seperti aliran sinar “wahyu” yang dialami nabi-nabi atau jangan-jangan malah sekadar letupan ego “manusiawi” yang jelas-jelas jauh dari kualifikasi “ilmiah” seperti “mereka” bilang ?.

Apakah sisi ke-ilmiah-an “mereka” telah memperhitungkan keberadaan pengalaman (experience) yang juga merupakan elemen integral dari pengetahuan ?. Pada sisi ini saya meragukan. “Wajar”, saya bisa memahami. Watak pendidikan borjuis memang “mengharuskan” hal yang demikian itu. Tak perlu bicara pengalaman, karena apa yang diperlukan adalah sistem pengetahuan plus disiplin ilmu berbasis mistifikasi yang mengerdilkan manusia menjadi sebatas robot atau—paling tidak—komoditi pengisi imperium industrial para elit borjuis. Satu komando kesadaran (consciousness) ; aku ada, karena modal (capital)—bukan untuk mengantarkan manusia ke arah keparipurnaannya sebagai manusia (human being). Melangkahlah ke arah cita ke-modal-an, bukan terpatri secara aktual di tanah kenyataan dengan segala pernak-pernik persoalannya, kode rahasia (secret code) yang membaur (build in) dalam bangunan isme “ilmiah” pendidikan gaya borjuis.

Saya tahu, saya sadar !. Dibekali ilmu-ilmu alternatif yang saya baca dari buku ke buku, akhirnya saya menggenggam kesadaran penuh sebagai seorang manusia, subjek sejarah yang dihadapkan pada pertarungan abadi antara mereka yang menindas dan mereka yang ditindas. Saya tahu, saya sadar !. Disinari cahaya pengetahuan yang saya cerna dari buku ke buku, saya paham bahwa saya tepat berdiri di “dapur” percetakan manusia-manusia ber-label kapitalis ; pendidikan borjuis !. Saya tahu, saya sadar !. Hari ini saya menghirup nafas di tanah kering negeri dongeng.

Negeri dongeng, ya, negeri dongeng. Saya ikat parodi picisan kampus saat itu dengan sebutan negeri dongeng. Tidak hiperbolik, karena begitu kontekstual. Tidak berarti mutlak generalisasi asal-asalan, sebab tidak bisa dinafikan kejadian serupa juga terjadi di kampus-kampus yang lain. Tidak tendensius pula dalam pengertian yang macam-macam. Tidak !, karena apa yang saya tunjukkan bukan didorong oleh kepentingan itu, melainkan semata “menelanjangi” sisi politisitas (mengutip apa yang dikatakan Freire ; Pen) pendidikan yang berputar di locus watak (politik) pendidikan itu sendiri ; untuk kepentingan siapa dan atau untuk melawan siapa ? .

Di atas kertas boleh saja orang-orang berdecak kagum kegirangan menterjemahkan eksistensi kampus (tanpa terkecuali kampus saya ; Pen). Bukan-kah begitu ?!, paling tidak di tingkatan persepsi jamak masyarakat “kita”. Alwi Shihab dalam Islam Inklusif misalnya, beliau kurang lebih bilang bahwa kampus adalah medium strategis yang potensial dan mampu menggulirkan roda perubahan sosial (social change). Apa yang dapat ditangkap ?. Satu saja yang paling terlihat kentara ; harapan (hope). Harapan bergelayut di sana, sama sebanding dengan harapan mak’ Ijah yang rela membanting tulang menyekolahkan anaknya di Perguruan Tinggi dan/atau Universitas demi menjawab harapannya itu (meski dalam bahasa yang berbeda ; Pen).

Harapan tinggal harapan !. Mohon maaf Pak Alwi, mohon maaf mak’ Ijah. Apa yang kalian lihat bukan ranah ideal yang mampu menjawab setiap harapan yang kalian lemparkan. Kampus yang kalian kira merupakan kanal bagi sejuta harapan ternyata tidak lain adalah negeri dongeng. Bukan pencetak generasi intelektual yang mengharumkan wajah bangsa. Tidak !, justru “pabrik” pencetak sekrup penyangga kemapanan kerajaan kapitalis. Secara ringkas, walau terasa pahit ; buruh-buruh yang rela dibayar dengan upah marah sesuai dengan keinginan sang majikan. Bukan pencetak barisan muda yang mencerahkan (enlightening) muramnya “wajah” negeri ini. Tidak !, melainkan “hanya” generasi gagap sekaligus terbata-bata yang—bahkan—tak mengerti apa yang dipelajarinya, plagiator ulung yang tidak pernah terbiasa untuk bekerja keras ditangannya sendiri, sosok manusia yang diberi hak untuk menjadi kelas yang terdidik namun malah mencederainya.

