Lelah. Hanya mandi dan mandi saja yang berkelebat di alam pikiranku. Klakson mobil sengaja kubunyikan tepat di depan gerbang rumahku. Tak lama, Pak Wiji tampak dalam tampilan yang kusut masai. Ya, maklum jam 12 malam. “Gan…”, sapanya. Kujawab dengan anggukan kepala saja, dingin sekali karena mood-ku memang sedang tidak memungkinkan untuk gerakan-gerakan tebar pesona.
Mbok Mirah menatapku sesaat sewaktu aku memasuki ruangan utama rumahku yang luas dan terang-benderang. Aroma kemegahan begitu lekat dengan segala properti yang ada di sini. Jam dinding yang bertahtakan emas (konon dibeli Papih di London), Tv set yang lengkap dengan ornamentasi elektroniknya, mebel-mebel antik import mancanegara, semuanya tertata rapi dan mengumbar kesan gagah. Luar biasa kupikir kerja keras Mbok Mirah yang bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapihan ruangan ini. Termasuk saat ini, tatapannya menyiratkan sense tanggung jawabnya terhadap majikannya.
“Belum tidur, mbok ?”, tanyaku singkat sambil mencopot sepatu.
“Sudah gan, tapi bangun tadi karena dengar suara mobil juragan. Ada yang perlu mbok siapkan, gan ?, jawabnya dalam suara yang parau.
“Hmm…ngga, mbok. Terima kasih. Tapi, ngomong-ngomong…Papih dan Mamih belum pulang mbok ?”, sekadar mengomentari ucapan Mbok Mirah, kutanyakan pula kabar Mamih dan Papih kalau kebetulan mereka sempat menitipkan kabar. Sudah hampir satu minggu ini Papih dan Mamih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Papih dan Chicago sudah bukan hal yang aneh lagi buatku. Bisnis garmen yang dijalankannya memang selalu menuntutnya untuk begitu. Termasuk juga kehendak kerasnya untuk menyekolahkanku ke negeri paman sam sana, bukan sekali dua kali dipaparkannya dengan begitu panjang lebar sampai akhirnya lelah sendiri karena aku toh lebih ingin melanjutkan pendidikan di sini. Tak jauh berbeda seperti Papih, Mamih adalah sosok wanita pekerja keras yang kadang-kadang kunilai hampir mirip Margaret Thatcher. Keras, namun tetap elok menjaga dimensi keperempuannya. Politisi perempuan, begitu tepatnya. Sebagai bagian dari lingkaran elit parlemen nasional, entah...terkadang kurasakan dirinya dililit oleh pekerjaannya sendiri.
Mbok mirah membalas pertanyaanku tadi dengan bahasa tubuhnya yang lugu dan sederhana, menggelengkan kepala yang kupersepsi sebagai simbol “belum”. “Ah...kembali sendirian si anak semata wayang ini dan memainkan peran pangeran tampan yang kesepian. Sssh…cerita lama !”, monolog ini lantas mengemuka di batinku. Ngeloyor tanpa permisi, kuteruskan langkahku.
Sampai di ruangan kamarku, segera kuambil handuk dan menyegerakan mandi demi membalas lengket keringat dan kepenatan yang kurasakan seharian tadi. Ah, di bath tub ini kumanjakan diriku dengan sengaja berlama-lama berendam di air yang hangat-hangat kuku. Sampai tuntas, sampai seluruh badan terasa segar.
Alunan nada mellow nan cantik yang keluar dari saxophone Kenny G mengiringi aku yang sedang merapikan diri selepas mandi. Dalam balutan busana piyama high class yang kini kusandang, kusempatkan mematut-mamut diri sebentar di cermin. Betapa kulihat wajah Mamih dan Papih di sana. Sungguh aku rindu mereka.
Kuraih laptop yang tersimpan rapi di tas, kembali kutulis catatan harian yang kupikir itu keren dan universal alih-alih mutlak hak monopoli perempuan saja dalam tradisi ber-diary-nya :
Dan begitulah waktu berlalu...tiba-tiba aku tepat berdiri di gerbang impian yang memang selalu terbayang di otakku semenjak kecil ; pemain sepak bola profesional. Betapa bahagianya…sampai-sampai aku dan Mario tak mampu menguraikan itu dalam bentuk kata-kata. Hmmmm...bangga-kah mamih dan papih dengan capaianku ini ?. Oh…atau jangan-jangan mereka lebih ingin melihatku dalam rupa “Aldo” di dunia yang mereka karang ?. Bagaimanapun…ah !... sungguh aku rindu mamih dan papih. Bagaimanapun...begitu kuat hasratku untuk mengumumkan berita gembira ini langsung dihadapan mereka. Ya, paling tidak toh aku sudah berbuat sesuatu untuk mereka…mencoba membuat mereka bahagia dengan apa yang bisa kulakukan, jujur, bukan basa-basi.
Setahap lagi…dan aku yakin semua itu bisa kulewati !. Visi itu terang tergambar di mataku. Ya, tahapan seleksi yang nanti akan kuhadapi dapat kulewati dengan mudah semudah final kejuaraan sepak bola kemarin. Aku, Mario akan lolos dan melenggang santai ke dunia baru ; sepak bola profesional. Itu pasti !. Berbekal keyakinan dan potensi yang kami miliki...tahapan seleksi itu tidak lain hanya sebatas formalitas yang harus kami jalani sebagai bintang lapangan yang nantinya akan selalu dekat dengan decak kagum para supporter. Ya, kami akan terus melenggang...terus, terus, meninggi sampai ke Senayan sebagai pemain tim nasional Indonesia. Indonesia akan mencatat sejarah kami sebagai pemain sepak bola muda yang penuh talenta dan mampu memberikan prestasi untuk negerinya.
Segalanya jelas begitu berbeda semenjak momentum bersejarah yang menyatakan Muttaqien United sebagai jawara. Aku dan Mario sontak menjadi public figure yang tak henti-hentinya dielu-elukan sebagai pahlawan di kampus. Siapa tak kenal aku si “wakabayashi” yang hanya kebobolan lima gol selama kejuaraan ?. Kemudian, siapa juga yang tak kenal bomber maut Muttaqien United yang bernama Mario ?. Kalaupun ada yang tidak kenal, rasa-rasanya itu karena memang mereka tidak banyak bergaul saja. Selebihnya, boleh jadi karena mereka terlalu serius meladeni rutinitas perkuliahan yang mengakibatkan mereka terpinggirkan dari kenyataan. “Ironis, bukan ?!”, selalu kalimat itu yang kulemparkan ke muka kawan-kawan yang kebetulan turut nebeng makan gratis di cafeteria kampus.
Kuparkir Honda Jazz hitam metalik yang biasa kubawa setiap hari di parkiran kampus. Sebagaimana pemandangan umum dari hari ke hari, suasana kampus riuh dipadati banyak mahasiswa-mahasiswi yang lalu lalang. Sesekali, kutangkap wajah-wajah sendu kawan-kawan sekampus yang mungkin sedang terbebani tugas kuliah yang begitu menumpuk. “ahhh !...teori !!!, tugas-tugas melulu macam buruh saja!”, celetukan jahil itu tak sempat menemui bentuk lisannya. Sejujurnya, justru hanya menjadi angin lalu yang bergemuruh di hatiku. Sungguh potret kehidupan kampus yang sangat tidak menarik ; kuliah, tugas, kuliah, tugas.
