Adsense Indonesia

Ruang Kelas Yang Tergusur

22.08 / Diposting oleh Widdy Apriandi /

Ruang kelas yang dahulu biasa penuh sesak dengan manusia-manusia putih abu-abu, kini berubah hening. Sepi tanpa gerak-gerik yang berarti. Kemarin-kemarin ruang kelas ini jadi buah bibir. Banyak prestasi yang lahir dari hasil pergulatan manusia-manusianya. Sorak-sorai kebahagiaan, suara tawa terkekeh-kekeh kegirangan seolah masih terdengar. Banyak cerita ; suka, duka, luka, senang dan sebagainya. Semua tercatat dalam gerakan debu yang gemar bercinta dengan peluh kelelahan khas anak SMA.Tapi itu dulu…enam tahun yang lalu. Tak kusangka waktu berlarian begitu cepat. Banyak berubah…atau justru malah dipaksa untuk berubah. Ruang kelas ini saksinya. Sekarang semuanya hilang. Tersapu rata bersama tanah padat. Kosong tak bermakna. Semuanya betul-betul raib entah kemana. Bangku, meja, papan tulis dan para manusia di tanah itu semuanya sirna. Ruang kelas itu bisu dikangkangi waktu. Beralih arti menjadi hanya sepetak tanah parkiran motor yang sungguh menyedihkan.
Apa arti prestasi yang dahulu dibanggakan setinggi langit ?. Padahal itu lahir dari ruang kelas ini, bukan dari ruang-ruang kelas yang lain. Sekarang ?!...ahh !, adakah perangsang yang mampu menghasut sukma untuk bernostalgia dengan itu semua ?. Tinggal mimpi, atau…paling tidak ingatan dari mulut ke mulut yang sengaja dibuat turun-temurun. Tragis.
Ruang kelas 3 IPS 2 yang dulu dipuji sedemikian rupa terampas benang sejarah gilang-gemilangnya. Habis dijarah oleh ambisi dan obsesi manusia-manusia yang terlanjur percaya dengan mitos pembangunan. Kelas teladan, kelas para bintang…itu dulu. Sekarang…lahan parkiran sekolah yang sepintas lalu tak jauh berbeda dengan petakan parkiran di mall-mall besar kota ini. Purwakarta.
***
Masih saja kusempatkan waktu untuk tersenyum pahit ketika setiap waktu melintas berhadap-hadapan dengan gerbang sekolah yang kelihatan begitu megah hari ini. Setiap waktu juga kurasakan sesak di dadaku gara-gara itu. Campur baur perasaan dalam warna yang berjuta-juta. Berpikir, melayang bersama derap langkah sadar saat melintas. Kemudian sesak, karena pada akhirnya perjalanan liar perasaan itu berlabuh di pulau kegetiran.
Ingin selalu mempercepat langkah di kala melintas, tetapi tak mampu. Kepongahan gerbang sekolah itu yang menyedot sebagian besar tenagaku. Begitu angkuh…sehingga jelas punya kekuasaan untuk menghakimi orang seenak hati tanpa butuh penjelasan apalagi bantahan. Aku korbannya…manusia yang selalu saja merasa dihakimi ketika memberanikan diri untuk menatap. Selalu saja…malu, minder, asing, terkucilkan. Berat kaki untuk melangkah, lelah. Seperti undur-undur…melangkah merayap-rayap karena terlalu besar timbangan malu ketimbang pede-nya.
Waktu memang sungguh-sungguh berputar. Enam tahun bukan waktu yang sebentar. Segala sesuatunya serba berubah. Tak peduli besar atau kecil, setiap perubahan itu nyata. Enam tahun ke belakang, gerbang yang angkuh itu sama sekali tak ada. Tak terpikirkan boleh jadi. Bangunan itu tak sesombong sekarang yang terkesan garang menantang. Bangunan itu dulu begitu anggun, namun berwibawa. Sederhana, tak neko-neko. Eksotis…karena ada goresan tinta sejarah kolonial yang bersaksi dalam rangkaian rapi batu-batu. Saksi bisu sejarah pemerintahan kolonial Belanda. Bangunan tua bersejarah yang difungsikan sebagai sekolah.