Negeri dongeng, ya, negeri dongeng. Saya tempuh ekspedisi perlawanan yang melelahkan ini. Berkalung benci, takut, marah dan potongan-potongan emosi lainnya, saya kuatkan hati untuk berdiri tegak menantang. Tidak sendirian saya melangkah. Banyak kawan yang menemani. Jerit mas wiji thukul terngiang-ngiang di telinga, “hanya ada satu kata ; lawan !”. Sayup-sayup suara masyarakat adat (indigenous people) Chiapas-Meksiko yang dipimpin oleh subcomandante-nya bergemuruh di belakang saya. Itu Marcos, berorasi dia ; Kata-kata adalah senjata !. Tenang hati saya tiba-tiba, karena di sela kesibukannya Fidel Castro masih sempat berbisik ; ide tidak akan pernah mati. Buku-buku yang menentramkan hati saya. Tenang…setenang terang bintang kejora yang berpijar di atas sana.

Baca Buku-mu…Jadilah Pemberontak !

Buku-buku, “mereka” hadir dalam “rupa” dan “sapa” yang kompleks. Multi-warna. Seperti angin sepoi-sepoi, “mereka” bisa menyejukkan hati para pencari (the seeker). Di lain dimensi, terkadang “mereka” pun mampu memaksa para petualang untuk berhenti sejenak ; sekadar merenung atau berleha-leha melepas kepenatan. Soft, feminin…”mereka” tanamkan rasa ini untuk para pecinta (the lover).

Merah. Buku-buku juga adalah “merah” itu sendiri. “Merah” dalam artian gelora api perlawanan yang mengikis tirai kemapanan sekaligus ke-jumud-an. Dirangkulnya kata-kata, tersusun rapi sekali. Rapi memang, sepintas menyerupai barisan revolutionaries yang bergerak cepat di teluk pig atau pejuang beruang merah yang tegak dalam sikap sempurna.

Ada daya magis yang sekejap menyapu kejemuan di lorong-lorong tersempit nalar “kita” sekalipun. Kekuatan kata-kata, ya, kurang lebih seperti itu. Tidak tanggung-tanggung, kata-kata itu meledak seperti bom molotov yang dihadiahkan para campanero untuk para penindas. Kata-kata itu kemudian meleleh bagaikan lahar yang keluar dari perut bumi. Dihempasnya kebekuan, lantas mencair. Bergelombang, panas sekali.

Itulah sensasi !. Lebih tepatnya lagi, sensasi ideologis yang “hidup” bersama buku-buku. Bukan sensasi murahan yang dipropagandakan dalam pesan—sponsor kapitalis—Iklan Sprite atau Star-Mild. Bukan !. Jauh dari itu, berbeda sama sekali. Sensasi yang satu ini menantang “kita” untuk berteriak lantang, mengabarkan sesuatu kepada dunia bahwa masih ada kaum muda yang peduli dan mau melawan. Tak heran makanya kenapa kemudian The Police berani menuliskan wacana alternatif yang dibingkiskannya khusus untuk kaum muda, we’re the class they couldn’t teach…cause we know better. Tak perlu heran !, tak perlu heran !. “Mereka” yang membaca, “mereka” yang dibesarkan oleh buku. “Mereka” yang membaca, “mereka” yang menyadari identitas dirinya sebagai seorang pemberontak.