Apa yang justru exciting menurutku adalah kongkow gaul di cafeteria kampus, pasti !. Ngobrol bebas, listing cewek cantik yang ada di kampus bersama kawan-kawan…ah !, sungguh itulah sesuatu yang membuatku betah berada di kampus. Belum lagi bila ditambah celotehan si Mario yang ngocol berat, semakin kerasan saja aku berlama-lama menghabiskan waktu di sini. Terkadang aku mengkhayal, bila saja hiruk-pikuk perkuliahan di kelas sama sebanding dengan apa yang biasa kutemui di cafeteria, jelas tak ada kewajiban semester pendek yang sepertinya emoh untuk menyingkir dari diriku walau untuk satu semester saja. Termasuk juga hari ini di waktu aku duduk sendirian di meja favorit yang biasa ramai diisi kawan-kawan, lamunan itu tetap ada. Andai…ya, andai…pasti segala sesuatunya akan terasa lebih mudah dan menyenangkan. Tak terasa satu gelas jus alpukat bersama camilan kentang goreng sudah habis kunikmati. Menatap sekitar, kunanti kehadiran manusia-manusia ajaib yang seharusnya sudah ada disini sedari tadi.
“Hallo…oooo, Aldo ?”, sapaan itu hadir dari perempuan yang berjalan anggun tepat di hadapanku. Langkahnya pelan sekali seperti kilas slow-motion di film the matrix yang kutonton tempo hari. Begitu mempesona, atmosfer Cleopatra mutlak digenggamnya.
Sungguh mengejutkan tentu saja. Detak jantungku berdegup begitu kencang. Waktu seperti terhenti di detik-detik kehadirannya. Terhisap malah boleh jadi oleh kecantikannya, sehingga malu untuk berputar. “Hai…”, kubalas sapaannya sembari menawarinya untuk duduk semeja. Hanya senyum yang dia berikan, tanda penolakan halus untuk tawaran yang kulemparkan.
Namun, entah…tiba-tiba cafeteria ini menjadi sangat cemerlang, gemerlap, berbunga-bunga. Setelah senyum penuh makna itu…gerakan tangan yang dibentuk mirip telephone dari si perempuan dialamatkannya untukku. Dia pun berlalu santai seperti tak ada beban tanggung jawab apa-apa untuk aksi yang telah ditunjukkannya kepadaku. Aku yang jelas-jelas ditelantarkannya hanya bisa tersenyum simpul sendirian. Bahagia…bahagia sekali. Vena si bintang kampus, perempuan yang selalu terbayang di benak seluruh mahasiswa di sini…dia…dia…menegaskan sinyal pendekatan yang jelas harus segera kurespon (hanya orang gila saja kupikir yang rela melepaskan kesempatan ini).
Kebahagiaan sesaat itu pun pecah oleh teriakan gerombolan genderuwo yang memang sudah kutunggu kedatangannya sejak tadi, “Woi…sob…woi…Aldo !”. Putaran waktu yang sepertinya terhenti di detik-detik kemunculan si Cleopatra beranjak ke keadaan yang seperti biasanya lagi. Ah !, bergerak menjemukan. Bunga-bunga yang sebelumnya kulihat bertebaran di sana-sini…aih, aneh… berganti dia sedemikian cepat menjadi tampilan wardrobe film daun di atas bantal yang masih kusimpan potongan-potongan klipnya di memori otakku. Berubah…ah !...betapa malasnya kembali memijakkan sukma di tanah keras kehidupan. Vena…vena…sensasi itu makin meredup dan kemudian sirna sama sekali.
“Heh…bengong aja lu sob ?”, tepukan ringan Eko di pundakku memaksaku untuk yakin bahwa aku memang sedang berada di tengah pusaran realitas yang minus eksistensi Cleopatra si Heart Breaker.
“Iya nih…siang bolong gini masih mimpi aja lu ah. Bangun !...Bangun !”, suara lantang khas orang seberang yang dimiliki oleh kawanku yang bernama Andi ini kontan membuat meriah suasana karena diamini oleh kawan-kawan yang lain ; Ridwan, Marco, Putu dan Hasyim.
“yeeh…sirik aja lu mah…udah sana pesen makanan !”, tegasku pada gerombolan genderuwo yang sudah kuketahui pasti tabiatnya bila sudah berkumpul satu meja denganku.
“Okeee…siap, bos !!!”, suara itu serempak mengudara bak koor penyanyi latar. Maka, karnaval bunyi-bunyian sendok, garpu yang dipadu dengan harmoni gelas dan piring pun tak dapat dihindari di menit-menit selanjutnya. Betapa senangnya melihat wajah kawan-kawanku yang sedang ber-lunch ria dalam pose free style atau mungkin kesurupan.
Ramainya suara yang hadir dari perbincangan, gelak tawaku dan kawan-kawan di meja cafeteria ini hampir-hampir terasa mencolok seperti tengah show off saja di mata mahasiswa-mahasiswi lain yang kebetulan juga sama-sama lapar atau sekadar ingin melepaskan kepenatannya. Ditambah ornamentasi blink-blink yang selalu setia menemaniku, mulai dari ponsel blueberry, I-pod sampai ke laptop…kusadari betul bahwa wajar saja bila ada kesan seperti itu yang mungkin saja terbersit di benak orang-orang yang ada di sekitarku. “Terserah lah apa kata mereka, toh memang begini lah adanya aku”, quote pribadi inilah yang selalu kupegang teguh selayaknya prinsip hidup yang kuyakini.
“Ko…lu temen sekelas si Vena kan ya ?”, tegasku singkat saja kepada Eko yang memang prajurit bayaranku yang paling setia. Ya, begitu lah…sampai-sampai aku yakin kalau suatu hari kusuruh dia telanjang di gerbang kampus pun bahkan misalnya, dia pasti mau asal dibayar !. Dasar Eko…anjing penjaga terbaik kelas dunia.
“Ya, bos…kenapa emang ?, jawab Eko penuh semangat seperti tahu saja ada order dari bosnya.
“Begini Ko…gue ngga mau tahu nih ya, gimanapun caranya lu harus dapat itu nomor ponsel si Vena. Oke ?”, kusampaikan detail pekerjaan yang harus dilaksanakan Eko sembari menyerahkan dua lembar uang pecahan seratus ribu rupiah.
“Buat ente-ente yang lain…kalau ada job nanti gue kontak”, kuambil inisiatif pembicaraan sebelum kawan-kawan yang lain juga merengek minta jatah macam si Eko.
“Huuuuh…payah !”, balas kawan-kawan yang mungkin kecewa. Teriakan yang paling keras jelas hadir dari mulut si Andi. Apa yang bisa kuberikan sebagai jawaban dari semua itu hanyalah gelengan kepala.
Ponselku berdering melantunkan lagu Dj. Tiesto yang memang kugemari. Segera kutengok, rupanya ada pesan masuk :
Gw tunggu lu di rumah.
Ada sesuatu yang perlu gw omongin. Peluang kontrak main di Klub besar Jawa Barat.
