Adsense Indonesia

Samba At-taqwa (Bagian III)

19.40 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Lelah. Hanya mandi dan mandi saja yang berkelebat di alam pikiranku. Klakson mobil sengaja kubunyikan tepat di depan gerbang rumahku. Tak lama, Pak Wiji tampak dalam tampilan yang kusut masai. Ya, maklum jam 12 malam. “Gan…”, sapanya. Kujawab dengan anggukan kepala saja, dingin sekali karena mood-ku memang sedang tidak memungkinkan untuk gerakan-gerakan tebar pesona.

Mbok Mirah menatapku sesaat sewaktu aku memasuki ruangan utama rumahku yang luas dan terang-benderang. Aroma kemegahan begitu lekat dengan segala properti yang ada di sini. Jam dinding yang bertahtakan emas (konon dibeli Papih di London), Tv set yang lengkap dengan ornamentasi elektroniknya, mebel-mebel antik import mancanegara, semuanya tertata rapi dan mengumbar kesan gagah. Luar biasa kupikir kerja keras Mbok Mirah yang bertanggung jawab atas kebersihan dan kerapihan ruangan ini. Termasuk saat ini, tatapannya menyiratkan sense tanggung jawabnya terhadap majikannya.

“Belum tidur, mbok ?”, tanyaku singkat sambil mencopot sepatu.

“Sudah gan, tapi bangun tadi karena dengar suara mobil juragan. Ada yang perlu mbok siapkan, gan ?, jawabnya dalam suara yang parau.

“Hmm…ngga, mbok. Terima kasih. Tapi, ngomong-ngomong…Papih dan Mamih belum pulang mbok ?”, sekadar mengomentari ucapan Mbok Mirah, kutanyakan pula kabar Mamih dan Papih kalau kebetulan mereka sempat menitipkan kabar. Sudah hampir satu minggu ini Papih dan Mamih sibuk dengan pekerjaannya masing-masing. Papih dan Chicago sudah bukan hal yang aneh lagi buatku. Bisnis garmen yang dijalankannya memang selalu menuntutnya untuk begitu. Termasuk juga kehendak kerasnya untuk menyekolahkanku ke negeri paman sam sana, bukan sekali dua kali dipaparkannya dengan begitu panjang lebar sampai akhirnya lelah sendiri karena aku toh lebih ingin melanjutkan pendidikan di sini. Tak jauh berbeda seperti Papih, Mamih adalah sosok wanita pekerja keras yang kadang-kadang kunilai hampir mirip Margaret Thatcher. Keras, namun tetap elok menjaga dimensi keperempuannya. Politisi perempuan, begitu tepatnya. Sebagai bagian dari lingkaran elit parlemen nasional, entah...terkadang kurasakan dirinya dililit oleh pekerjaannya sendiri.

Mbok mirah membalas pertanyaanku tadi dengan bahasa tubuhnya yang lugu dan sederhana, menggelengkan kepala yang kupersepsi sebagai simbol “belum”. “Ah...kembali sendirian si anak semata wayang ini dan memainkan peran pangeran tampan yang kesepian. Sssh…cerita lama !”, monolog ini lantas mengemuka di batinku. Ngeloyor tanpa permisi, kuteruskan langkahku.

Sampai di ruangan kamarku, segera kuambil handuk dan menyegerakan mandi demi membalas lengket keringat dan kepenatan yang kurasakan seharian tadi. Ah, di bath tub ini kumanjakan diriku dengan sengaja berlama-lama berendam di air yang hangat-hangat kuku. Sampai tuntas, sampai seluruh badan terasa segar.

Alunan nada mellow nan cantik yang keluar dari saxophone Kenny G mengiringi aku yang sedang merapikan diri selepas mandi. Dalam balutan busana piyama high class yang kini kusandang, kusempatkan mematut-mamut diri sebentar di cermin. Betapa kulihat wajah Mamih dan Papih di sana. Sungguh aku rindu mereka.

Kuraih laptop yang tersimpan rapi di tas, kembali kutulis catatan harian yang kupikir itu keren dan universal alih-alih mutlak hak monopoli perempuan saja dalam tradisi ber-diary-nya :

Dan begitulah waktu berlalu...tiba-tiba aku tepat berdiri di gerbang impian yang memang selalu terbayang di otakku semenjak kecil ; pemain sepak bola profesional. Betapa bahagianya…sampai-sampai aku dan Mario tak mampu menguraikan itu dalam bentuk kata-kata. Hmmmm...bangga-kah mamih dan papih dengan capaianku ini ?. Oh…atau jangan-jangan mereka lebih ingin melihatku dalam rupa “Aldo” di dunia yang mereka karang ?. Bagaimanapun…ah !... sungguh aku rindu mamih dan papih. Bagaimanapun...begitu kuat hasratku untuk mengumumkan berita gembira ini langsung dihadapan mereka. Ya, paling tidak toh aku sudah berbuat sesuatu untuk mereka…mencoba membuat mereka bahagia dengan apa yang bisa kulakukan, jujur, bukan basa-basi.

Setahap lagi…dan aku yakin semua itu bisa kulewati !. Visi itu terang tergambar di mataku. Ya, tahapan seleksi yang nanti akan kuhadapi dapat kulewati dengan mudah semudah final kejuaraan sepak bola kemarin. Aku, Mario akan lolos dan melenggang santai ke dunia baru ; sepak bola profesional. Itu pasti !. Berbekal keyakinan dan potensi yang kami miliki...tahapan seleksi itu tidak lain hanya sebatas formalitas yang harus kami jalani sebagai bintang lapangan yang nantinya akan selalu dekat dengan decak kagum para supporter. Ya, kami akan terus melenggang...terus, terus, meninggi sampai ke Senayan sebagai pemain tim nasional Indonesia. Indonesia akan mencatat sejarah kami sebagai pemain sepak bola muda yang penuh talenta dan mampu memberikan prestasi untuk negerinya.

Label:

Samba At-taqwa (Bagian II)

19.37 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Segalanya jelas begitu berbeda semenjak momentum bersejarah yang menyatakan Muttaqien United sebagai jawara. Aku dan Mario sontak menjadi public figure yang tak henti-hentinya dielu-elukan sebagai pahlawan di kampus. Siapa tak kenal aku si “wakabayashi” yang hanya kebobolan lima gol selama kejuaraan ?. Kemudian, siapa juga yang tak kenal bomber maut Muttaqien United yang bernama Mario ?. Kalaupun ada yang tidak kenal, rasa-rasanya itu karena memang mereka tidak banyak bergaul saja. Selebihnya, boleh jadi karena mereka terlalu serius meladeni rutinitas perkuliahan yang mengakibatkan mereka terpinggirkan dari kenyataan. “Ironis, bukan ?!”, selalu kalimat itu yang kulemparkan ke muka kawan-kawan yang kebetulan turut nebeng makan gratis di cafeteria kampus.

Kuparkir Honda Jazz hitam metalik yang biasa kubawa setiap hari di parkiran kampus. Sebagaimana pemandangan umum dari hari ke hari, suasana kampus riuh dipadati banyak mahasiswa-mahasiswi yang lalu lalang. Sesekali, kutangkap wajah-wajah sendu kawan-kawan sekampus yang mungkin sedang terbebani tugas kuliah yang begitu menumpuk. “ahhh !...teori !!!, tugas-tugas melulu macam buruh saja!”, celetukan jahil itu tak sempat menemui bentuk lisannya. Sejujurnya, justru hanya menjadi angin lalu yang bergemuruh di hatiku. Sungguh potret kehidupan kampus yang sangat tidak menarik ; kuliah, tugas, kuliah, tugas.

Apa yang justru exciting menurutku adalah kongkow gaul di cafeteria kampus, pasti !. Ngobrol bebas, listing cewek cantik yang ada di kampus bersama kawan-kawan…ah !, sungguh itulah sesuatu yang membuatku betah berada di kampus. Belum lagi bila ditambah celotehan si Mario yang ngocol berat, semakin kerasan saja aku berlama-lama menghabiskan waktu di sini. Terkadang aku mengkhayal, bila saja hiruk-pikuk perkuliahan di kelas sama sebanding dengan apa yang biasa kutemui di cafeteria, jelas tak ada kewajiban semester pendek yang sepertinya emoh untuk menyingkir dari diriku walau untuk satu semester saja. Termasuk juga hari ini di waktu aku duduk sendirian di meja favorit yang biasa ramai diisi kawan-kawan, lamunan itu tetap ada. Andai…ya, andai…pasti segala sesuatunya akan terasa lebih mudah dan menyenangkan. Tak terasa satu gelas jus alpukat bersama camilan kentang goreng sudah habis kunikmati. Menatap sekitar, kunanti kehadiran manusia-manusia ajaib yang seharusnya sudah ada disini sedari tadi.