Dari proses dialektika ini, sungguh saya kangen dengan sosok mas Eko Prasetyo. Catatan-catatan pinggirnya saya baca, begitupula halnya dengan buku-buku “khas mas eko” yang sangat melodic ritme nada-nada marginalitasnya. “Serial orang miskin”, labeling gagasan yang dimajukan oleh mas Eko. Siapa dia yang berani “show of force” identitas individual seperti itu kalau bukan mas Eko ?. Riskan menghadapi kehendak pasar yang serba kapitalistis, demikianlah rasionalisasi sederhana yang sering terucap dari mulut para penulis (oppurtunis). Meski tak terdengar, meski sebatas bisik-bisik atau main mata antara penulis dan pemodal. Ide dikontrol, suara-suara dibungkam oleh mekanisme tangan gaib (invisible hand) yang “kita” kenal sebagai pasar. Konsekuensinya, wacana-wacana tandingan (counter opinion) jarang sekali menguat di permukaan (surface).

Beruntung saya masih sempat dipertemukan dengan sosok mas Eko Prasetyo. Tidak terkecuali hari itu, masa dimana detail nalar perlawanan saya di kampus mulai tergambar—meski samar-samar. Abstrak dia, termanifestasi dalam rupa titik-titik (dots) yang menyebar sporadis. Titik-titik itu dalam perjalanannya bertransformasi menjadi koma, tanda petik, tanda tanya hingga akhirnya tanda seru yang tegas setegas-tegasnya.

Saya ingat mas Eko tengah memperbincangkan sisi lain dari sekolah dalam salah satu catatannya yang dipublikasikan di salah satu website. Selalu begitu, mas Eko selalu begitu. Tegas, “berpihak”. Posisi gagasannya selalu konsisten di ranah perlawanan, tidak berkamuflase atau berpindah dari satu gerbong ke gerbong lainnya—sesuai dengan selera pasar.

Ada 2 (dua) simpul besar idea yang bisa saya tangkap dari tawaran gagasan mas Eko dalam catatannya tersebut. Sekolah, itu yang pertama. Pemberontakan, itu yang kedua. “Aneh” memang. Lebih pantas disebut provokasi daripada wacana utuh yang dapat “dipertanggungjawabkan”, demikian penilaian pertama saya yang andaikata dituangkan dalam bahasa “romantis” tidak lain adalah pandangan pertama (first sight)—yang “ironisnya” mampu menyisakan kesan yang begitu dalam. Semakin tertarik saya untuk membacanya. Maklum, di lingkungan kampus yang serba tertib dan “mabuk ilmiah” ini, kapan lagi ada kesempatan untuk bersua dengan provokasi. Kalau bukan mencari-cari sendiri, tentu tak bisa. Selain itu, bukankah relasi antara sekolah dan pemberontakan adalah “sinting” ?. Ya, tak pernah itu saya sadari—bahkan—setelah sekian lamanya saya bersekolah. Berbeda halnya dengan perikatan (kepentingan) sekolah dan pasar kerja, itu wajar. Persepsi kolektif masyarakat terlanjur mengamininya. Lho, tapi ini “sekolah dan pemberontakan” yang dijadikan narasi utamanya. Siapa dia yang berani lancang mengotori “kesucian” sekolah (dan tentunya pahlawan tanpa tanda jasa yang semakin utopis ; Pen) ?.

Saya baca, saya nikmati “permainan” kata yang diolah mas Eko. Kesan pertama itu pun kian lama terkikis akibat terpaan angin dialektika yang bergejolak di nalar saya. “Terhipnotis” kekuatan kata-kata, saya mengangguk-angguk pertanda “sepakat”.

Benar !, sekolah dan pemberontakan memang dua mata rantai yang saling bergelayut “mesra” satu sama lain. Bukankah sekolah yang melahirkan individu-invididu pemberontak sekaliber bung Karno, bung Hatta, Tan Malaka dan sederet nama-nama pemberontak lainnya yang telah membebaskan negeri ini dari cengkeraman kaum imperalis “old school” ?. Bukankah pula sekolah yang turut membidani kelahiran “mereka” yang mati muda ; Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, Jenderal Soedirman, R.A. Kartini dan sosok-sosok kaum muda lainnya yang begitu cepat dipanggil Tuhan untuk kembali ke sisi-Nya ?. Mati muda, tapi untuk “hidup” selamanya.