Kesempatan bro
Pengirim : Mario
Tanpa banyak pikiran yang macam-macam, kukemasi barang-barang bawaanku yang berserakan di meja. Ingin segera kumelangkah atau bahkan lari sekencang-kencangnya meninggalkan kampus.
“Gue cabut duluan bro, ada perlu. Bill pasti gue bayar lah, tenang aja !”, jelasku kepada kawan-kawan sebelum berangkat.
“Ngga kuliah lu ?”, tanya Hasyim yang heran melihatku karena tiba-tiba saja menjadi sibuk tak jelas.
Sambil tergesa-gesa menyelesaikan ini-itu di cafeteria, kujawab pertanyaan Hasyim tadi, “malaaa…aaaasssss !”.
Berlari, aku terus saja berlari…ke rumah Mario, ke gerbang masa depan yang memang kuimpikan semenjak kecil ; pemain bola profesional !!!.
(Bagian II Cerita Bersambung “Samba At-taqwa”. Terselesaikan di wanayasa, tepatnya di kamarku sendiri. 24 Juli 2009).
Awan-awan yang bergerombol sore itu seakan turut berpesta merayakan kemenangan tim kami di Final Kejuaraan Sepakbola tingkat Universitas se-Kabupaten Purwakarta. Ya, Muttaqien United, tim kami, menang telak 3-0 melawan tim sepakbola Universitas Purwakarta. Skor yang jelas-jelas fantastis tentu saja. Lain kata, benar-benar di luar dugaan !.
Tak terbayangkan memang, tim sekelas Muttaqien United yang bisa dibilang “anak kemarin sore” itu bisa memenangi pertandingan dengan begitu mudah. Di final bahkan…di final !, ah !...sungguh nikmat rasanya menikmati wajah sendu mahasiwa Universitas Purwakarta yang tidak mendapat apa-apa sore itu selain rasa malu yang begitu mendalam. Skor 3-0 tampaknya memang pantas diberikan untuk mereka. Kerja keras si kuda hitam berbuah manis di hadapan pasukan Persia yang terlanjur buncit perutnya karena dimanja.
Sama sekali tak dihitung, itu barangkali gambaran kasar tentang bagaimana pandangan para pengamat dalam urusan perjalanan tim kami di kejuaraan sepakbola ini. Ya, begitu lah…menyedihkan bukan ?!. Di mana-mana tersiar kabar, Muttaqien United tidak akan pernah sanggup melangkah lebih jauh bahkan untuk sekadar lolos penyisihan. Ditambah bumbu tawa yang seakan meledek…aih, sungguh pengalaman itu terekam begitu jelas di otak kami.
Namun, hari ini kami membuktikan bahwa kami memang pantas untuk menjadi juara. Eureka !!!…hitungan-hitungan pesimis, ledekan-ledekan pahit itu kami jawab dengan prestasi. Numero uno…Muttaqien United sang juara.
Kututup catatan harianku ini dengan perasaan bahagia yang membuncah-buncah. Betapa hari yang luar biasa bersejarah untukku, demikian selintas buih perasaan yang melintas bebas di benakku. Teringat penyelamatan-penyelamatan gemilang yang kulewati di sepanjang waktu pertandingan tadi, teringat hat-trick Mario yang mengantarkannya menjadi top-scorer kejuaraan sepakbola tingkat universitas se-Kabupaten Purwakarta. Semua itu berjejal-jejal di alam rasaku… menggandengku begitu mesra ke alam mimpi. Aku tertidur…sembari tersenyum serasa dunia ini hanya milikku saja.
Gemerincik hujan di luar sana, Purwakarta begitu dingin malam ini. Dentam alunan nada musik ber-genre trance kontras terdengar di kamar ini. Paradoks sesungguhnya, karena di bagian lain petak kamar dan rumah ini justru jeritan histeris manusia-manusia yang ditindas zaman-lah yang nyaring bergemuruh meminta perhatian.
(bagian I cerita bersambung “samba at-taqwa”…terselesaikan di rumah idok – Ps. Jum’at Purwakarta)
Dia...cinta. Dia…wanita penyihir yang melempar rindu, suka, juga duka di waktu yang sama. Dia…empat tahun berlalu sedemikian cepatnya. Ya, roda masa seakan berlarian begitu riangnya, bergerak lepas tanpa beban yang berarti. Empat tahun, ya…empat tahun…bergulir dia. Empat tahun, ya…empat tahun…dan masih saja ada sejuta kenangan yang melulu kubungkus atas nama dia.
“Aida-san…”, jerit batin setengah tertekan. “Apa kabarnya ?. Masihkah ada selintas ingatan tentang diriku yang disimpannya ?. Tetap riangkah dia ?. Cantik-kah dia sebagaimana dulu kupersepsi begitu ?”, bongkahan-bongkahan cerita masa lalu datang bergerombol layaknya awan yang menghiasi angkasa. Namun hitam dia, pekat yang menandai datangnya hujan. Sama sekali tak indah tentu saja.
Purwakarta diselimuti hawa dingin yang begitu menggigit hari ini. Dari balik kaca jendela, kulihat simfoni alam yang seperti tahu saja bagaimana suasana hatiku. Tetes air yang melimpah ruah dari atas sana, oh !...apakah para penghuni langit pun merasakan getir yang tengah kurasakan ini ?.
“Kenapa, Pih ?”, suara itu memutus belenggu kebekuan yang menjeratku sedari tadi. “Papih…papih…papih !!!”, ramai celoteh anak kecil menarik sukmaku yang melayang liar kembali ke tanah kenyataan. Kubalas perhatian mereka dengan senyuman yang andai saja mereka tahu….ah !, itu dibuat-buat demi menutupi pedih perasaan yang kembali mengemuka di permukaan hatiku.
Oh…lihat mereka. Wanita berkerudung yang kunikahi beberapa tahun ke belakang, mamih…betapa cantiknya dia. “Kenapa harus aida-san ?. Kenapa harus memori lama itu lagi ?”, kembali pertanyaan demi pertanyaan muncul dibenakku. Kini, dia malah lebih mirip penyesalan alih-alih sekadar pertanyaan yang menanti sebuah jawaban. Hamzah, Ali…kedua anakku yang masih asyik menjelajahi belantara kekanakannya. Begitu lucu dan menggodanya mereka. “Ah !...tak cukupkah kehadiran mereka sebagai mutiara hidupku, sehingga masih ada ruang yang tersisa untuk aida-san ?”, terdiam saja aku dalam monolog yang kukira paling tragis.
Wanayasa, 18 Juli 2009
Fragmen awal cerita bersambung ini ditulis di wanayasa, bersama kegelapan yang seakan menjadi penanda kebenaran thesis tentang involusi negara dunia ke-tiga.
Wanayasa, 17 Juli 2009. Hitamnya malam lambat laun merayap mendekati pekat yang menandai terhentinya siklus orkestra kebisingan modernitas yang biasa bergulir dari hari ke hari. Saya tengok jam dinding yang anehnya bergelayut dalam posisi doyong, jarum waktu tepat menunjukkan pukul 23.30. Di kursi butut yang secara “azali” konon disebut “sofa”, saya torehkan sedikit saja tulisan yang pada dasarnya adalah buah dari umpatan-umpatan abstrak yang berdengung tak tentu bentuk di otak saya. Hmmmh…mungkin “lamunan” akan terasa lebih “mengena”. Lebih konkret toh ?. Selebihnya, terasa jauh lebih populis dan “punya taste” saya pikir.
