Adsense Indonesia

Kata Pengantar Di Buku REAKSI Yang Saya Susun

22.37 / Diposting oleh Widdy Apriandi /

“ Kita semua telah menjadi terbiasa dengan sistem totaliter (otoriter) dan menerimanya sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa diubah sehingga membantu melestarikan sistem itu. Dengan kata lain, kita semua meskipun tentu saja dalam tingkatan berbeda-beda bertanggung jawab atas terciptanya sistem totaliter. Tak seorang pun diantara kita yang hanya menjadi korban saja ; kita semua bertanggung jawab atas sistem tersebut “.
(Jaclov Havel)

Lewat dari satu dekade sudah bangsa dan Negara Indonesia meretas jalan meraih kehidupan yang lebih baik pasca momentum people power yang populis dikenal sebagai “reformasi 1998”. Lebih kurang 11 tahun bahkan lebih tepatnya andaikata ditarik—secara relatif definitif—ruang lingkup historisitasnya ; terhitung sejak mei 1998 hingga sekarang (2009). Perubahan demi perubahan otomatis terjadi tanpa mampu terelakkan lagi dalam kurun waktu tersebut, terlepas dari apakah perubahan sebagaimana dimaksud berputar di locus struktural atau justru lebih terkonsentrasi di ranah kultural ke-Indonesia-an. Urat nadi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia seakan benar-benar “hidup”, tak lagi sekadar ada (exist) dan bergerak namun semu (absurd) eksistensinya seperti pernah mengemuka di orde kehidupan Indonesia sebelumnya. Menemukan kembali semangat (spirit) yang boleh jadi sempat sirna, setiap eksponen bangsa dan Negara Indonesia (kembali) bergejolak dinamis layaknya diterpa angin renaissance yang mencerahkan (enlightening) eropa dari abad kegelapannya. Terbit visi “baru”, kemudian komitmen-komitmen perjuangan kontemporer yang selaras dengan kehendak kolektif civitas bangsa dan Negara Indonesia ke-kini-an.
Tak selurus sebagaimana yang tertuang dalam setiap konsepsi transformatif yang selama ini menjamur di tengah ruang dinamika ke-ummat-an dan kebangsaaan Indonesia tentu saja, fakta di lapangan (field facts) terkadang—atau bahkan sering barangkali—mempersaksikan proyeksi realitas sosial menyoal “perubahan” bangsa dan negara Indonesia yang justru boleh jadi kerap kali bertendensi paradoks alih-alih linier dalam konteks komparasi (perbandingan) antara idealisasi Indonesia dalam konsepsi-konsepsi perubahannya vis a vis gambaran riil di lapangan aktual. Bukan berarti menggeneralisir potongan-potongan kenyataan di lapangan ke dalam satu konteks penterjemahan apalagi mereduksinya sama sekali sehingga refleksi realitas yang begitu kompleks menjadi sangat kerdil serta tendensius, asumsi demikian—katakanlah—tampaknya akan lebih tepat dan relevan bila diposisikan sebagai wacana pembanding (counter opinion) terhadap narasi utama idea perubahan bangsa dan negara Indonesia yang selama ini seringkali disikapi secara an sich dan minus kritisisme. Dalam lain artikulasi, asumsi tersebut dengan demikian juga tidak lantas mengindikasikan ketidak-percayaan (atau dalam lain perkataan, menafikan sama sekali ; Pen) terhadap guliran perubahan yang memang sedikit banyak telah meng-ada (being) di bumi pertiwi. Titik tolak perhatian yang lebih substansial pada konteks ini—dan kemudian menjadi pijakan analisis kritis—adalah gambaran nyata yang muncul di dataran faktual yang kemudian membentuk persepsi (yang kemudian tersimbolisasikan dalam bentuk kata dan kalimat ; Pen) sebagaimana dikatakan Paulo Freire dalam Pendidikan Masyarakat Kota, yaitu bahwa “kata dan kalimat bukanlah merupakan wacana kosong yang mengapung di udara, melainkan memiliki keterkaitan secara sosial dan historis”. Dengan demikian, penyebutan laju perubahan bangsa dan negara Indonesia sebagai “masih rentan dengan aroma paradoks disana-sini” tidak kontan berpretensi hiperbolik dan—kemudian—a-historis, melainkan justru riil, faktual dan relatif memiliki latar belakang sosial yang bisa dibilang kontekstual.

Pada area penelaahan inilah sebetulnya karya a la kadarnya ini menjejakkan kakinya di muka bumi. Bahwa kilasan puspa ragam paradoks masih tetap mewujud di seputar ruang (space) “perubahan” bangsa dan negara Indonesia, demikianlah buah kesadaran (consciousness) yang menancap di benak tim penyusun. Kegelisahan ini kemudian dijawab secara “taktis” lewat kesaksian yang dituturkan dalam karya sederhana sebagaimana kini hadir menyapa ruang pemikiran para pembaca sekalian.

Disadari betul, jelas begitu kompleks besaran “wilayah” paradoks perubahan bangsa dan negara Indonesia seperti telah disinggung sebelumnya. Analisis sektoral—pada konteks permasalahan ini—dengan demikian mau tidak mau harus diambil sebagai suatu opsi pembedahan persoalan yang paling “rasional” demi menjawab tantangan “kepentingan” yang include (terintegrasi) dalam “jati diri” karya ini. Di lain sisi, keterbatasan kapasitas serta kompetensi tim penyusun pun menjadi persoalan lain yang ternyata juga harus direspon dan disadari benar oleh tim penyusun.

Domestifikasi persoalan yang dalam hal ini lebih didorong ke issue good governance (pemerintahan yang baik) dan selanjutnya lebih dikerucutkan lagi ke persoalan pemberantasan korupsi merupakan manifestasi konkret dari upaya analisis sektoral seperti halnya telah disebutkan di atas. Sekali lagi, bukan tanpa alasan mendasar tentu saja. REAKSI (Relawan Anti Korupsi) sebagai salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam ikhtiar pemberantasan korupsi secara konsisten dan berkesinambungan (sustainable) merasa terpanggil dan—selebihnya—berkepentingan untuk menyuarakan idealismenya.

“Mengawal Good Governance ; Refleksi REAKSI dalam agenda suksesi pemerintahan tanpa korupsi” adalah simbolisasi aksi kreatif REAKSI (Relawan Anti Korupsi) dalam ikhtiar pembumian platform perjuangan pemberantasan korupsi yang diupayakannya.


Purwakarta, Maret 2009

Tim Penyusun

Label:

0 komentar:

Posting Komentar

Adsense Indonesia