Tak terbantahkan, sekolah memang mencipta pemberontak-pemberontak !. Hanya “mereka” yang gemar ber-apologia, berdalih hingga berbusa-busa yang sanggup dan “tabah” untuk menyangkalnya. Hanya “mereka” yang ber-kacamata kuda yang tak dapat melihat kenyataan ini.

Inilah keberuntungan yang saya maksud, berkah kesadaran (consciousness) yang mempunyai arti tersendiri buat saya. Mas eko mendudukkan saya di starting point perlawanan saya di kampus. Berlarilah !, seolah-olah mas Eko ada di samping saya dan mengatakan itu. Seberapa cepat kau berlari, kawan ?!, teriak Lintang yang menggembosi saya untuk segera berlari. Tiba-tiba saja dia hadir di benak saya, entah datang dari arah mana. Padahal tak dijemput. Begitupun konsekuensi logis selanjutnya, tidak pula saya berketetapan hati mengantarkannya untuk kembali nantinya. Ke Sorbonne, Lintang...ke Sorbonne, jawab saya ketika mulai berlari. Sama-sama berlari ke sana, ke sorbonne !. Saya mencari Sartre, saya mencari Foucault.

Pahami arkeologi kebisuan (archeology of silence), sadari pat gulipat permainan bayangan (shadow play) kekuasaan dan pengetahuan yang ada (exist) di kampusmu, pesan Foucault yang disisipkannya di sela perbincangan yang berlangsung santai. Perpustakaan kampus memang selalu sepi, bukankah demikian ?!. Jauh dari variatif pula bukan varian buku-bukunya ?.

Tanpa ada inisiatif, tak akan ada perlawanan, bung !. Buku karangan Foucault yang saya baca ini kebetulan adalah hasil “rampasan perang” setelah sempat death locked di tahapan lobby. Sekali lagi, saya berbincang dengan Foucault dalam suasana yang begitu santai. “Santai”, karena memang tak banyak orang. Perpustakaan kampus kalah bargaining dibanding kantin, cafetaria, mall-mall dan yang lebih ironis ; pub-pub terkemuka yang menjajakan parodi nilai “monolitik” kaum muda a la MTv .

Terbukalah tirai semu kehidupan kampus. Kini, tak seperti dulu lagi, saya mampu melihat jejaring kepentingan elit borjuis yang dititipkan di kampus ini. Kini, jauh dari kondisi kesadaran saya di waktu-waktu sebelumnya, saya sadari bahwa muatan pendidikan yang saya tempuh ini tak pernah sekalipun berkehendak menciptakan manusia-manusia yang bertipikal merdeka. Tidak !, tak ada itu idealisasi pendidikan untuk pembebasan. Tidak !, saya tidak dibentuk untuk menjawab tantangan itu.

Saya, mahasiswa, tanpa bisa dipungkiri justru adalah “stereotype” buruh terampil yang akan mengisi pos-pos wants and needs borjuasi penghisap. Bukan pemberontak, bukan !. Tapi, buruh !...ya, buruh terampil yang akan menggusur buruh-buruh potensial lain yang tidak sebanding tingkatan pendidikannya seperti saya. Itu keniscayaan, toh “link and match” antara Universitas dan/ Perguruan Tinggi merupakan “ideologi” yang dijual di ranah pertarungan pasar Universitas dan/Perguruan Tinggi. Siapa dia yang mampu menjamin keterbukaan akses mahasiswa ke pasar kerja, maka dialah yang keluar sebagai raja di pasar kompetisi Perguruan Tinggi / Universitas...bukankah seperti itu ?. Tak salah makanya bila jargon yang dipakai oleh para birokrat kampus (bukan pendidik, melainkan pemuja modal ; Pen) melulu “gampang cari kerja”. Adalah “soal lain” ketika berbicara kapasitas intelektual mahasiswa sekaligus keparipurnaan kesadarannya sebagai manusia (human being), intinya kerja dan kerja !. Tak peduli bagaimana kerasnya deraan tirani pasar kerja, tak peduli carut-marutnya “logika” pasar kerja...prinsipnya tetap kerja !. Lapangkan akses mahasiswa ke dunia kerja, selesai perkara. Upah murah, out sourcing yang menghinakan harga diri manusia...itu konsekuensi !.