Kurang mantap rasa-rasanya “bercanda” dengan lamunan bila tidak ditemani dua “kawan” saya yang paling setia ; rokok dan segelas teh manis hangat. Tak lama berselang, tanpa banyak ba bi bu, saya siapkan segalanya dan kontan mulai tenggelam dalam lamunan. So, lengkaplah sudah jadinya rupa dasar dari narasi a la kadar yang saya suguhkan di sini (Baca : lamunan secangkir teh manis hangat).
Luar biasa !, banyak ternyata fragmen-fragmen lamunan yang mengendap di alam rasa dan nalar saya. Seakan saling berkejaran dia, tak mau kalah apalagi diabaikan. Alhamdulillah gumam saya, Tuhan masih memberikan rahmat-Nya kepada saya dalam wujud “pemimpi” yang kini bercokol di dalam jati diri saya. Sontak langsung teringat saya kepada sosok Andrea Hirata dalam tetralogi Laskar Pelangi yang digubahnya, ada rasa bangga yang diam-diam meng-ada (being) di benak saya—walau sepakat dengan apa yang diungkapkan Andrea Hirata, riskan memang jadi pemimpi di negeri ini (?). Ya, bukankah mimpi itu adalah salah satu energi yang cukup potensial untuk dijadikan “bahan bakar” survivalitas manusia di tengah pergulatan hidupnya ?.
Fragmen-fragmen lamunan itu hadir dalam “wajah” yang begitu kompleks, njlimet dan—bahkan—multidimensional. Sesekali misalnya, kilas bayangan “sesuatu” yang disebut skripsi berlalu-lalang begitu saja di pikiran saya. Aneh, ada rona kekhawatiran yang turut terlibat di sana. Dalam lamunan saya, buat apa skripsi secara substansial ?. Di tengah arus komodifikasi pendidikan, apa arti skripsi itu sendiri ?. Jangan-jangan hanya sekadar “katabelece” atau “key word” untuk tenaga kerja terampil yang siap dibayar murah ?. Sedemikian dalam toh gerusan gerusan reduksionisme pendidikan oleh dorongan logika industrialisme kontemporer ?, “wajar” tampaknya bila rona kekhawatiran saya ini muncul ke permukaan. Lebih ngeri lagi, dalam lamunan saya tentunya, terpotret seringai “birokrat kampus” yang tengah berjabat tangan begitu mesra dengan para pemodal dalam terali permainan bayangan (shadow play) bertajuk “link and match”. Jelas saya khawatir benar terhadap masa depan pendidikan “kita” seperti halnya kekhawatiran akademisi amerika yang terungkap dalam buku Masa Depan Universitas Amerika.
Belum lagi tiba-tiba hadir “penampakan” adik saya, anak perempuan yang tengah gamang menghadapi kelanjutan hari-harinya. Masih bersekolah dia, kini duduk di kelas tiga SMA. Ya, gamang memang. Bagaimana tidak ?!, di antara gelombang trafficking, sweat shop, pelecehan seksual yang saat ini merajalela di negeri ini, disanalah adik saya berdiri sembari cemas menatap realitas di sekitarnya. Nyaris menangis saya, bagaimana bila Siti Hajar (salah satu TKW Indonesia yang mengalami penyiksaan ; Pen) itu adalah adik saya ?. Semakin miris lagi, setelah membaca buku Moammar Emka yang berjudul “tumpang tindih”, bagaimana pula bila Vena, Maria, Sofie (nama-nama samaran hostes, stripper serta call girl ; Pen) dan sederet nama-nama yang lainnya itu juga adik saya ?. Sekadar melamun, semoga masih ada ruang dan kesempatan bagi adik saya untuk menjadi lebih terdidik di negeri ini.
Ibarat musik ber-genre trance yang progresif dan melodic, fragmen-fragmen lamunan saya itu terus saja timbul-tenggelam silih berganti. Begitu cepat sampai-sampai “hanya” satu citra konkret saja yang dapat saya kenali. Ya, entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja sosok manusia yang selama ini saya kenali sebagai mamah dan babeh menyatakan eksistensinya di ruang lamunan saya. Ah !, tragis saya pikir. Betul !, tragis !. Dua manusia Indonesia yang “dipaksa” terus produktif di masanya yang senja, bukankah itu tragis ?!. Teringat pengalaman traveling saya beberapa waktu ke belakang, di pasar tradisional wanayasa tepatnya, saya menikmati suguhan kuliner ketan bakar plus sambal oncom yang maknyos itu dari tangan wanita renta yang seharusnya menikmati masa-masa akhir hidupnya bersama anak dan cucunya. Bertanya-tanya juga akhirnya saya, apa arti dikotomi usia produktif dan tidak produktif di negeri ini ?
Tak terasa teh manis hangat sudah habis saya seruput. Begitu juga nasib si rokok yang saya hisap, kering-kerontang tak tersisa lagi dari bungkusnya. Saya akhiri lamunan yang saya rekam di buku catatan saya. Bergegas untuk tidur, hanya itu yang ada di otak saya. Tidur untuk bermimpi, tidur untuk menuntaskan lamunan-lamunan saya. Berharap ketika esok saya bangun, Indonesia telah benar-benar berubah. Semoga saja…
Baca dan Lawan !!!
Wanayasa, 17 Juli 2009
Rumahku yang bolong-bolong, sofaku yang semakin kusam…terima kasih.
Perempuan itu masih terpaku di mesin jahitnya. Aih, lihat dia…di usianya yang semakin renta…entah…masih disimpannya untaian ke-elok-an yang begitu luar biasa. Air mukanya tenang sekali...menyiratkan arogansi yang sengaja ditengadahkannya kepada dunia yang telah membentuknya sedemikian rupa sampai hari ini. Jemarinya gemulai, meliuk-liuk perlahan senada dengan pola jahitan yang dikehendakinya. Cantik, anggun…perempuanku, kusadari itu sedari dulu.
Wanayasa masih diselimuti dingin yang menggigit pori-pori kulit malam ini. Deras hujan yang turun sejak sore tadi mengantarkan alam menemui detik-detik keheningannya. Nyaris tak ada kendaraan yang biasanya berlalu-lalang di depan rumahku. Kalaupun ada, kupikir hanya satu atau dua. Itu pun tak sering. Sungguh nuansa hening seperti inilah yang selalu kutunggu-tunggu. Ya, terus terang aku rindu dengan suasana desa ini di masa lalunya. Tanpa kebisingan yang berlebihan…hanya kesederhanaan saja yang tampak jelas di depan mata. Betul !, kesederhanaan…sebagaimana terpancar dari kesaksian rumah panggung yang dulu sempat berdiri di tanah yang kupijak sekarang ini. Kini berganti dia. Lebih tepatnya, tertunduk malu diserang tuntutan zaman yang menghendaki pergantian segala rupa ornamentasi kehidupan.