“Hallo…oooo, Aldo ?”, sapaan itu hadir dari perempuan yang berjalan anggun tepat di hadapanku. Langkahnya pelan sekali seperti kilas slow-motion di film the matrix yang kutonton tempo hari. Begitu mempesona, atmosfer Cleopatra mutlak digenggamnya.
Sungguh mengejutkan tentu saja. Detak jantungku berdegup begitu kencang. Waktu seperti terhenti di detik-detik kehadirannya. Terhisap malah boleh jadi oleh kecantikannya, sehingga malu untuk berputar. “Hai…”, kubalas sapaannya sembari menawarinya untuk duduk semeja. Hanya senyum yang dia berikan, tanda penolakan halus untuk tawaran yang kulemparkan.

Namun, entah…tiba-tiba cafeteria ini menjadi sangat cemerlang, gemerlap, berbunga-bunga. Setelah senyum penuh makna itu…gerakan tangan yang dibentuk mirip telephone dari si perempuan dialamatkannya untukku. Dia pun berlalu santai seperti tak ada beban tanggung jawab apa-apa untuk aksi yang telah ditunjukkannya kepadaku. Aku yang jelas-jelas ditelantarkannya hanya bisa tersenyum simpul sendirian. Bahagia…bahagia sekali. Vena si bintang kampus, perempuan yang selalu terbayang di benak seluruh mahasiswa di sini…dia…dia…menegaskan sinyal pendekatan yang jelas harus segera kurespon (hanya orang gila saja kupikir yang rela melepaskan kesempatan ini).

Kebahagiaan sesaat itu pun pecah oleh teriakan gerombolan genderuwo yang memang sudah kutunggu kedatangannya sejak tadi, “Woi…sob…woi…Aldo !”. Putaran waktu yang sepertinya terhenti di detik-detik kemunculan si Cleopatra beranjak ke keadaan yang seperti biasanya lagi. Ah !, bergerak menjemukan. Bunga-bunga yang sebelumnya kulihat bertebaran di sana-sini…aih, aneh… berganti dia sedemikian cepat menjadi tampilan wardrobe film daun di atas bantal yang masih kusimpan potongan-potongan klipnya di memori otakku. Berubah…ah !...betapa malasnya kembali memijakkan sukma di tanah keras kehidupan. Vena…vena…sensasi itu makin meredup dan kemudian sirna sama sekali.

“Heh…bengong aja lu sob ?”, tepukan ringan Eko di pundakku memaksaku untuk yakin bahwa aku memang sedang berada di tengah pusaran realitas yang minus eksistensi Cleopatra si Heart Breaker.

“Iya nih…siang bolong gini masih mimpi aja lu ah. Bangun !...Bangun !”, suara lantang khas orang seberang yang dimiliki oleh kawanku yang bernama Andi ini kontan membuat meriah suasana karena diamini oleh kawan-kawan yang lain ; Ridwan, Marco, Putu dan Hasyim.

“yeeh…sirik aja lu mah…udah sana pesen makanan !”, tegasku pada gerombolan genderuwo yang sudah kuketahui pasti tabiatnya bila sudah berkumpul satu meja denganku.
“Okeee…siap, bos !!!”, suara itu serempak mengudara bak koor penyanyi latar. Maka, karnaval bunyi-bunyian sendok, garpu yang dipadu dengan harmoni gelas dan piring pun tak dapat dihindari di menit-menit selanjutnya. Betapa senangnya melihat wajah kawan-kawanku yang sedang ber-lunch ria dalam pose free style atau mungkin kesurupan.

Ramainya suara yang hadir dari perbincangan, gelak tawaku dan kawan-kawan di meja cafeteria ini hampir-hampir terasa mencolok seperti tengah show off saja di mata mahasiswa-mahasiswi lain yang kebetulan juga sama-sama lapar atau sekadar ingin melepaskan kepenatannya. Ditambah ornamentasi blink-blink yang selalu setia menemaniku, mulai dari ponsel blueberry, I-pod sampai ke laptop…kusadari betul bahwa wajar saja bila ada kesan seperti itu yang mungkin saja terbersit di benak orang-orang yang ada di sekitarku. “Terserah lah apa kata mereka, toh memang begini lah adanya aku”, quote pribadi inilah yang selalu kupegang teguh selayaknya prinsip hidup yang kuyakini.

“Ko…lu temen sekelas si Vena kan ya ?”, tegasku singkat saja kepada Eko yang memang prajurit bayaranku yang paling setia. Ya, begitu lah…sampai-sampai aku yakin kalau suatu hari kusuruh dia telanjang di gerbang kampus pun bahkan misalnya, dia pasti mau asal dibayar !. Dasar Eko…anjing penjaga terbaik kelas dunia.

“Ya, bos…kenapa emang ?, jawab Eko penuh semangat seperti tahu saja ada order dari bosnya.

“Begini Ko…gue ngga mau tahu nih ya, gimanapun caranya lu harus dapat itu nomor ponsel si Vena. Oke ?”, kusampaikan detail pekerjaan yang harus dilaksanakan Eko sembari menyerahkan dua lembar uang pecahan seratus ribu rupiah.

“Buat ente-ente yang lain…kalau ada job nanti gue kontak”, kuambil inisiatif pembicaraan sebelum kawan-kawan yang lain juga merengek minta jatah macam si Eko.
“Huuuuh…payah !”, balas kawan-kawan yang mungkin kecewa. Teriakan yang paling keras jelas hadir dari mulut si Andi. Apa yang bisa kuberikan sebagai jawaban dari semua itu hanyalah gelengan kepala.

Ponselku berdering melantunkan lagu Dj. Tiesto yang memang kugemari. Segera kutengok, rupanya ada pesan masuk :

Gw tunggu lu di rumah.
Ada sesuatu yang perlu gw omongin. Peluang kontrak main di Klub besar Jawa Barat.
Kesempatan bro

Pengirim : Mario

Tanpa banyak pikiran yang macam-macam, kukemasi barang-barang bawaanku yang berserakan di meja. Ingin segera kumelangkah atau bahkan lari sekencang-kencangnya meninggalkan kampus.

“Gue cabut duluan bro, ada perlu. Bill pasti gue bayar lah, tenang aja !”, jelasku kepada kawan-kawan sebelum berangkat.
“Ngga kuliah lu ?”, tanya Hasyim yang heran melihatku karena tiba-tiba saja menjadi sibuk tak jelas.

Sambil tergesa-gesa menyelesaikan ini-itu di cafeteria, kujawab pertanyaan Hasyim tadi, “malaaa…aaaasssss !”.

Berlari, aku terus saja berlari…ke rumah Mario, ke gerbang masa depan yang memang kuimpikan semenjak kecil ; pemain bola profesional !!!.


(Bagian II Cerita Bersambung “Samba At-taqwa”. Terselesaikan di wanayasa, tepatnya di kamarku sendiri. 24 Juli 2009).

Label:

Samba At-taqwa (Bagian I)

19.35 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Awan-awan yang bergerombol sore itu seakan turut berpesta merayakan kemenangan tim kami di Final Kejuaraan Sepakbola tingkat Universitas se-Kabupaten Purwakarta. Ya, Muttaqien United, tim kami, menang telak 3-0 melawan tim sepakbola Universitas Purwakarta. Skor yang jelas-jelas fantastis tentu saja. Lain kata, benar-benar di luar dugaan !.

Tak terbayangkan memang, tim sekelas Muttaqien United yang bisa dibilang “anak kemarin sore” itu bisa memenangi pertandingan dengan begitu mudah. Di final bahkan…di final !, ah !...sungguh nikmat rasanya menikmati wajah sendu mahasiwa Universitas Purwakarta yang tidak mendapat apa-apa sore itu selain rasa malu yang begitu mendalam. Skor 3-0 tampaknya memang pantas diberikan untuk mereka. Kerja keras si kuda hitam berbuah manis di hadapan pasukan Persia yang terlanjur buncit perutnya karena dimanja.

Sama sekali tak dihitung, itu barangkali gambaran kasar tentang bagaimana pandangan para pengamat dalam urusan perjalanan tim kami di kejuaraan sepakbola ini. Ya, begitu lah…menyedihkan bukan ?!. Di mana-mana tersiar kabar, Muttaqien United tidak akan pernah sanggup melangkah lebih jauh bahkan untuk sekadar lolos penyisihan. Ditambah bumbu tawa yang seakan meledek…aih, sungguh pengalaman itu terekam begitu jelas di otak kami.

Namun, hari ini kami membuktikan bahwa kami memang pantas untuk menjadi juara. Eureka !!!…hitungan-hitungan pesimis, ledekan-ledekan pahit itu kami jawab dengan prestasi. Numero uno…Muttaqien United sang juara.

Kututup catatan harianku ini dengan perasaan bahagia yang membuncah-buncah. Betapa hari yang luar biasa bersejarah untukku, demikian selintas buih perasaan yang melintas bebas di benakku. Teringat penyelamatan-penyelamatan gemilang yang kulewati di sepanjang waktu pertandingan tadi, teringat hat-trick Mario yang mengantarkannya menjadi top-scorer kejuaraan sepakbola tingkat universitas se-Kabupaten Purwakarta. Semua itu berjejal-jejal di alam rasaku… menggandengku begitu mesra ke alam mimpi. Aku tertidur…sembari tersenyum serasa dunia ini hanya milikku saja.

