Meragukan Peran Strategis Perpustakaan Daerah sebagai Medium
Pencerdasan Anak Bangsa
Oleh : Widdy Apriandi *
Oleh : Widdy Apriandi *
Padang Gersang Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta
Betapa sulit menjadi salah seorang manusia yang berkualifikasi “cerdas” dan ”arif’ di negeri ini. Intuisi seperti ini tiba-tiba meledak begitu saja di benak saya manakala menikmati buku a la kadarnya yang berdesak-desakkan tak tentu “bentuk” di Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta. A la kadar memang. Sejujurnya sangat a la kadar malah.
Singkat kata, hati saya sampai miris dibuatnya. Bagaimana tidak ?!, atmosfer intelektual yang terpancar dari buku-buku yang dijajakan di perpustakaan pemerintah ini mengabarkan warta sekaligus kesaksian yang begitu menggiriskan (bila tidak dikatakan “mengintimidasi” ; Pen). Buku-buku tua yang sudah jauh dari standar up to date berjajar “sombong” sembari menyeringai menyatakan kebanggaannya. Bangga, karena masih diakui eksistensinya. Lebih dari itu, aroma “politik gagasan” pun sempat-sempatnya tercium. Paradoks dan kontra-produktif tentu saja bila dipertautkan dengan persoalan demokrasi—dan otomatis demokratisasi. Hal yang terakhir ini dapat ditemui dari varian buku yang kebetulan mampir di perpustakaan pemerintah yang saya maksud. Politik Islam Anti-Komunisme, demikian judul salah satu buku yang saya temui di salah satu rak buku “resmi” pemerintah. Buku itu berdiri sendiri seperti merasakan “kemutlakan” kebenarannya. Tak ada counter-opinion (wacana pembanding) dari buku lain yang minimal mendekati proporsional. Terbayang oleh saya bagaimana ekses dari buku ini di ruang publik (public sphere). Kalau bukan pembodohan, maka tanpa bisa dibantah lagi adalah (lagi-lagi) “regenerasi” sesat pikir (gaya) orde baru yang termanifestasi dalam intelektualisme monolitik.
Padang gersang. Bila diibaratkan ke dalam proyeksi tipikal kondisi geografis dari salah satu tempat yang ada di muka bumi, maka sepertinya tak berlebihan bila Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta disimbolisasikan seperti itu. Alih-alih menyerupai oase yang mampu membalas rasa kehausan, Perpustakaan Daerah justru berlaku sebaliknya, yaitu menghamparkan kegersangan begitu rupa. Dalam artian yang lebih tegas, Perpustakaan Daerah gagal menjawab kehausan ilmu publik Purwakarta. Tak salah makanya bila dalam hal ini timbul percikan kritik terhadap eksistensi Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta ; mampukah Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta memainkan peran strategisnya sebagai medium pencerdasan anak bangsa ?.
Bukan Sekadar Formalitas
Tentu tidak seperti menjawab pertanyaan ber-genre eksakta. Problematika yang sedang ”kita” hadapi ini lebih kompleks dan pelik dari yang dibayangkan. Dikatakan demikian karena ternyata banyak variabel yang turut urun ”saham” persoalan di sana ; mulai dari—katakanlah—visi manajerial perpustakaan pemerintah itu sendiri yang dalam konteks ini perlu dipertanyakan (atau—bahkan—digugat sama sekali ; Pen) hingga ke minimnya kritisisme masyarakat luas terhadap kualitas layanan publik yang disediakan oleh Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta.
Namun begitu, bukan berarti permasalahan ini tidak dapat diurai atau—dalam lain perkataan—tidak terjelaskan sama sekali. Sekadar sebagai peringatan awal (early warning), imbauan ”bukan sekadar formalitas” sejatinya cukup mengena tepat di jantung kontekstual persoalan yang tengah diperbincangkan ini. Imbauan ini ditujukan kepada manajemen Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta pada khususnya (yang dalam hal ini memainkan peran sebagai eksekutor penyediaan fasilitas buku kepada publik ; Pen) dan Pemerintah Daerah Kab. Purwakarta yang dalam peta konfliktual yang lebih luas berposisi sebagai penanggung jawab layanan publik.