Perempuan itu masih asyik bergelayut dengan kesibukannya. Sesekali, kulihat dia melirik tepat ke arahku. Barangkali ada pertanyaan yang hendak disisipkannya melalui sorotan mata itu, tapi ah !...boleh jadi juga tidak di waktu yang sama. Apa yang bisa kulakukan hanyalah menunggu, tak lebih cuma itu saja. Sembari membaca dan meneruskan tanggungan tugas akhir kuliah yang melelahkan jiwa dan raga, kutunggu untaian kalimat yang mungkin saja keluar dari mulutnya.
“Bagaimana skripsimu nak, lancar ?”, tanyanya singkat namun penuh perasaan.
Aku yang jelas-jelas dijadikan objek pertanyaannya sontak gugup dihantam lontaran pertanyaan tersebut. Mungkin sepuluh kali atau malah lebih boleh jadi...kurasakan diriku mulai akrab dengan suasana seperti ini. Tentang skripsiku yang tak kunjung selesai, begitu-lah. Dilema memang, kukatakan itu dengan sangat jujur. Namun, tentu bukan dalam artian lemparan dalih seperti halnya sering dipertontonkan para politisi. Bukan !. Mogoknya skripsiku sampai satu tahun lamanya ini memang seringkali dinilai orang dengan pandangan risih dan tak jarang menghinakan. “Tapi toh, tahu apa mereka tentang totalitas kehidupanku ?”, sempalan monolog ini acapkali merayap di batinku. Kilas bayangan aksi demonstrasi beberapa waktu ke belakang terbentang begitu saja di alam pikiranku. Penolakan mahasiswa STIE DR. KHEZ Muttaqien terhadap penertiban sepihak Satpol PP atas Pedagang Kaki Lima yang seringkali mangkal di jalanan ibu kota, pesan seperti demikianlah yang kami propagandakan secara akrobatik di jalanan. Ah !...dilema memang.
“Akhir tahun ini selesai mak, aa janji”, kujawab pertanyaan emak tadi dengan penekanan janji yang harus lunas kubayar tanpa sisa lagi kali ini.
Tersenyum dia. Sembari mencicipi senyum manis emak itu, kulihat Asma yang seakan asyik dengan pekerjaan dadakan-nya ; menadah air hujan yang bocor ke tengah rumah. Ah !, adikku tercinta yang semakin cantik saja dari ke hari ke hari…tak kusangka senyumnya pun mengembang seperti ingin bilang “makanya cepat selesai bang kuliahnya…nanti jadi mahasiswa abadi lho”.
Tergelincir sang waktu menjemput hitam malam yang sebentar lagi berubah menjadi pekat sama sekali. Pelangi kata berputar di otakku…menagih manifestasinya ke dalam bentuk apapun itu. Ya, apapun memang…nyatanya dia tak pernah memaksaku untuk menuangkannya jadi ini atau itu. Kecuali hari ini…ketika kata-kata itu menerjangku keras dalam wajahnya yang kaku dan tak berperasaan. “Jadikan aku skripsi !...cepat !... cepat !”, teriaknya lantang yang lebih mirip ancaman alih-alih kesadaran hakiki yang berbalut tudung cinta.
***
Butiran-butiran tasbeh terus saja bergulir dari jari-jemarinya. Kalimat-kalimat suci melompat dari mulutnya. Samar, setengah berbisik ; subhanallah…alhamdulillah…allahu akbar…laa illahaillallah. Ya Robb !…mukenanya basah karena luapan air yang deras keluar dari bola matanya. Ya, dia menangis…tangisan seorang hamba yang menyayat sukma. Dirapalkannya do’a-do’a, pujian-pujian untuk-Mu ya Robb !...sembari meratap. Sungguh ratapan yang tak lain adalah ekspresi kefanaan manusia yang tidak akan pernah berpunya selain atas kehendak-Mu.
Dia…ibu. Dia…cahaya mata kami anak-anaknya yang telah dibimbingnya dari masa ke masa. Dia…wanita pejuang yang tidak akan pernah rela menunduk pada dunia. Dia…pecinta sejati yang tidak pernah berpaling dari cinta pertama dan terakhirnya ; ayah kami yang telah tiada.
Begitulah…ekspedisi detik demi detik yang berlalu di malam ini kami lewati dengan jamuan batin yang kami gelar seadanya. Bertiga,,,aku, emak dan asma berkumpul dalam majlis sederhana yang segalanya kami persembahkan untuk Allah semata. Ber-tahajjud…kami bersujud bersama di hadapan Allah di tengah kesenyapan yang menyisakan malas dan enggan bagi sebagian orang. Segala pengharapan kami lemparkan ke pangkuan-Nya…setiap inci mimpi kami labuhkan ke dermaga-Nya. Berharap...ya, berharap…Dia berkenan memeluk pengharapan-pengharapan dan mimpi-mimpi yang kami miliki.
Emak…diusapnya kepala kami berdua. Tak lama, dipeluknya kami begitu erat. “Jadilah kalian anak-anak emak yang sholeh dan sholehah. Berikhtiar dan berdo’lah selalu kepada Allah…semoga lancar segala urusan kalian”, pesan emak kepada kami sebelum menutup kesyahduan majlis yang kami rangkai bersama.
Seperti kilatan petir yang sesekali tampil menghiasi kemegahan angkasa raya, visi itu nyaris tergambar jelas di otakku. Entah…dari bola mata emak yang sempat kutatap begitu dekat, ada jendela gaib yang menghubungkan aku dengan dunia lain yang masih coba kutafsirkan apa maksudnya. Arsitektur-arsitektur nan rupawan lagi megah, sungai-sungai yang bersih dan eksotis, perpustakaan yang memanjakan para pembacanya…aku ada di sana.
Kucium tangan emak, “ do’akan aa mak, semoga lancar sidang skripsi hari ini”.
***
Dan hari ini..,dari bola mata emak yang kembali kutatap begitu dekat…kusadari apa arti dari visi yang tiba-tiba menyeruak hadir begitu saja tempo hari itu. Memang kami ada disini. Emak, asma-ku yang tercinta…lihat mereka !...senang betul rupanya mereka bermain-main dengan burung yang terbang dan berkumpul bebas di taman ini. Digenggamnya camilan untuk si burung, disebarkannya suka-suka. Sungguh mengasyikkan melihat kegembiraan mereka berdua.
Rupanya Allah menjawab setiap detail pengharapan dan mimpi kami. Sore ini, kami berkumpul di taman Sorbonne setelah usai melewati seremoni penyerahan gelar Phd yang baru saja aku raih. Negeri Perancis yang alamak cantiknya…Universitas Sorbonne yang selalu menyimpan pesona sejarah para pemikir kaliber dunia. Aku disini…bersama emak…bersama asma. Bercengkerama…menikmati siluet mentari di sore ini.
Wanayasa, 4 Agustus 2009
Tulisan ini selesai di kamarku sendiri.
Berteman jus Alpukat yang dibuat si mamah, juga beban sakit (gejala DBD) yang menghantam
fisik dan batin.
Ada alunan musik kang ferry curtis yang turut membidani lahirnya ini cerpen, “ibu” judulnya. Terima kasih untuk si akang. Salah satunya, karya ini saya dedikasikan untuk si akang yang bisa-bisanya mengingatkan dunia tentang arti ibu.