Gemerincik hujan di luar sana, Purwakarta begitu dingin malam ini. Dentam alunan nada musik ber-genre trance kontras terdengar di kamar ini. Paradoks sesungguhnya, karena di bagian lain petak kamar dan rumah ini justru jeritan histeris manusia-manusia yang ditindas zaman-lah yang nyaring bergemuruh meminta perhatian.


(bagian I cerita bersambung “samba at-taqwa”…terselesaikan di rumah idok – Ps. Jum’at Purwakarta)

Label:

A Minor Untuk Aida

19.32 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Dia...cinta. Dia…wanita penyihir yang melempar rindu, suka, juga duka di waktu yang sama. Dia…empat tahun berlalu sedemikian cepatnya. Ya, roda masa seakan berlarian begitu riangnya, bergerak lepas tanpa beban yang berarti. Empat tahun, ya…empat tahun…bergulir dia. Empat tahun, ya…empat tahun…dan masih saja ada sejuta kenangan yang melulu kubungkus atas nama dia.

“Aida-san…”, jerit batin setengah tertekan. “Apa kabarnya ?. Masihkah ada selintas ingatan tentang diriku yang disimpannya ?. Tetap riangkah dia ?. Cantik-kah dia sebagaimana dulu kupersepsi begitu ?”, bongkahan-bongkahan cerita masa lalu datang bergerombol layaknya awan yang menghiasi angkasa. Namun hitam dia, pekat yang menandai datangnya hujan. Sama sekali tak indah tentu saja.

Purwakarta diselimuti hawa dingin yang begitu menggigit hari ini. Dari balik kaca jendela, kulihat simfoni alam yang seperti tahu saja bagaimana suasana hatiku. Tetes air yang melimpah ruah dari atas sana, oh !...apakah para penghuni langit pun merasakan getir yang tengah kurasakan ini ?.

“Kenapa, Pih ?”, suara itu memutus belenggu kebekuan yang menjeratku sedari tadi. “Papih…papih…papih !!!”, ramai celoteh anak kecil menarik sukmaku yang melayang liar kembali ke tanah kenyataan. Kubalas perhatian mereka dengan senyuman yang andai saja mereka tahu….ah !, itu dibuat-buat demi menutupi pedih perasaan yang kembali mengemuka di permukaan hatiku.

Oh…lihat mereka. Wanita berkerudung yang kunikahi beberapa tahun ke belakang, mamih…betapa cantiknya dia. “Kenapa harus aida-san ?. Kenapa harus memori lama itu lagi ?”, kembali pertanyaan demi pertanyaan muncul dibenakku. Kini, dia malah lebih mirip penyesalan alih-alih sekadar pertanyaan yang menanti sebuah jawaban. Hamzah, Ali…kedua anakku yang masih asyik menjelajahi belantara kekanakannya. Begitu lucu dan menggodanya mereka. “Ah !...tak cukupkah kehadiran mereka sebagai mutiara hidupku, sehingga masih ada ruang yang tersisa untuk aida-san ?”, terdiam saja aku dalam monolog yang kukira paling tragis.


Wanayasa, 18 Juli 2009
Fragmen awal cerita bersambung ini ditulis di wanayasa, bersama kegelapan yang seakan menjadi penanda kebenaran thesis tentang involusi negara dunia ke-tiga.

Label:

Lamunan Secangkir Teh Manis Hangat

19.29 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Wanayasa, 17 Juli 2009. Hitamnya malam lambat laun merayap mendekati pekat yang menandai terhentinya siklus orkestra kebisingan modernitas yang biasa bergulir dari hari ke hari. Saya tengok jam dinding yang anehnya bergelayut dalam posisi doyong, jarum waktu tepat menunjukkan pukul 23.30. Di kursi butut yang secara “azali” konon disebut “sofa”, saya torehkan sedikit saja tulisan yang pada dasarnya adalah buah dari umpatan-umpatan abstrak yang berdengung tak tentu bentuk di otak saya. Hmmmh…mungkin “lamunan” akan terasa lebih “mengena”. Lebih konkret toh ?. Selebihnya, terasa jauh lebih populis dan “punya taste” saya pikir.

Kurang mantap rasa-rasanya “bercanda” dengan lamunan bila tidak ditemani dua “kawan” saya yang paling setia ; rokok dan segelas teh manis hangat. Tak lama berselang, tanpa banyak ba bi bu, saya siapkan segalanya dan kontan mulai tenggelam dalam lamunan. So, lengkaplah sudah jadinya rupa dasar dari narasi a la kadar yang saya suguhkan di sini (Baca : lamunan secangkir teh manis hangat).

Luar biasa !, banyak ternyata fragmen-fragmen lamunan yang mengendap di alam rasa dan nalar saya. Seakan saling berkejaran dia, tak mau kalah apalagi diabaikan. Alhamdulillah gumam saya, Tuhan masih memberikan rahmat-Nya kepada saya dalam wujud “pemimpi” yang kini bercokol di dalam jati diri saya. Sontak langsung teringat saya kepada sosok Andrea Hirata dalam tetralogi Laskar Pelangi yang digubahnya, ada rasa bangga yang diam-diam meng-ada (being) di benak saya—walau sepakat dengan apa yang diungkapkan Andrea Hirata, riskan memang jadi pemimpi di negeri ini (?). Ya, bukankah mimpi itu adalah salah satu energi yang cukup potensial untuk dijadikan “bahan bakar” survivalitas manusia di tengah pergulatan hidupnya ?.

Fragmen-fragmen lamunan itu hadir dalam “wajah” yang begitu kompleks, njlimet dan—bahkan—multidimensional. Sesekali misalnya, kilas bayangan “sesuatu” yang disebut skripsi berlalu-lalang begitu saja di pikiran saya. Aneh, ada rona kekhawatiran yang turut terlibat di sana. Dalam lamunan saya, buat apa skripsi secara substansial ?. Di tengah arus komodifikasi pendidikan, apa arti skripsi itu sendiri ?. Jangan-jangan hanya sekadar “katabelece” atau “key word” untuk tenaga kerja terampil yang siap dibayar murah ?. Sedemikian dalam toh gerusan gerusan reduksionisme pendidikan oleh dorongan logika industrialisme kontemporer ?, “wajar” tampaknya bila rona kekhawatiran saya ini muncul ke permukaan. Lebih ngeri lagi, dalam lamunan saya tentunya, terpotret seringai “birokrat kampus” yang tengah berjabat tangan begitu mesra dengan para pemodal dalam terali permainan bayangan (shadow play) bertajuk “link and match”. Jelas saya khawatir benar terhadap masa depan pendidikan “kita” seperti halnya kekhawatiran akademisi amerika yang terungkap dalam buku Masa Depan Universitas Amerika.

Belum lagi tiba-tiba hadir “penampakan” adik saya, anak perempuan yang tengah gamang menghadapi kelanjutan hari-harinya. Masih bersekolah dia, kini duduk di kelas tiga SMA. Ya, gamang memang. Bagaimana tidak ?!, di antara gelombang trafficking, sweat shop, pelecehan seksual yang saat ini merajalela di negeri ini, disanalah adik saya berdiri sembari cemas menatap realitas di sekitarnya. Nyaris menangis saya, bagaimana bila Siti Hajar (salah satu TKW Indonesia yang mengalami penyiksaan ; Pen) itu adalah adik saya ?. Semakin miris lagi, setelah membaca buku Moammar Emka yang berjudul “tumpang tindih”, bagaimana pula bila Vena, Maria, Sofie (nama-nama samaran hostes, stripper serta call girl ; Pen) dan sederet nama-nama yang lainnya itu juga adik saya ?. Sekadar melamun, semoga masih ada ruang dan kesempatan bagi adik saya untuk menjadi lebih terdidik di negeri ini.

Ibarat musik ber-genre trance yang progresif dan melodic, fragmen-fragmen lamunan saya itu terus saja timbul-tenggelam silih berganti. Begitu cepat sampai-sampai “hanya” satu citra konkret saja yang dapat saya kenali. Ya, entah bagaimana awalnya, tiba-tiba saja sosok manusia yang selama ini saya kenali sebagai mamah dan babeh menyatakan eksistensinya di ruang lamunan saya. Ah !, tragis saya pikir. Betul !, tragis !. Dua manusia Indonesia yang “dipaksa” terus produktif di masanya yang senja, bukankah itu tragis ?!. Teringat pengalaman traveling saya beberapa waktu ke belakang, di pasar tradisional wanayasa tepatnya, saya menikmati suguhan kuliner ketan bakar plus sambal oncom yang maknyos itu dari tangan wanita renta yang seharusnya menikmati masa-masa akhir hidupnya bersama anak dan cucunya. Bertanya-tanya juga akhirnya saya, apa arti dikotomi usia produktif dan tidak produktif di negeri ini ?