Seminggu sekali kubiasakan duduk-duduk benci menatap si gerbang yang sombong. Mengambil arah yang berseberangan, kuteliti urat-urat bangunan itu yang kupikir makin arogan dari waktu ke waktu. Sesekali kupotret...hanya untuk memuaskan dahaga batinku saja. Pertanyaan demi pertanyaan acapkali bersliweran ke arahku di saat tengah asyik-asyiknya duduk dan menatap kesal bangunan itu. “Lagi ngapain, a’ ?”, umumnya seperti itu. Paling-paling kusikapi dengan senyum hambar tanpa jawaban. Terserah apa kata orang.
Bangunan tua milik para meneer yang gemar menjajah dan menghisap pribumi negeri ini. Hari ini tiada…musnah tak tersisa. Dihadapanku kini bertengger bangunan megah yang tampilannya begitu mencolok. Terlihat benar-benar berbeda diantara sesamanya. Tegak berdiri…penuh sumpah serapah.
Jiwa yang bingung mencari-cari jawaban. Butir-butir keheranan mengkristal menjadi batu terjal yang mengisi setiap ruang batinku. Sesak tak terkira. Entah kapan punya kesempatan untuk mewujud menjadi gugatan. Kesaksian yang mau tak mau harus disuarakan. Ruh penjajah belum hilang dari bangunan megah yang ada di sana, meski hilang pesona kolonial-nya. Sejatinya memang betul-betul belum hilang. Hanya bentuk yang berubah. Bukan isi, namun bentuk. Para meneer yang sempat kerasan mengkeruk harta bumi pertiwi, sekarang berganti baju. Bersembunyi dalam jubah para birokrat sekolah yang gemar memuja kata “pembangunan”.
Ruang kelas yang tergusur. Tergusurlah begitu saja. Runtuh menjadi abu bercampur debu yang tak lagi bercinta dengan peluh kelelahan para siswa di kelasnya. Justru dengan oli dan bensin yang tumpah dari kendi-nya. Perselingkuhan yang menyakitkan.
***
Namaku Sujana. Jangan repot-repot panggil namaku seutuhnya, cukup Jana saja. Anak pertama dari keluarga yang masih semangat memanjat tebing kemiskinannya. Berpacu dengan waktu…melawan segala rintangan. Bekerja keras…bisa dipastikan lebih keras dibandingkan PNS yang lebih memilih ongkang-ongkang kaki plus gaji buta. Jangkung, kurus, mata cekung kurang makan…itu aku. Jangan heran. Itu saja ?... ah tidak !. Masih ada yang lain ; insomnia. Yang terakhir ini kudapati setelah akrab bergaul dengan bangku kuliah.
Misteri terbesar dalam hidup ini, buatku justru kehidupan itu sendiri. Entah…sesuatu yang disebut roda nasib-lah yang membuatku semakin yakin bahwa hidup dan kehidupan memang sebuah misteri. Lho iya…bukankah memang harusnya seperti demikian ?. Siapa sangka darah dan daging yang bersenggama dalam sosok Sujana bisa merasakan atmosfer kampus ?. Bila bukan karena kebaikan roda nasib yang kebetulan berpihak…niscaya semua ini tak akan terjadi. Ya sudahlah…biarkanlah roda nasib itu terus melaju deras. Lepas landas dan bebas memilih siapa-siapa yang hendak dijadikan kawan atau lawannya.
Bangunan yang sedang kutatap ini dulunya adalah tempat berlabuhnya semua impian yang tertanam genit di otakku. Tak terlupakan setiap cuplikan peristiwanya. Enam tahun yang lalu. Ada Aulia, teman sebangku yang gemar sekali bercanda. Handi, si tukang basket yang selalu mampu menghidupkan suasana kelas betapapun jemunya. Teman-teman sekelas yang lain…semuanya. Ruang kelas para bintang. Percetakan manusia-manusia teladan yang dianggap akan menjadi orang sukses kala itu. Lahir di ruang kelas ini.