Biarkan Dia Mati ; Sekadar Perspektif Politik Sederhana Menyoal Nalar (Politik) Kader HMI Cabang Purwakarta Yang Juga Sederhana
Bahwa politik itu adalah ruang (space) yang sangat cair sebetulnya, sehingga ketika tersumbat saluran untuk berdinamisasi di dalam (inside), maka bukan berarti ekuivalen dengan ”tidak ada tempat sama sekali”. Demikian cetus politisi senior yang sempat saya temui tempo hari. Perbincangan yang sederhana saja sesungguhnya hemat saya, namun ternyata ”dalam”. Selebihnya, tak berlebihan-lah kiranya bila saya persepsi sebagai ”optimis” dan—bahkan—”inspiratif”.
Ya, begitu-lah. Lantas, saya renungkan begitu rupa celotehan politik itu. Kalkulasi-kalkulasi idea terus saja berkejaran. Nyaris kontinu, berkesinambungan seakan tak selesai-selesai. Saya terkesima, bagaimana pula logika politik yang sederhana itu bisa begitu luas pemaknaannya—baik itu di dataran konsepsi maupun interpretasi praksis-nya ?. Sekali lagi, saya katakan ”luar biasa !” ; sederhana tetapi luas dan cerdas !.
Terus, iseng-iseng, saya bawa alam pemikiran bebas yang saya singgung itu ke dunia aktual yang sedang saya jalani saat ini. Tentang mahasiswa, tentang dunia yang ”digagahinya”, tentang organisasi yang dijadikan motor realisasi dirinya, tentang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)—lebih khusus HMI Cabang Purwakarta, singkat kata demikian. Luar biasa nian pikir saya bilamana dinamika yang seperti demikian itu bisa hidup di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta. Lebih dari itu, bukan-kah luar biasa pula bila kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta—bahkan—bisa memainkan peran tersebut ?. Bayangkan saja bagaimana personalisasi kader dengan kapasitas personal seperti itu ?. Tak ragu lagi, berbekal kemampuan (skill) dan pengalaman (experience) itu, ”pantas” dan ”wajar” bila kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dimahkotai gelar (yang tentunya bukan ”anugerah” tetapi capaian perjuangan ; Pen) kualifikasi diri bertajuk ”avant garde” (sang pelopor).
Politik dan (organisasi) mahasiswa...kok ?, bisa jadi terbit pertanyaan seperti demikian. Lebih lanjut, bicara HMI kok ditarik ke pretensi politik sih ?. Pertanyaan itu juga sah-sah saja menurut saya kalau bergulir lepas dari gudang dialektika pemikiran kader-kader HMI Cabang Purwakarta. Toh nilai ”adiluhung” yang dicerap kader-kader HMI adalah seputar kritisisme, inklusifisme dan gaya berpikir open minded (berpikir terbuka), so what dengan pertanyaan se-model itu ?.
Tidak menjadi persoalan yang mendasar dan prinsipil lah !, biarkan kader memiliki platform pemikiran yang seperti demikian (barangkali sedang mencari-cari ; Pen). Justru yang membuat pelik perkara adalah ketika kader cenderung jijik dan apatis manakala bersinggungan dengan sodoran fenomena politis. Ini ngeri. Lebih dalam lagi, wah repot !, karena klimaks dari tumpukan persoalan ini adalah bertambahnya jumlah kasus ”kebutaan politik” (political literacy) Kab. Purwakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya yang nota bene merupakan anasir kontra-produktif dalam konteks demokratisasi Indonesia. Kalau sudah begini, apa arti eksistensi HMI dengan segala pernak-pernik ornamentasi nilai-nilai organisasinya di bumi Indonesia ini ?. Atas dasar itu, tanpa beban saja perasaan saya ini tatkala sesekali me-reka kreasi dalam bentuk tulisan a la kadar yang kurang lebih mempergunjingkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dalam perspektif politik.
Ada semacam geliat keingintahuan (curious) yang mengalir enteng di otak saya, tabir apa pula sebenarnya yang ”menghalangi” (dan selanjutnya bahkan diberikan point legitimasi kebenaran untuk hal tersebut ; Pen) kajian organisasi kemahasiswaan semacam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam koridor issue politik, sehingga terkadang ditimpali justifikasi etik ”tidak etis” atau—tidak menutup kemungkinan—”tabu”?. Menjawab pertanyaan tersebut, sederhana saja hemat pemikiran saya, yaitu bahwa secara fundamental tidak ada atau—boleh jadi—tidak rasional bila harus diabaikan begitu saja. Saya katakan seperti itu, karena toh se-kompleks apapun bentuk, nilai serta building capacity suatu organisasi, tetap saja persoalan politik itu bak aliran darah yang mengalir didalamnya. Pun demikian halnya dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta, tidak terlepas dari jerat problematika politik yang juga ada (exist) di keseharian sirkulasi eksistensinya. Dari sudut pandang ini, ”harus”-lah saya kira sesekali waktu ruang (space) pemberdayaan (empowerment) politik kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dibuka sampai ke proporsi yang sangat terbuka sekalipun.
Saya kaji persoalan ini—secara kasuistis—dari fenomena pengambilan kebijakan (policy)—baik yang tercermin dari manifestasi sikap serta kebijakan-kebijakan tertulis organisasi—Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta selama hampir satu semester ini (baca : di periode 2008-2009). Saya rangkum hasil penafsiran saya itu ke dalam peristilahan simbolik yang saya sebut ”biarkan dia mati” yang merefleksikan bagaimana Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sebagai ”sentrum politik” (dalam artian locus pengambilan kebijakan strategis ; Pen) relatif tidak memiliki kualifikasi political skill yang mumpuni untuk mengelola (manage) dinamika perpolitikan di wilayah kerja cabang Purwakarta. Bukan sekadar isapan jempol tentu. Sebaliknya, banyak temuan fakta (facts finding) yang saya pikir kontekstual untuk mendeskripsikan apa-apa yang saya kemukakan ini. Mulai dari katakanlah proses formalisasi kepengurusan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sedari mula yang terkesan ”menghendaki” fragmentasi politik (karena tidak terbangunnya komunikasi politik yang baik dari para agent yang ”bermain” ; Pen) alih-alih re-konsolidasi politik sampai ke kebijakan tidak populis yang mengantarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Situ Buleud terlegitimasi sebagai ”komisariat persiapan”, fenomena organisatoris seperti ini saya pikir relevan untuk ”mengkotaki” kapasitas personal para pengurus HMI Cabang Purwakarta di koridor paradigma politik ”biarkan dia mati” seperti halnya saya tegaskan sebelumnya. Tidak selesai dengan hanya itu, kondisi ini diperparah—bahkan—dengan tampilan (feature) kenyataan sosial yang secara faktual memberikan kesaksian tentang ”diamnya” (silences) elemen-elemen politik lain semisal HMI komisariat di wilayah kerja cabang Purwakarta yang seharusnya menjadi alat kontrol. Apakah ini indikator positif menguatnya paradigma politik ”biarkan dia mati” sampai ke titik hegemonisasinya ?. Dalam lain interpretasi, semapan itukah kekuasaan (authority) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta, sehingga mampu meng-atas-i secara ”mutlak” elemen-elemen politik lain diluarnya (yang ditandai dengan diamnya komisariat ; Pen) dan bisa melahirkan produk-produk politik apapun dengan begitu lengang tanggapan ?.