Betul !, bukan sekadar formalitas. Bukankah pemerintah (baca : Pemerintah Daerah Kab. Purwakarta) memiliki peran strategis sebagai institusi (negara) yang otoritatif dalam hal pengalokasian dana publik ?. Didik J. Rachbini menegaskan perkara ini secara eksplisit dalam Ekonomi Politik, yaitu bahwa pemerintah memiliki peran yang cukup besar dalam hal pendistribusian anggaran publik—yang potensial meng-cover kebutuhan hajat hidup orang banyak. Sisi inilah yang sebetulnya ”krusial” untuk dikritik. Nilai lebih (advantage value) pemerintah dalam kewenangan (otoritas) yang disandangnya tidak lantas berarti sama (equal) dengan pengelolaan yang ”semau enak sendiri” (atau dalam pengertian yang lebih soft, anti kritik ; Pen). Dengan demikian, maka imbauan ”bukan sekadar formalitas” cukup mendapatkan angin legitimasinya.
Jangan sampai Pemerintah—melalui kepanjangan tangannya (state apparatus)—”bermain-main” sendiri tanpa kawalan, termasuk dalam persoalan penyediaan fasilitas layanan buku kepada publik. Kondisi aktual yang hari ini mewujud (becoming) mengindikasikan bahwa Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta nyaris bereksistensi dalam ”logika”-nya sendiri (tanpa kritik, tanpa evaluasi yang menyeluruh dari para stake holder yang berkepentingan ; Pen). Tampilan (feature) kualitatif ini akan semakin memburuk tentunya bila sengaja direspon dengan sikap yang terus-menerus berpretensi pembiaran (obeying).
Peran Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta jelas dirasakan begitu penting di tengah pergumulan sosio-kultural Kab. Purwakarta (urgent bahkan barangkali ; Pen). Jangan terus dibiarkan menjadi ”hanya” sebatas formalitas saja, yaitu ada (exist) untuk sekadar membuktikan bahwa Kab. Purwakarta pun memiliki Perpustakaan Daerah walau bagaimanapun kondisinya. Sebaliknya, setiap stake holder yang berkepentingan terhadap arti (mean) Perpustakaan Daerah harus sama-sama menyadari nilai ”adi-luhung” dari Perpustakaan Daerah itu sendiri. Kesadaran (consciousness) dalam tafsiran yang holistik tentu saja !, tidak parsial apalagi pragmatis. Terlebih, kesadaran yang juga bukan sebatas ”parade” retorika, melainkan dihiasi pula dengan oleh ornamentasi aksiologis yang konkret.
Akhirnya, jawaban atas pertanyaan ”kita” di awal tadi tentu sangat dependable (bergantung). Tergantung apakah visi kolektif ini dapat teraktualisasikan di ranah nyata atau tidak ?. Satu hal yang jelas riil adanya adalah bahwa bila kondisi ini melulu bertahan tanpa mampu beranjak lebih baik, sulit rasanya mendamba anak-anak Indonesia yang berkualifikasi ”cerdas” dan ”arif” sebagaimana saya katakan di atas. Di tengah harga buku yang melambung tinggi, di antara peliknya fenomena komodifikasi dunia pendidikan, Perpustakaan Daerah seharusnya menjadi solusi alternatif dan—bahkan—”martir” penyelamat anak-anak bangsa dari jeratan kebodohan.
Wallahu’alam Bisshowab...
Wallahu’alam Bisshowab...
* Penulis adalah Koordinator Dewan Pengarah
re[d]sistance (Reading Society and Resistance Alliance) – Purwakarta
2 komentar:
http://stempelmerah.blogspot.com/2009_04_01_archive.html
terima kasih atas masukannya ^.^
diakui kondisi perpustakaan memang belum memenuhi standar kebutuhan , namun kami berusaha di tengah keterbatasan anggaran dan kebijakan pemerintah daerah yang belum menjadikan perpustakaan sebagai garapan prioritas pembangunan
dengan dukungan dari pihak swasta telah mampu meningkatkan jumlah pengunjung perpustakaan
Untuk buku saya kira agak lumayan tidak terlalu ketinggalan jaman, hanya kebutulan mas widdi ngambil buku yang terbitan lama ...buku politik bukan prioritas dalam pengadaan buku perpustakaan dan persentasenya sangat kecil sekali.
harry potter ..laskar pelangi .. ketika cinta bertasbih ..la tahzan ..ada walau gedung perpustakaan seperti gudang tua ^.^
buku-buku kedokteran dan manajemen terbaru juga ada ...sampe dengan untuk masalah internet ..facebook ..blog.. juga ada
silahkan di susur lagi lorong-lorong buku-nya mas .. mudah-mudahan sarana kurang tidak menjadikan kita merasa kurang, optimalkan yang ada ditengah ketiadaan anggaran ^.^
Posting Komentar