Tak terasa teh manis hangat sudah habis saya seruput. Begitu juga nasib si rokok yang saya hisap, kering-kerontang tak tersisa lagi dari bungkusnya. Saya akhiri lamunan yang saya rekam di buku catatan saya. Bergegas untuk tidur, hanya itu yang ada di otak saya. Tidur untuk bermimpi, tidur untuk menuntaskan lamunan-lamunan saya. Berharap ketika esok saya bangun, Indonesia telah benar-benar berubah. Semoga saja…
Baca dan Lawan !!!

Wanayasa, 17 Juli 2009
Rumahku yang bolong-bolong, sofaku yang semakin kusam…terima kasih.

Label:

Siluet Mentari Di Sorbonne Sore Itu

19.19 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (1)

Perempuan itu masih terpaku di mesin jahitnya. Aih, lihat dia…di usianya yang semakin renta…entah…masih disimpannya untaian ke-elok-an yang begitu luar biasa. Air mukanya tenang sekali...menyiratkan arogansi yang sengaja ditengadahkannya kepada dunia yang telah membentuknya sedemikian rupa sampai hari ini. Jemarinya gemulai, meliuk-liuk perlahan senada dengan pola jahitan yang dikehendakinya. Cantik, anggun…perempuanku, kusadari itu sedari dulu.

Wanayasa masih diselimuti dingin yang menggigit pori-pori kulit malam ini. Deras hujan yang turun sejak sore tadi mengantarkan alam menemui detik-detik keheningannya. Nyaris tak ada kendaraan yang biasanya berlalu-lalang di depan rumahku. Kalaupun ada, kupikir hanya satu atau dua. Itu pun tak sering. Sungguh nuansa hening seperti inilah yang selalu kutunggu-tunggu. Ya, terus terang aku rindu dengan suasana desa ini di masa lalunya. Tanpa kebisingan yang berlebihan…hanya kesederhanaan saja yang tampak jelas di depan mata. Betul !, kesederhanaan…sebagaimana terpancar dari kesaksian rumah panggung yang dulu sempat berdiri di tanah yang kupijak sekarang ini. Kini berganti dia. Lebih tepatnya, tertunduk malu diserang tuntutan zaman yang menghendaki pergantian segala rupa ornamentasi kehidupan.

Perempuan itu masih asyik bergelayut dengan kesibukannya. Sesekali, kulihat dia melirik tepat ke arahku. Barangkali ada pertanyaan yang hendak disisipkannya melalui sorotan mata itu, tapi ah !...boleh jadi juga tidak di waktu yang sama. Apa yang bisa kulakukan hanyalah menunggu, tak lebih cuma itu saja. Sembari membaca dan meneruskan tanggungan tugas akhir kuliah yang melelahkan jiwa dan raga, kutunggu untaian kalimat yang mungkin saja keluar dari mulutnya.

Bagaimana skripsimu nak, lancar ?”, tanyanya singkat namun penuh perasaan.

Aku yang jelas-jelas dijadikan objek pertanyaannya sontak gugup dihantam lontaran pertanyaan tersebut. Mungkin sepuluh kali atau malah lebih boleh jadi...kurasakan diriku mulai akrab dengan suasana seperti ini. Tentang skripsiku yang tak kunjung selesai, begitu-lah. Dilema memang, kukatakan itu dengan sangat jujur. Namun, tentu bukan dalam artian lemparan dalih seperti halnya sering dipertontonkan para politisi. Bukan !. Mogoknya skripsiku sampai satu tahun lamanya ini memang seringkali dinilai orang dengan pandangan risih dan tak jarang menghinakan. “Tapi toh, tahu apa mereka tentang totalitas kehidupanku ?”, sempalan monolog ini acapkali merayap di batinku. Kilas bayangan aksi demonstrasi beberapa waktu ke belakang terbentang begitu saja di alam pikiranku. Penolakan mahasiswa STIE DR. KHEZ Muttaqien terhadap penertiban sepihak Satpol PP atas Pedagang Kaki Lima yang seringkali mangkal di jalanan ibu kota, pesan seperti demikianlah yang kami propagandakan secara akrobatik di jalanan. Ah !...dilema memang.

Akhir tahun ini selesai mak, aa janji”, kujawab pertanyaan emak tadi dengan penekanan janji yang harus lunas kubayar tanpa sisa lagi kali ini.

Tersenyum dia. Sembari mencicipi senyum manis emak itu, kulihat Asma yang seakan asyik dengan pekerjaan dadakan-nya ; menadah air hujan yang bocor ke tengah rumah. Ah !, adikku tercinta yang semakin cantik saja dari ke hari ke hari…tak kusangka senyumnya pun mengembang seperti ingin bilang “makanya cepat selesai bang kuliahnya…nanti jadi mahasiswa abadi lho”.

Tergelincir sang waktu menjemput hitam malam yang sebentar lagi berubah menjadi pekat sama sekali. Pelangi kata berputar di otakku…menagih manifestasinya ke dalam bentuk apapun itu. Ya, apapun memang…nyatanya dia tak pernah memaksaku untuk menuangkannya jadi ini atau itu. Kecuali hari ini…ketika kata-kata itu menerjangku keras dalam wajahnya yang kaku dan tak berperasaan. “Jadikan aku skripsi !...cepat !... cepat !”, teriaknya lantang yang lebih mirip ancaman alih-alih kesadaran hakiki yang berbalut tudung cinta.

***

Butiran-butiran tasbeh terus saja bergulir dari jari-jemarinya. Kalimat-kalimat suci melompat dari mulutnya. Samar, setengah berbisik ; subhanallah…alhamdulillah…allahu akbar…laa illahaillallah. Ya Robb !…mukenanya basah karena luapan air yang deras keluar dari bola matanya. Ya, dia menangis…tangisan seorang hamba yang menyayat sukma. Dirapalkannya do’a-do’a, pujian-pujian untuk-Mu ya Robb !...sembari meratap. Sungguh ratapan yang tak lain adalah ekspresi kefanaan manusia yang tidak akan pernah berpunya selain atas kehendak-Mu.

Dia…ibu. Dia…cahaya mata kami anak-anaknya yang telah dibimbingnya dari masa ke masa. Dia…wanita pejuang yang tidak akan pernah rela menunduk pada dunia. Dia…pecinta sejati yang tidak pernah berpaling dari cinta pertama dan terakhirnya ; ayah kami yang telah tiada.

Begitulah…ekspedisi detik demi detik yang berlalu di malam ini kami lewati dengan jamuan batin yang kami gelar seadanya. Bertiga,,,aku, emak dan asma berkumpul dalam majlis sederhana yang segalanya kami persembahkan untuk Allah semata. Ber-tahajjud…kami bersujud bersama di hadapan Allah di tengah kesenyapan yang menyisakan malas dan enggan bagi sebagian orang. Segala pengharapan kami lemparkan ke pangkuan-Nya…setiap inci mimpi kami labuhkan ke dermaga-Nya. Berharap...ya, berharap…Dia berkenan memeluk pengharapan-pengharapan dan mimpi-mimpi yang kami miliki.

Emak…diusapnya kepala kami berdua. Tak lama, dipeluknya kami begitu erat. “Jadilah kalian anak-anak emak yang sholeh dan sholehah. Berikhtiar dan berdo’lah selalu kepada Allah…semoga lancar segala urusan kalian”, pesan emak kepada kami sebelum menutup kesyahduan majlis yang kami rangkai bersama.

Seperti kilatan petir yang sesekali tampil menghiasi kemegahan angkasa raya, visi itu nyaris tergambar jelas di otakku. Entah…dari bola mata emak yang sempat kutatap begitu dekat, ada jendela gaib yang menghubungkan aku dengan dunia lain yang masih coba kutafsirkan apa maksudnya. Arsitektur-arsitektur nan rupawan lagi megah, sungai-sungai yang bersih dan eksotis, perpustakaan yang memanjakan para pembacanya…aku ada di sana.

Kucium tangan emak, “ do’akan aa mak, semoga lancar sidang skripsi hari ini”.

***

Lepas dari kepenatan skripsi yang menggoncangkan fisik dan batin, kini segalanya serba berbeda. Ya, tanpa terasa enam tahun telah berlalu. Begitu cepatnya, sehingga makin kuinsyafi kenapa Allah merahmati manusia dengan ayat-Nya yang diawali dengan kalimat “demi masa”. Masih kuingat bagaimana haru dan bangganya suasana wisuda yang kulewati ketika ayunan langkahku ke altar suci akademisi diiringi dengan lengkingan suara “cum laude”. Betapa hari yang indah dan akan selalu tersimpan di memori nalarku !. Kerja keras yang kucurahkan untuk tugas akhir perkuliahanku terbalas tuntas dengan ending yang melegakan. Tak henti-henti rasa syukur kuucapkan untuk-Nya ; alhamdulillah.