Saya bertanya-tanya karena keheranan, kenapa paradigma politik ”biarkan dia mati” itu bisa begitu menguat sekaligus meluas sinyalemennya di wilayah kerja cabang Purwakarta ?. Lebih heran lagi, mindset (pola pikir) politik seperti itu seakan diterima baik (well accepted) dan hampir ”membudaya” boleh jadi. Padahal sederhana, sederhana sekali. Padahal kerdil, sangat kerdil. Tapi, itu dicerap begitu saja. Ada apa dengan (kader) HMI di wilayah kerja cabang Purwakarta, sehingga model tata-kelola politik yang ”hanya” seperti demikian pun diakses untuk menghidupi dinamika politik HMI di wilayah kerja cabang Purwakarta ?, demikian pertanyaan susulan yang melintas di otak saya. Kok ”kanibalisme” eksistensi kader dilabeli merk moral ”benar” dan diperkuat dengan legitimasi politik kekuasaan HMI Cabang Purwakarta ?.
Satu hal saja yang dalam hal ini saya cermati secara serius, yaitu bahwa begitu lebar kesenjangan kekuatan (force) politik HMI Cabang Purwakarta dengan elemen-elemen politik diluarnya di wilayah kerja cabang Purwakarta. Begitu lebarnya, sehingga tidak terbangun dialog yang seimbang antara kutub dominant culture yang dimainkan oleh HMI Cabang Purwakarta dengan kutub sub-culture yang sebetulnya potensial diperankan oleh kader-kader HMI Komisariat misalnya. Akhirnya timpang, akhirnya terbangun hegemoni yang meniscayakan nihilnya energi-energi koreksi.
Maka, saya pikir pas argumentasi yang disampaikan politisi senior yang saya ceritakan di awal. Apa yang dibutuhkan hari ini adalah ”hidup”-nya lingkar sub-culture yang berdiri berani dan tegas di luar ruang dominant culture HMI Cabang Purwakarta. HMI Komisariat, sekali lagi saya ulangi, potensial untuk melakukan itu.
Persoalannya adalah tinggal kesadaran dan keberanian (encourage) kawan-kawan komisariat untuk mendemonstrasikan idea tersebut ?. Selanjutnya, tentu harus disisipi pula dengan harapan yang sama-sama ”kita” panjatkan bahwa semoga tidak ada tangan gaib (invisible hand) atau ”faktor x” yang menyebabkan goyahnya kontruksi pembelajaran politik sebagaimana saya paparkan di sini.
Akhirul kalam, saya titipkan sebuah perenungan yang mudah-mudahan mampu ditangkap essensinya oleh kawan-kawan yang hari ini berkesempatan hidup di lingkungan HMI Cabang Purwakarta. Di tahapan awal formulasi kepengurusan HMI Cabang Purwakarta, langkah-langkah yang kawan-kawan lakukan adalah suatu sikap politik dengan ”warna” yang kawan-kawan sepakati (terlepas apapun itu visi dan niatannya ; Pen). Lantas, bagaimana bila model penterjemahan itu juga diambil oleh kawan-kawan HMI Komisariat Situ Buled yang hari ini diturunkan statusnya menjadi komisariat persiapan ?. Lebih konkret lagi, bagaimana bila ”diam” dan ”beku”-nya HMI Komisariat Situ Buleud (yang memberikan celah legitimasi untuk diturunkan statusnya ; Pen) adalah juga suatu sikap politik ?. Semoga tidak ada standar ganda yang diambil untuk konteks persoalan ini.
Wallahu’alam Bisshowab...
Purwakarta, 26 Juli 2009
Itu saya menulis di Kampus STIE Muttaqien, tepatnya di Warnet Kampus
Sembari minum kopi, sembari senyum-senyum santai setelah selesai merevisi skripsi,
Sembari senang-senang karena bermain mafia wars yang belum tentu kawan-kawan bisa memainkannya
Pagi-pagi ceritanya, lari-lari begitu juga saya ceritanya. Bukan sombong bukan apa, tapi ya begitu lah…terpaksa ! (sumpah !). Gara-gara si mamih sih sebetulnya yang mengajak-ajak saya untuk ikut lari pagi yang menyebabkan saya pagi-pagi sudah lari-lari. Dasar itu si mamih…dapat wangsit katanya tadi malam. Itu dia cerita lewat SMS yang dikirimkannya pasti ke handphone saya yang tentu saja bukan handphone si mamah apalagi handphone tetangga yang galaknya minta ampun itu. Bilang saja begini dianya yang ya ampun tanpa diminta :
Pokony papih hrs ikt lari pagi ini…
lez, GPL !!!
Aih itu si mamih…pakai “GPL” segala kayak sayanya tukang batagor ajah. Pasti itu artinya “Gak Pake Lama” yang mengakibatkan harus buru-buru saya balas itu SMS. Pastilah itu si mamih tidak mau tahu urusan apa pun selain sayanya harus segera balas, sehingga terjadi kegiatan balas membalas SMS. Ok lah, saya balaslah itu SMS si mamih daripada nanti masalahnya semakin panjang, terus panjang, terus, terus, terus sampai si mamih kapok kirim SMS ke sayanya :
Iah…hayu !!!
Jadinya saya bangun pagi-pagi setengah hati. Maksudnya setengah buat si mamih, setengah buat si kasur saya yang kelihatan semakin empuk saja dari menit ke menit. Saya pun berkaca-lah di cermin setelah pakai sabun, odol dan sikat gigi yang mungkin maksudnya adalah mandi. Itu saya sedang mematut-matut muka apa adanya yang beda dua SMS saja dari si Dellon. Semua orang sudah tahu toh, jadi tidak usahlah diperdebatkan lebih jauh. Buang-buang waktu. Ok ?!.
Sudah di luar rumah. Jangan tanya siapa yang sudah di luar rumah, karena sudah pasti itu saya. Lihat banyak orang berlalu-lalang, lihat juga Si mamih yang tampaknya sedang nyengir begitu di sepeda motor yang dibawanya dari rumah. Itu juga saya, pokoknya saya lah.
Emmm…si mamih basa-basi di pagi hari. Saya tengok kanan-kiri, mungkinkah si mamih sedang ingin ikutan shooting acara termehek-mehek ?. Aneh si mamih, bikin saya kepingin tidur lagi, mimpi lagi, ketemu bidadari lagi.
Pih…udah makan ?, kata si mamih. Saya diam, manyun tepatnya. Pih, udah mandi ?, kata si mamih lagi. Saya diam lagi, manyun lagi tepatnya. Pih…ngambek ke mamih ?. Otomatis saya diam lagi dan manyun lagi lah…pasti !. Pih…berani ke mamih manyun-manyun segala gitu ?, kata si mamih yang aduhai plus seringai trio macan tutul. Hehe…ngga mih, ampuuun, kata saya yang akhirnya harus tersenyum senang daripada dijitak.
Sampailah saya dan si mamih di lokasi lari yang entah bagaimana awalnya tiba-tiba saya dan si mamih tahu saja bahwa itu lokasi namanya Situ Buled. Lari-lari jadinya, berkeringat jadinya. Terus pegal, terus linu, terus haus.