Aku adalah bintang kelas. Sujana si anak kampunglah yang ternyata di detik-detik akhir perjalanan SMA-nya bisa membuat semua siswa menatap kebingungan sekaligus takjub. Predikat terbaik untuk nilai Ujian Akhir Nasional se-kabupaten Purwakarta, aku yang pegang. Sujana si anak kampung. Sumringah tak terbahasakan. Aku masih ingat masa-masa indah itu. Aku—Sujana si anak kampung—yang biasanya tertunduk malu dihadapan teman-teman satu sekolah, tak lagi merasa malu saat itu. Malah kepongahan yang justru timbul-tenggelam. Perasaan geram yang tertahan selama tiga tahun bersekolah pecah sudah. Tertumpah di satu hari tanpa mampu terbendung lagi. Sujana si anak kampunglah yang justru lahir sebagai siswa terbaik di sekolah itu, bukan siapa-siapa. Tidak anak-anak kota yang selalu trendy, tapi Sujana !...Sujana si anak kampunglah yang terbaik.
Enam tahun yang lalu. Ahh…kubuang batang rokok terakhir yang kuhisap setelah hampir satu jam termenung di seberang gerbang sekolah. Kupaksakan langkahku walau terasa berat. Pergi dan mencoba untuk tidak menghiraukan kembali. Satu, dua, tiga langkah…ada tarikan memori yang kembali memaksaku untuk mengheningkan cipta sejenak. Ternyata lahan parkiran itu. Magnet yang kuat mengikat…memaksaku untuk dingin membeku. Ruang kelas yang tergusur. Lebih dihargai sebagai lahan parkiran tanpa peduli segudang prestasi yang telah digubah. Diperkosa oleh para meneer berwajah pribumi, berbaju safari khas birokrat.Ruang kelas yang tergusur. Tergusurlah.
***
Heboh pagi ini. Jerit Sirine ambulance melengking tinggi memekakkan telinga. Tersiar kabar mengejutkan. Wartawan, orang tua, bahkan Bupati pun berdatangan. Aku pun ada…menjadi penonton ke sekian yang memadati keriuhan luar biasa tersebut. Tak sempat kutengok langsung apa yang sebenarnya terjadi. Berdesak-desakkan dalam lautan manusia, jujur saja aku malas untuk itu. Simpang-siur informasi, ini-itu…ini-itu. Aku menyaksikan dari kejauhan dengan penuh rasa penasaran. Hanya bisa mendengarkan penuturan orang per orang.
Akhirnya kudapati juga titik terangnya.Oooh…ternyata begitu ceritanya…Petaka menghiasi cerah pagi ini. Ruang kelas Sekolah Dasar yang letaknya tepat bersebelahan dengan gerbang sekolah yang sombong itu ambruk berantakan. Hancur terburai…mengisahkan nestapa untuk beberapa orang tua. Isak tangis mengiringi jenazah anak kecil yang tertimpa beban jauh melebihi berat badannya. 2 siswa SD tewas terkapar di tempat, sisanya luka ringan.Ngeri seketika. Banyak tangan coba membantu. Aku diam-diam saja mengamati. Terlalu banyak orang…ramai. Kupikir sudah lebih dari cukup untuk pertolongan pertama.
Kembali melangkah ringan, terus saja berjalan layaknya hari-hari biasa. Tanpa muatan emosi apapun, enteng-enteng saja. Berbohong, padahal hati geram. Lagi-lagi terlihat gerbang sekolah yang setelah kejadian itu terasa semakin mentereng. Sesak dadaku lebih dari yang jamak kurasakan…setengah marah menggila. Kulampiaskan dengan senyum pahit menyebalkan. Kutatap gerbang berikut penjaga sekolah itu. Berbisik pelan dalam kata-kata yang sangat ironis ; ambil ruang kelas yang ambruk itu untuk lahan parkiran selanjutnya.
Purwakarta, 5 April 2008

Label:

0 komentar:

Posting Komentar

Adsense Indonesia