Dan hari ini..,dari bola mata emak yang kembali kutatap begitu dekat…kusadari apa arti dari visi yang tiba-tiba menyeruak hadir begitu saja tempo hari itu. Memang kami ada disini. Emak, asma-ku yang tercinta…lihat mereka !...senang betul rupanya mereka bermain-main dengan burung yang terbang dan berkumpul bebas di taman ini. Digenggamnya camilan untuk si burung, disebarkannya suka-suka. Sungguh mengasyikkan melihat kegembiraan mereka berdua.

Rupanya Allah menjawab setiap detail pengharapan dan mimpi kami. Sore ini, kami berkumpul di taman Sorbonne setelah usai melewati seremoni penyerahan gelar Phd yang baru saja aku raih. Negeri Perancis yang alamak cantiknya…Universitas Sorbonne yang selalu menyimpan pesona sejarah para pemikir kaliber dunia. Aku disini…bersama emak…bersama asma. Bercengkerama…menikmati siluet mentari di sore ini.

Wanayasa, 4 Agustus 2009

Tulisan ini selesai di kamarku sendiri.

Berteman jus Alpukat yang dibuat si mamah, juga beban sakit (gejala DBD) yang menghantam

fisik dan batin.

Ada alunan musik kang ferry curtis yang turut membidani lahirnya ini cerpen, “ibu” judulnya. Terima kasih untuk si akang. Salah satunya, karya ini saya dedikasikan untuk si akang yang bisa-bisanya mengingatkan dunia tentang arti ibu.

Label:

Biarkan Dia Mati ; Sekadar Perspektif Politik Sederhana Menyoal Nalar (Politik) Kader HMI Cabang Purwakarta Yang Juga Sederhana

15.53 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Bahwa politik itu adalah ruang (space) yang sangat cair sebetulnya, sehingga ketika tersumbat saluran untuk berdinamisasi di dalam (inside), maka bukan berarti ekuivalen dengan ”tidak ada tempat sama sekali”. Demikian cetus politisi senior yang sempat saya temui tempo hari. Perbincangan yang sederhana saja sesungguhnya hemat saya, namun ternyata ”dalam”. Selebihnya, tak berlebihan-lah kiranya bila saya persepsi sebagai ”optimis” dan—bahkan—”inspiratif”.

Ya, begitu-lah. Lantas, saya renungkan begitu rupa celotehan politik itu. Kalkulasi-kalkulasi idea terus saja berkejaran. Nyaris kontinu, berkesinambungan seakan tak selesai-selesai. Saya terkesima, bagaimana pula logika politik yang sederhana itu bisa begitu luas pemaknaannya—baik itu di dataran konsepsi maupun interpretasi praksis-nya ?. Sekali lagi, saya katakan ”luar biasa !” ; sederhana tetapi luas dan cerdas !.

Terus, iseng-iseng, saya bawa alam pemikiran bebas yang saya singgung itu ke dunia aktual yang sedang saya jalani saat ini. Tentang mahasiswa, tentang dunia yang ”digagahinya”, tentang organisasi yang dijadikan motor realisasi dirinya, tentang Himpunan Mahasiswa Islam (HMI)—lebih khusus HMI Cabang Purwakarta, singkat kata demikian. Luar biasa nian pikir saya bilamana dinamika yang seperti demikian itu bisa hidup di lingkungan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta. Lebih dari itu, bukan-kah luar biasa pula bila kader-kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta—bahkan—bisa memainkan peran tersebut ?. Bayangkan saja bagaimana personalisasi kader dengan kapasitas personal seperti itu ?. Tak ragu lagi, berbekal kemampuan (skill) dan pengalaman (experience) itu, ”pantas” dan ”wajar” bila kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dimahkotai gelar (yang tentunya bukan ”anugerah” tetapi capaian perjuangan ; Pen) kualifikasi diri bertajuk ”avant garde” (sang pelopor).

Politik dan (organisasi) mahasiswa...kok ?, bisa jadi terbit pertanyaan seperti demikian. Lebih lanjut, bicara HMI kok ditarik ke pretensi politik sih ?. Pertanyaan itu juga sah-sah saja menurut saya kalau bergulir lepas dari gudang dialektika pemikiran kader-kader HMI Cabang Purwakarta. Toh nilai ”adiluhung” yang dicerap kader-kader HMI adalah seputar kritisisme, inklusifisme dan gaya berpikir open minded (berpikir terbuka), so what dengan pertanyaan se-model itu ?.

Tidak menjadi persoalan yang mendasar dan prinsipil lah !, biarkan kader memiliki platform pemikiran yang seperti demikian (barangkali sedang mencari-cari ; Pen). Justru yang membuat pelik perkara adalah ketika kader cenderung jijik dan apatis manakala bersinggungan dengan sodoran fenomena politis. Ini ngeri. Lebih dalam lagi, wah repot !, karena klimaks dari tumpukan persoalan ini adalah bertambahnya jumlah kasus ”kebutaan politik” (political literacy) Kab. Purwakarta pada khususnya dan Indonesia pada umumnya yang nota bene merupakan anasir kontra-produktif dalam konteks demokratisasi Indonesia. Kalau sudah begini, apa arti eksistensi HMI dengan segala pernak-pernik ornamentasi nilai-nilai organisasinya di bumi Indonesia ini ?. Atas dasar itu, tanpa beban saja perasaan saya ini tatkala sesekali me-reka kreasi dalam bentuk tulisan a la kadar yang kurang lebih mempergunjingkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dalam perspektif politik.

Ada semacam geliat keingintahuan (curious) yang mengalir enteng di otak saya, tabir apa pula sebenarnya yang ”menghalangi” (dan selanjutnya bahkan diberikan point legitimasi kebenaran untuk hal tersebut ; Pen) kajian organisasi kemahasiswaan semacam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dalam koridor issue politik, sehingga terkadang ditimpali justifikasi etik ”tidak etis” atau—tidak menutup kemungkinan—”tabu”?. Menjawab pertanyaan tersebut, sederhana saja hemat pemikiran saya, yaitu bahwa secara fundamental tidak ada atau—boleh jadi—tidak rasional bila harus diabaikan begitu saja. Saya katakan seperti itu, karena toh se-kompleks apapun bentuk, nilai serta building capacity suatu organisasi, tetap saja persoalan politik itu bak aliran darah yang mengalir didalamnya. Pun demikian halnya dengan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta, tidak terlepas dari jerat problematika politik yang juga ada (exist) di keseharian sirkulasi eksistensinya. Dari sudut pandang ini, ”harus”-lah saya kira sesekali waktu ruang (space) pemberdayaan (empowerment) politik kader Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta dibuka sampai ke proporsi yang sangat terbuka sekalipun.

Saya kaji persoalan ini—secara kasuistis—dari fenomena pengambilan kebijakan (policy)—baik yang tercermin dari manifestasi sikap serta kebijakan-kebijakan tertulis organisasi—Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta selama hampir satu semester ini (baca : di periode 2008-2009). Saya rangkum hasil penafsiran saya itu ke dalam peristilahan simbolik yang saya sebut ”biarkan dia mati” yang merefleksikan bagaimana Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sebagai ”sentrum politik” (dalam artian locus pengambilan kebijakan strategis ; Pen) relatif tidak memiliki kualifikasi political skill yang mumpuni untuk mengelola (manage) dinamika perpolitikan di wilayah kerja cabang Purwakarta. Bukan sekadar isapan jempol tentu. Sebaliknya, banyak temuan fakta (facts finding) yang saya pikir kontekstual untuk mendeskripsikan apa-apa yang saya kemukakan ini. Mulai dari katakanlah proses formalisasi kepengurusan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta sedari mula yang terkesan ”menghendaki” fragmentasi politik (karena tidak terbangunnya komunikasi politik yang baik dari para agent yang ”bermain” ; Pen) alih-alih re-konsolidasi politik sampai ke kebijakan tidak populis yang mengantarkan Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Komisariat Situ Buleud terlegitimasi sebagai ”komisariat persiapan”, fenomena organisatoris seperti ini saya pikir relevan untuk ”mengkotaki” kapasitas personal para pengurus HMI Cabang Purwakarta di koridor paradigma politik ”biarkan dia mati” seperti halnya saya tegaskan sebelumnya. Tidak selesai dengan hanya itu, kondisi ini diperparah—bahkan—dengan tampilan (feature) kenyataan sosial yang secara faktual memberikan kesaksian tentang ”diamnya” (silences) elemen-elemen politik lain semisal HMI komisariat di wilayah kerja cabang Purwakarta yang seharusnya menjadi alat kontrol. Apakah ini indikator positif menguatnya paradigma politik ”biarkan dia mati” sampai ke titik hegemonisasinya ?. Dalam lain interpretasi, semapan itukah kekuasaan (authority) Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Purwakarta, sehingga mampu meng-atas-i secara ”mutlak” elemen-elemen politik lain diluarnya (yang ditandai dengan diamnya komisariat ; Pen) dan bisa melahirkan produk-produk politik apapun dengan begitu lengang tanggapan ?.