Jadinya duduk-duduk setelah lari-lari. Terus minum-minum, terus makan-makan. Pih…tadi malam mamih mimpi jadi langsing, celetuk si mamih. Saya diam manggut-manggut mencoba mendengarkan atau yang dalam istilah populer disebut ngaregepkeun !. Tidak berkata apa-apa, karena mulut saya sedang sibuk makan yang mengakibatkan tidak bisa diganggu. Serius sekali itu si mamih cerita-cerita sampai-sampai saya bingung itu si mamih apa wa kepoh sih. Badan mamih jadi mirip dian sastro pih, beneran !. Mamih jalan-jalan di catwalk, banyak orang lihat mamih, celoteh si mamih yang panjang bercerita.
Saya : Papih ikut liat ga mih ? (wkkkakwakkkak—maksudnya nanya sambil makan).
Si Mamih : Ngga ada tuh pih…kemana atuh pih kok ga ada yah ?
Saya : Euh mamih mah…
Si mamih : Hehe…
Saya :
Si mamih : yeeehhhh….
Oh…itu maksudnya. Oh…itu intinya. Oh…buat itu toh lari-lari pagi-pagi ini itu. Mau diet katanya. Biar langsing katanya. Ingin jadi kayak dian sastro katanya.
Oh…si mamih yang ingin langsing seperti dian sastro. Jahat itu wangsit yang datang malam tadi ke si mamih. Kenapa harus dian sastro ?. Jadinya si mamih kepingin diet yang menyebabkan dianya mendadak ingin terus lari-lari pagi-pagi. Jahat itu wangsit, sehingga si mamih jadi jarang makan. Terus sakit lambungnya dikarenakan maag. Jadinya ngga bisa ketemuan sama saya, jadinya saya rindu, jadinya saya khawatir.
Padahal aduh itu si mamih….saya sayang dianya apa adanya. Biar selintas menyerupai kaleng kerupuk, biar-lah saya tetap cinta. Biar imut-imut kayak bayi trenggiling, sungguh saya sayang kamu seperti itu.
Purwakarta, 20 Juni 2009
Nirwana yang telah berlalu
Mamih—telepon aku
Saya dan Kritik Buat Perpustakaan Daerah Purwakarta
Oleh : Widdy Apriandi *
Wallahu’alam Bisshowab...
* Penulis adalah Koordinator Dewan Pengarah
re[d]sistance (Reading Society and Resistance Alliance) – Purwakarta
(Jaclov Havel)
Lewat dari satu dekade sudah bangsa dan Negara Indonesia meretas jalan meraih kehidupan yang lebih baik pasca momentum people power yang populis dikenal sebagai “reformasi 1998”. Lebih kurang 11 tahun bahkan lebih tepatnya andaikata ditarik—secara relatif definitif—ruang lingkup historisitasnya ; terhitung sejak mei 1998 hingga sekarang (2009). Perubahan demi perubahan otomatis terjadi tanpa mampu terelakkan lagi dalam kurun waktu tersebut, terlepas dari apakah perubahan sebagaimana dimaksud berputar di locus struktural atau justru lebih terkonsentrasi di ranah kultural ke-Indonesia-an. Urat nadi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia seakan benar-benar “hidup”, tak lagi sekadar ada (exist) dan bergerak namun semu (absurd) eksistensinya seperti pernah mengemuka di orde kehidupan Indonesia sebelumnya. Menemukan kembali semangat (spirit) yang boleh jadi sempat sirna, setiap eksponen bangsa dan Negara Indonesia (kembali) bergejolak dinamis layaknya diterpa angin renaissance yang mencerahkan (enlightening) eropa dari abad kegelapannya. Terbit visi “baru”, kemudian komitmen-komitmen perjuangan kontemporer yang selaras dengan kehendak kolektif civitas bangsa dan Negara Indonesia ke-kini-an.
Pada area penelaahan inilah sebetulnya karya a la kadarnya ini menjejakkan kakinya di muka bumi. Bahwa kilasan puspa ragam paradoks masih tetap mewujud di seputar ruang (space) “perubahan” bangsa dan negara Indonesia, demikianlah buah kesadaran (consciousness) yang menancap di benak tim penyusun. Kegelisahan ini kemudian dijawab secara “taktis” lewat kesaksian yang dituturkan dalam karya sederhana sebagaimana kini hadir menyapa ruang pemikiran para pembaca sekalian.
Disadari betul, jelas begitu kompleks besaran “wilayah” paradoks perubahan bangsa dan negara Indonesia seperti telah disinggung sebelumnya. Analisis sektoral—pada konteks permasalahan ini—dengan demikian mau tidak mau harus diambil sebagai suatu opsi pembedahan persoalan yang paling “rasional” demi menjawab tantangan “kepentingan” yang include (terintegrasi) dalam “jati diri” karya ini. Di lain sisi, keterbatasan kapasitas serta kompetensi tim penyusun pun menjadi persoalan lain yang ternyata juga harus direspon dan disadari benar oleh tim penyusun.
Domestifikasi persoalan yang dalam hal ini lebih didorong ke issue good governance (pemerintahan yang baik) dan selanjutnya lebih dikerucutkan lagi ke persoalan pemberantasan korupsi merupakan manifestasi konkret dari upaya analisis sektoral seperti halnya telah disebutkan di atas. Sekali lagi, bukan tanpa alasan mendasar tentu saja. REAKSI (Relawan Anti Korupsi) sebagai salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam ikhtiar pemberantasan korupsi secara konsisten dan berkesinambungan (sustainable) merasa terpanggil dan—selebihnya—berkepentingan untuk menyuarakan idealismenya.
“Mengawal Good Governance ; Refleksi REAKSI dalam agenda suksesi pemerintahan tanpa korupsi” adalah simbolisasi aksi kreatif REAKSI (Relawan Anti Korupsi) dalam ikhtiar pembumian platform perjuangan pemberantasan korupsi yang diupayakannya.
Tim Penyusun
(Subcomandante Marcos)
Prolog…
Terbukalah tirai semu kehidupan kampus. Kini, tak seperti dulu lagi, saya mampu melihat jejaring kepentingan elit borjuis yang dititipkan di kampus ini. Kini, jauh dari kondisi kesadaran saya di waktu-waktu sebelumnya, saya sadari bahwa muatan pendidikan yang saya tempuh ini tak pernah sekalipun berkehendak menciptakan manusia-manusia yang bertipikal merdeka. Tidak !, tak ada itu idealisasi pendidikan untuk pembebasan. Tidak !, saya tidak dibentuk untuk menjawab tantangan itu.
Semakin larut saya dalam buku dan kekuatan kata-katanya. Di samping saya tergolek buku yang baru saja saya baca, Catatan Seorang Demonstran dan Dari Sierra Maestra Ke Havana. Mati muda...apakah saya juga akan mengalaminya ?.
Lorong Perenungan Proletariat – Purwakarta
WIDDY APRIANDI
[1] Penulis adalah Mahasiswa STIE DR. KHEZ Muttaqien – Purwakarta sekaligus Koord. Dewan Pengarah re[d]sistance (Reading Society and Resistance Alliance)