Pemberontakan harus dimulai !. Tidak bisa tidak, pemberontakan adalah harga mati—lebih khusus buat saya. Saya cari role model konseptual yang minimal mendekati utuh. Beruntung (dan ini juga karena “kesediaan revolusioner” mencari buku-buku ; Pen) saya temukan manusia kreatif yang “berani” menghamparkan strategi dan taktik perlawanan mahasiswa di kampusnya. Ernest Mandel, beliaulah yang saya maksud. Lain dari itu, landasan filosofis perlawanan pun jangan sampai terkesan bolong-bolong. Infra-struktur perlawanan minus supra-struktur yang jelas bisa dibilang malah mengada-ada atau—bahkan—ngawur sama sekali. Untuk keperluan itu, satu nama yang langsung terbit di otak saya adalah Sartre—Intelektual revolusioner ternama berkebangsaan Perancis. Psikologi Imajinasi dan catatan kecilnya yang berjudul Sang Revolusioner saya nilai cukup untuk dijadikan supra-struktur perlawanan saya di kampus.

Pergerakan pun saya awali. Sakit memang menjadi minoritas di tengah main-stream yang punya “previlege” dalam penentuan keabsahan benar atau tidaknya sesuatu. Kesabaran revolusioner, hanya itu yang bisa saya lakukan. Untaian kata yang sungguh luar biasa dalam dari bung Karno. Saya dapati itu dari beberapa buku karangan beliau yang sempat saya baca. Terima kasih saya ucapkan kepada beliau, karena ucapan beliaulah yang membesarkan hati saya manakala diserang virus keputus-asaan.

Saya terjemahkan buah pikiran Ernest Mandel. Student control katanya, kendali mahasiswa. Mahasiswa harus mempunyai ruang lingkup otonominya sendiri yang idealnya tidak tersentuh tangan-tangan kekuasaan (birokrat) kampus. Saya rangkul kawan-kawan melalui agenda penyadaran dari satu individu ke individu yang lain. Terbentuklah apa yang disebut sebagai creative minority (minoritas kreatif) yang punya daya dorong signifikan bagi bergulirnya roda perubahan sosial (social change).

Dari lingkar inti sel yang telah terbentuk, minoritas kreatif ini terus meluas saja. Otomatis strategi perlawanan pun berubah. Bila di masa-masa perlawanan, strategi yang diusung adalah persuasif dan cenderung defensif, maka dengan kondisi objektif yang telah ada formatnya harus berubah ; ofensif. Parade-parade mulai intens dilakukan, begitupun dengan ekspresi sikap yang lainnya.

Jargon yang dimajukan sebagai “label opposisi” adalah Baca buku-mu...jadilah pemberontak !!!. Ada beberapa tuntutan minimum yang meletup di ruang publik (public sphere) kampus, seperti misalnya garansi kebebasan akademik dan kebebasan bermimbar. Tuntutan ini menciptakan efek bola salju (snow ball effect) yang lumayan deras. Nyaris beberapa langkah lagi perlawanan ini akan mencapai derajat optimal. Setelah “revolusi” kurikulum sebagai (salah satu) target antara....Otonomisasi Mahasiswa !. Ya, itu...otonomisasi maksimum mahasiswa !.

Epilog

Saya sadar perjuangan ini masih begitu panjang. Tak peduli saya siapa orang yang akan “mengeksekusi” revolusi di kampus ini. Toh, “mereka” adalah perwujudan benih-benih perlawanan yang telah saya semai.
Semakin larut saya dalam buku dan kekuatan kata-katanya. Di samping saya tergolek buku yang baru saja saya baca, Catatan Seorang Demonstran dan Dari Sierra Maestra Ke Havana. Mati muda...apakah saya juga akan mengalaminya ?.


Purwakarta, 21 April 2009
Lorong Perenungan Proletariat – Purwakarta


WIDDY APRIANDI


[1] Penulis adalah Mahasiswa STIE DR. KHEZ Muttaqien – Purwakarta sekaligus Koord. Dewan Pengarah re[d]sistance (Reading Society and Resistance Alliance)

Label:

0 komentar:

Posting Komentar

Adsense Indonesia