Saya bertanya-tanya karena keheranan, kenapa paradigma politik ”biarkan dia mati” itu bisa begitu menguat sekaligus meluas sinyalemennya di wilayah kerja cabang Purwakarta ?. Lebih heran lagi, mindset (pola pikir) politik seperti itu seakan diterima baik (well accepted) dan hampir ”membudaya” boleh jadi. Padahal sederhana, sederhana sekali. Padahal kerdil, sangat kerdil. Tapi, itu dicerap begitu saja. Ada apa dengan (kader) HMI di wilayah kerja cabang Purwakarta, sehingga model tata-kelola politik yang ”hanya” seperti demikian pun diakses untuk menghidupi dinamika politik HMI di wilayah kerja cabang Purwakarta ?, demikian pertanyaan susulan yang melintas di otak saya. Kok ”kanibalisme” eksistensi kader dilabeli merk moral ”benar” dan diperkuat dengan legitimasi politik kekuasaan HMI Cabang Purwakarta ?.
Satu hal saja yang dalam hal ini saya cermati secara serius, yaitu bahwa begitu lebar kesenjangan kekuatan (force) politik HMI Cabang Purwakarta dengan elemen-elemen politik diluarnya di wilayah kerja cabang Purwakarta. Begitu lebarnya, sehingga tidak terbangun dialog yang seimbang antara kutub dominant culture yang dimainkan oleh HMI Cabang Purwakarta dengan kutub sub-culture yang sebetulnya potensial diperankan oleh kader-kader HMI Komisariat misalnya. Akhirnya timpang, akhirnya terbangun hegemoni yang meniscayakan nihilnya energi-energi koreksi.

Maka, saya pikir pas argumentasi yang disampaikan politisi senior yang saya ceritakan di awal. Apa yang dibutuhkan hari ini adalah ”hidup”-nya lingkar sub-culture yang berdiri berani dan tegas di luar ruang dominant culture HMI Cabang Purwakarta. HMI Komisariat, sekali lagi saya ulangi, potensial untuk melakukan itu.

Persoalannya adalah tinggal kesadaran dan keberanian (encourage) kawan-kawan komisariat untuk mendemonstrasikan idea tersebut ?. Selanjutnya, tentu harus disisipi pula dengan harapan yang sama-sama ”kita” panjatkan bahwa semoga tidak ada tangan gaib (invisible hand) atau ”faktor x” yang menyebabkan goyahnya kontruksi pembelajaran politik sebagaimana saya paparkan di sini.

Akhirul kalam, saya titipkan sebuah perenungan yang mudah-mudahan mampu ditangkap essensinya oleh kawan-kawan yang hari ini berkesempatan hidup di lingkungan HMI Cabang Purwakarta. Di tahapan awal formulasi kepengurusan HMI Cabang Purwakarta, langkah-langkah yang kawan-kawan lakukan adalah suatu sikap politik dengan ”warna” yang kawan-kawan sepakati (terlepas apapun itu visi dan niatannya ; Pen). Lantas, bagaimana bila model penterjemahan itu juga diambil oleh kawan-kawan HMI Komisariat Situ Buled yang hari ini diturunkan statusnya menjadi komisariat persiapan ?. Lebih konkret lagi, bagaimana bila ”diam” dan ”beku”-nya HMI Komisariat Situ Buleud (yang memberikan celah legitimasi untuk diturunkan statusnya ; Pen) adalah juga suatu sikap politik ?. Semoga tidak ada standar ganda yang diambil untuk konteks persoalan ini.

Wallahu’alam Bisshowab...



Purwakarta, 26 Juli 2009
Itu saya menulis di Kampus STIE Muttaqien, tepatnya di Warnet Kampus
Sembari minum kopi, sembari senyum-senyum santai setelah selesai merevisi skripsi,
Sembari senang-senang karena bermain mafia wars yang belum tentu kawan-kawan bisa memainkannya

Label:

Lari-Lari Pagi-Pagi (Cerpen Spekulasi)

04.55 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Pagi-pagi ceritanya, lari-lari begitu juga saya ceritanya. Bukan sombong bukan apa, tapi ya begitu lah…terpaksa ! (sumpah !). Gara-gara si mamih sih sebetulnya yang mengajak-ajak saya untuk ikut lari pagi yang menyebabkan saya pagi-pagi sudah lari-lari. Dasar itu si mamih…dapat wangsit katanya tadi malam. Itu dia cerita lewat SMS yang dikirimkannya pasti ke handphone saya yang tentu saja bukan handphone si mamah apalagi handphone tetangga yang galaknya minta ampun itu. Bilang saja begini dianya yang ya ampun tanpa diminta :

Pokony papih hrs ikt lari pagi ini…

lez, GPL !!!

Aih itu si mamih…pakai “GPL” segala kayak sayanya tukang batagor ajah. Pasti itu artinya “Gak Pake Lama” yang mengakibatkan harus buru-buru saya balas itu SMS. Pastilah itu si mamih tidak mau tahu urusan apa pun selain sayanya harus segera balas, sehingga terjadi kegiatan balas membalas SMS. Ok lah, saya balaslah itu SMS si mamih daripada nanti masalahnya semakin panjang, terus panjang, terus, terus, terus sampai si mamih kapok kirim SMS ke sayanya :

Iah…hayu !!!

Jadinya saya bangun pagi-pagi setengah hati. Maksudnya setengah buat si mamih, setengah buat si kasur saya yang kelihatan semakin empuk saja dari menit ke menit. Saya pun berkaca-lah di cermin setelah pakai sabun, odol dan sikat gigi yang mungkin maksudnya adalah mandi. Itu saya sedang mematut-matut muka apa adanya yang beda dua SMS saja dari si Dellon. Semua orang sudah tahu toh, jadi tidak usahlah diperdebatkan lebih jauh. Buang-buang waktu. Ok ?!.

Sudah di luar rumah. Jangan tanya siapa yang sudah di luar rumah, karena sudah pasti itu saya. Lihat banyak orang berlalu-lalang, lihat juga Si mamih yang tampaknya sedang nyengir begitu di sepeda motor yang dibawanya dari rumah. Itu juga saya, pokoknya saya lah.

Emmm…si mamih basa-basi di pagi hari. Saya tengok kanan-kiri, mungkinkah si mamih sedang ingin ikutan shooting acara termehek-mehek ?. Aneh si mamih, bikin saya kepingin tidur lagi, mimpi lagi, ketemu bidadari lagi.

Pih…udah makan ?, kata si mamih. Saya diam, manyun tepatnya. Pih, udah mandi ?, kata si mamih lagi. Saya diam lagi, manyun lagi tepatnya. Pih…ngambek ke mamih ?. Otomatis saya diam lagi dan manyun lagi lah…pasti !. Pih…berani ke mamih manyun-manyun segala gitu ?, kata si mamih yang aduhai plus seringai trio macan tutul. Hehe…ngga mih, ampuuun, kata saya yang akhirnya harus tersenyum senang daripada dijitak.

Sampailah saya dan si mamih di lokasi lari yang entah bagaimana awalnya tiba-tiba saya dan si mamih tahu saja bahwa itu lokasi namanya Situ Buled. Lari-lari jadinya, berkeringat jadinya. Terus pegal, terus linu, terus haus.

Kan laki-laki harus kuat, jadinya jaga gengsi untuk bilang istirahat duluan. Kebetulan si mamih ngajak saya istirahat. Itu si mamih duluan yang bilang, capek katanya. Istirahat yuk pih ?, kata si mamih yang nafasnya luar biasa jadi mirip kuda nil. Iah hayu !. euh…padahal mah papih masih kuat lari perasaan mah dua juta kuriling lagi juga, kata saya serius. Beneran pih ?!, si mamih balas nanya. Iah dong, kata saya tambah serius. Si mamih penasaran. Itu coba lihat matanya si mamih liar memandang saya. Seram kayak Satpol PP. Perasaan mih…perasaaan, kata saya sekadar menegaskan saja. Yess !.

Jadinya duduk-duduk setelah lari-lari. Terus minum-minum, terus makan-makan. Pih…tadi malam mamih mimpi jadi langsing, celetuk si mamih. Saya diam manggut-manggut mencoba mendengarkan atau yang dalam istilah populer disebut ngaregepkeun !. Tidak berkata apa-apa, karena mulut saya sedang sibuk makan yang mengakibatkan tidak bisa diganggu. Serius sekali itu si mamih cerita-cerita sampai-sampai saya bingung itu si mamih apa wa kepoh sih. Badan mamih jadi mirip dian sastro pih, beneran !. Mamih jalan-jalan di catwalk, banyak orang lihat mamih, celoteh si mamih yang panjang bercerita.

Saya : Papih ikut liat ga mih ? (wkkkakwakkkak—maksudnya nanya sambil makan).

Si Mamih : Ngga ada tuh pih…kemana atuh pih kok ga ada yah ?

Saya : Euh mamih mah…

Si mamih : Hehe…

Saya : kan papih mah sama bidadari…wew

Si mamih : yeeehhhh….

Oh…itu maksudnya. Oh…itu intinya. Oh…buat itu toh lari-lari pagi-pagi ini itu. Mau diet katanya. Biar langsing katanya. Ingin jadi kayak dian sastro katanya.

Oh…si mamih yang ingin langsing seperti dian sastro. Jahat itu wangsit yang datang malam tadi ke si mamih. Kenapa harus dian sastro ?. Jadinya si mamih kepingin diet yang menyebabkan dianya mendadak ingin terus lari-lari pagi-pagi. Jahat itu wangsit, sehingga si mamih jadi jarang makan. Terus sakit lambungnya dikarenakan maag. Jadinya ngga bisa ketemuan sama saya, jadinya saya rindu, jadinya saya khawatir.

Padahal aduh itu si mamih….saya sayang dianya apa adanya. Biar selintas menyerupai kaleng kerupuk, biar-lah saya tetap cinta. Biar imut-imut kayak bayi trenggiling, sungguh saya sayang kamu seperti itu.

Purwakarta, 20 Juni 2009

Nirwana yang telah berlalu

Mamih—telepon aku

Label:

Saya dan Kritik Buat Perpustakaan Daerah Purwakarta

22.42 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (2)

Meragukan Peran Strategis Perpustakaan Daerah sebagai Medium
Pencerdasan Anak Bangsa
Oleh : Widdy Apriandi *

Padang Gersang Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta
Betapa sulit menjadi salah seorang manusia yang berkualifikasi “cerdas” dan ”arif’ di negeri ini. Intuisi seperti ini tiba-tiba meledak begitu saja di benak saya manakala menikmati buku a la kadarnya yang berdesak-desakkan tak tentu “bentuk” di Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta. A la kadar memang. Sejujurnya sangat a la kadar malah.
Singkat kata, hati saya sampai miris dibuatnya. Bagaimana tidak ?!, atmosfer intelektual yang terpancar dari buku-buku yang dijajakan di perpustakaan pemerintah ini mengabarkan warta sekaligus kesaksian yang begitu menggiriskan (bila tidak dikatakan “mengintimidasi” ; Pen). Buku-buku tua yang sudah jauh dari standar up to date berjajar “sombong” sembari menyeringai menyatakan kebanggaannya. Bangga, karena masih diakui eksistensinya. Lebih dari itu, aroma “politik gagasan” pun sempat-sempatnya tercium. Paradoks dan kontra-produktif tentu saja bila dipertautkan dengan persoalan demokrasi—dan otomatis demokratisasi. Hal yang terakhir ini dapat ditemui dari varian buku yang kebetulan mampir di perpustakaan pemerintah yang saya maksud. Politik Islam Anti-Komunisme, demikian judul salah satu buku yang saya temui di salah satu rak buku “resmi” pemerintah. Buku itu berdiri sendiri seperti merasakan “kemutlakan” kebenarannya. Tak ada counter-opinion (wacana pembanding) dari buku lain yang minimal mendekati proporsional. Terbayang oleh saya bagaimana ekses dari buku ini di ruang publik (public sphere). Kalau bukan pembodohan, maka tanpa bisa dibantah lagi adalah (lagi-lagi) “regenerasi” sesat pikir (gaya) orde baru yang termanifestasi dalam intelektualisme monolitik.
Padang gersang. Bila diibaratkan ke dalam proyeksi tipikal kondisi geografis dari salah satu tempat yang ada di muka bumi, maka sepertinya tak berlebihan bila Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta disimbolisasikan seperti itu. Alih-alih menyerupai oase yang mampu membalas rasa kehausan, Perpustakaan Daerah justru berlaku sebaliknya, yaitu menghamparkan kegersangan begitu rupa. Dalam artian yang lebih tegas, Perpustakaan Daerah gagal menjawab kehausan ilmu publik Purwakarta. Tak salah makanya bila dalam hal ini timbul percikan kritik terhadap eksistensi Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta ; mampukah Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta memainkan peran strategisnya sebagai medium pencerdasan anak bangsa ?.
Bukan Sekadar Formalitas
Tentu tidak seperti menjawab pertanyaan ber-genre eksakta. Problematika yang sedang ”kita” hadapi ini lebih kompleks dan pelik dari yang dibayangkan. Dikatakan demikian karena ternyata banyak variabel yang turut urun ”saham” persoalan di sana ; mulai dari—katakanlah—visi manajerial perpustakaan pemerintah itu sendiri yang dalam konteks ini perlu dipertanyakan (atau—bahkan—digugat sama sekali ; Pen) hingga ke minimnya kritisisme masyarakat luas terhadap kualitas layanan publik yang disediakan oleh Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta.
Namun begitu, bukan berarti permasalahan ini tidak dapat diurai atau—dalam lain perkataan—tidak terjelaskan sama sekali. Sekadar sebagai peringatan awal (early warning), imbauan ”bukan sekadar formalitas” sejatinya cukup mengena tepat di jantung kontekstual persoalan yang tengah diperbincangkan ini. Imbauan ini ditujukan kepada manajemen Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta pada khususnya (yang dalam hal ini memainkan peran sebagai eksekutor penyediaan fasilitas buku kepada publik ; Pen) dan Pemerintah Daerah Kab. Purwakarta yang dalam peta konfliktual yang lebih luas berposisi sebagai penanggung jawab layanan publik.
Betul !, bukan sekadar formalitas. Bukankah pemerintah (baca : Pemerintah Daerah Kab. Purwakarta) memiliki peran strategis sebagai institusi (negara) yang otoritatif dalam hal pengalokasian dana publik ?. Didik J. Rachbini menegaskan perkara ini secara eksplisit dalam Ekonomi Politik, yaitu bahwa pemerintah memiliki peran yang cukup besar dalam hal pendistribusian anggaran publik—yang potensial meng-cover kebutuhan hajat hidup orang banyak. Sisi inilah yang sebetulnya ”krusial” untuk dikritik. Nilai lebih (advantage value) pemerintah dalam kewenangan (otoritas) yang disandangnya tidak lantas berarti sama (equal) dengan pengelolaan yang ”semau enak sendiri” (atau dalam pengertian yang lebih soft, anti kritik ; Pen). Dengan demikian, maka imbauan ”bukan sekadar formalitas” cukup mendapatkan angin legitimasinya.
Jangan sampai Pemerintah—melalui kepanjangan tangannya (state apparatus)—”bermain-main” sendiri tanpa kawalan, termasuk dalam persoalan penyediaan fasilitas layanan buku kepada publik. Kondisi aktual yang hari ini mewujud (becoming) mengindikasikan bahwa Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta nyaris bereksistensi dalam ”logika”-nya sendiri (tanpa kritik, tanpa evaluasi yang menyeluruh dari para stake holder yang berkepentingan ; Pen). Tampilan (feature) kualitatif ini akan semakin memburuk tentunya bila sengaja direspon dengan sikap yang terus-menerus berpretensi pembiaran (obeying).
Peran Perpustakaan Daerah Kabupaten Purwakarta jelas dirasakan begitu penting di tengah pergumulan sosio-kultural Kab. Purwakarta (urgent bahkan barangkali ; Pen). Jangan terus dibiarkan menjadi ”hanya” sebatas formalitas saja, yaitu ada (exist) untuk sekadar membuktikan bahwa Kab. Purwakarta pun memiliki Perpustakaan Daerah walau bagaimanapun kondisinya. Sebaliknya, setiap stake holder yang berkepentingan terhadap arti (mean) Perpustakaan Daerah harus sama-sama menyadari nilai ”adi-luhung” dari Perpustakaan Daerah itu sendiri. Kesadaran (consciousness) dalam tafsiran yang holistik tentu saja !, tidak parsial apalagi pragmatis. Terlebih, kesadaran yang juga bukan sebatas ”parade” retorika, melainkan dihiasi pula dengan oleh ornamentasi aksiologis yang konkret.
Akhirnya, jawaban atas pertanyaan ”kita” di awal tadi tentu sangat dependable (bergantung). Tergantung apakah visi kolektif ini dapat teraktualisasikan di ranah nyata atau tidak ?. Satu hal yang jelas riil adanya adalah bahwa bila kondisi ini melulu bertahan tanpa mampu beranjak lebih baik, sulit rasanya mendamba anak-anak Indonesia yang berkualifikasi ”cerdas” dan ”arif” sebagaimana saya katakan di atas. Di tengah harga buku yang melambung tinggi, di antara peliknya fenomena komodifikasi dunia pendidikan, Perpustakaan Daerah seharusnya menjadi solusi alternatif dan—bahkan—”martir” penyelamat anak-anak bangsa dari jeratan kebodohan.
Wallahu’alam Bisshowab...

* Penulis adalah Koordinator Dewan Pengarah
re[d]sistance (Reading Society and Resistance Alliance) – Purwakarta

Label:

Kata Pengantar Di Buku REAKSI Yang Saya Susun

22.37 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

“ Kita semua telah menjadi terbiasa dengan sistem totaliter (otoriter) dan menerimanya sebagai suatu kenyataan yang tidak bisa diubah sehingga membantu melestarikan sistem itu. Dengan kata lain, kita semua meskipun tentu saja dalam tingkatan berbeda-beda bertanggung jawab atas terciptanya sistem totaliter. Tak seorang pun diantara kita yang hanya menjadi korban saja ; kita semua bertanggung jawab atas sistem tersebut “.
(Jaclov Havel)

Lewat dari satu dekade sudah bangsa dan Negara Indonesia meretas jalan meraih kehidupan yang lebih baik pasca momentum people power yang populis dikenal sebagai “reformasi 1998”. Lebih kurang 11 tahun bahkan lebih tepatnya andaikata ditarik—secara relatif definitif—ruang lingkup historisitasnya ; terhitung sejak mei 1998 hingga sekarang (2009). Perubahan demi perubahan otomatis terjadi tanpa mampu terelakkan lagi dalam kurun waktu tersebut, terlepas dari apakah perubahan sebagaimana dimaksud berputar di locus struktural atau justru lebih terkonsentrasi di ranah kultural ke-Indonesia-an. Urat nadi kehidupan bangsa dan Negara Indonesia seakan benar-benar “hidup”, tak lagi sekadar ada (exist) dan bergerak namun semu (absurd) eksistensinya seperti pernah mengemuka di orde kehidupan Indonesia sebelumnya. Menemukan kembali semangat (spirit) yang boleh jadi sempat sirna, setiap eksponen bangsa dan Negara Indonesia (kembali) bergejolak dinamis layaknya diterpa angin renaissance yang mencerahkan (enlightening) eropa dari abad kegelapannya. Terbit visi “baru”, kemudian komitmen-komitmen perjuangan kontemporer yang selaras dengan kehendak kolektif civitas bangsa dan Negara Indonesia ke-kini-an.
Tak selurus sebagaimana yang tertuang dalam setiap konsepsi transformatif yang selama ini menjamur di tengah ruang dinamika ke-ummat-an dan kebangsaaan Indonesia tentu saja, fakta di lapangan (field facts) terkadang—atau bahkan sering barangkali—mempersaksikan proyeksi realitas sosial menyoal “perubahan” bangsa dan negara Indonesia yang justru boleh jadi kerap kali bertendensi paradoks alih-alih linier dalam konteks komparasi (perbandingan) antara idealisasi Indonesia dalam konsepsi-konsepsi perubahannya vis a vis gambaran riil di lapangan aktual. Bukan berarti menggeneralisir potongan-potongan kenyataan di lapangan ke dalam satu konteks penterjemahan apalagi mereduksinya sama sekali sehingga refleksi realitas yang begitu kompleks menjadi sangat kerdil serta tendensius, asumsi demikian—katakanlah—tampaknya akan lebih tepat dan relevan bila diposisikan sebagai wacana pembanding (counter opinion) terhadap narasi utama idea perubahan bangsa dan negara Indonesia yang selama ini seringkali disikapi secara an sich dan minus kritisisme. Dalam lain artikulasi, asumsi tersebut dengan demikian juga tidak lantas mengindikasikan ketidak-percayaan (atau dalam lain perkataan, menafikan sama sekali ; Pen) terhadap guliran perubahan yang memang sedikit banyak telah meng-ada (being) di bumi pertiwi. Titik tolak perhatian yang lebih substansial pada konteks ini—dan kemudian menjadi pijakan analisis kritis—adalah gambaran nyata yang muncul di dataran faktual yang kemudian membentuk persepsi (yang kemudian tersimbolisasikan dalam bentuk kata dan kalimat ; Pen) sebagaimana dikatakan Paulo Freire dalam Pendidikan Masyarakat Kota, yaitu bahwa “kata dan kalimat bukanlah merupakan wacana kosong yang mengapung di udara, melainkan memiliki keterkaitan secara sosial dan historis”. Dengan demikian, penyebutan laju perubahan bangsa dan negara Indonesia sebagai “masih rentan dengan aroma paradoks disana-sini” tidak kontan berpretensi hiperbolik dan—kemudian—a-historis, melainkan justru riil, faktual dan relatif memiliki latar belakang sosial yang bisa dibilang kontekstual.

Pada area penelaahan inilah sebetulnya karya a la kadarnya ini menjejakkan kakinya di muka bumi. Bahwa kilasan puspa ragam paradoks masih tetap mewujud di seputar ruang (space) “perubahan” bangsa dan negara Indonesia, demikianlah buah kesadaran (consciousness) yang menancap di benak tim penyusun. Kegelisahan ini kemudian dijawab secara “taktis” lewat kesaksian yang dituturkan dalam karya sederhana sebagaimana kini hadir menyapa ruang pemikiran para pembaca sekalian.

Disadari betul, jelas begitu kompleks besaran “wilayah” paradoks perubahan bangsa dan negara Indonesia seperti telah disinggung sebelumnya. Analisis sektoral—pada konteks permasalahan ini—dengan demikian mau tidak mau harus diambil sebagai suatu opsi pembedahan persoalan yang paling “rasional” demi menjawab tantangan “kepentingan” yang include (terintegrasi) dalam “jati diri” karya ini. Di lain sisi, keterbatasan kapasitas serta kompetensi tim penyusun pun menjadi persoalan lain yang ternyata juga harus direspon dan disadari benar oleh tim penyusun.

Domestifikasi persoalan yang dalam hal ini lebih didorong ke issue good governance (pemerintahan yang baik) dan selanjutnya lebih dikerucutkan lagi ke persoalan pemberantasan korupsi merupakan manifestasi konkret dari upaya analisis sektoral seperti halnya telah disebutkan di atas. Sekali lagi, bukan tanpa alasan mendasar tentu saja. REAKSI (Relawan Anti Korupsi) sebagai salah satu Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak dalam ikhtiar pemberantasan korupsi secara konsisten dan berkesinambungan (sustainable) merasa terpanggil dan—selebihnya—berkepentingan untuk menyuarakan idealismenya.

“Mengawal Good Governance ; Refleksi REAKSI dalam agenda suksesi pemerintahan tanpa korupsi” adalah simbolisasi aksi kreatif REAKSI (Relawan Anti Korupsi) dalam ikhtiar pembumian platform perjuangan pemberantasan korupsi yang diupayakannya.


Purwakarta, Maret 2009

Tim Penyusun

Label:

Baca bukumu...Jadilah Pemberontak !!!

22.24 / Diposting oleh Widdy Apriandi / komentar (0)

Baca bukumu…Jadilah Pemberontak !
Oleh : Widdy Apriandi
[1]



Kata-kata adalah senjata
(Subcomandante Marcos)


Prolog…






Menulis dengan “ketelanjangan”. Kali ini saya menulis dengan betul-betul mempercayai navigasi yang disediakan Tuhan kepada saya, yakni hati—tanpa embel-embel lain yang kadang membuat saya tersiksa dan tertekan. Kemarin hari biasanya saya balut tulisan demi tulisan dengan rajutan retorika-retorika ilmiah yang saya rasa itu “hebat” dan—minimal—membuat orang yang membacanya mengangkat alis meski sejenak. Maklum mahasiswa, demikian bisik jahil hati saya. Status sosial yang sebetulnya “ber-resiko”. Banyak konsekuensi yang harus saya pertimbangkan, mulai dari kadar ilmiah sampai ke identifikasi naïf atas diri pribadi saya sendiri yang menurut “logika umum” harus benar-benar memiliki karakteristik yang berbeda dengan kebanyakan orang (maksudnya mungkin orang-orang yang tidak memiliki kesempatan sekaligus hak seperti saya yang hari ini berstatus mahasiswa—kelas sosial yang terdidik ; Pen).

Tidak !. Sudah tiba saatnya bagi saya untuk mengatakan “tidak !”. Dalam artian tegas, “tidak !” untuk mengamini perspektif feodal yang pada hakikatnya memenjarakan eksistensi diri saya sebagai mahasiswa. Belenggu ini harus diakhiri, seperti itu tegas saya. Tak mau saya terus-terusan diperkosa, diperas nalar saya sejadi-jadinya oleh logika rekaan kapitalis. Tak rela pula saya menjalani politik “apartheid” yang memisahkan saya dengan massa rakyat “hanya” karena prestise sosial yang tiba-tiba saya sandang tanpa usaha sedikit pun (makin arogan dan makin nyaman di “menara gading” bahkan ketika diperkenalkan dengan istilah agen perubahan sosial ; Pen).

Lahirlah tulisan ini, wujud pemberontakan saya yang tentu saja bukan berarti yang kali pertama. Wacana-wacana anarkis membentuk tulisan ini, sehingga saya sendiri pun tak tahu apa “bentuk” dan “spesies” dari tulisan ini ; essai-kah dia, cerpen, atau feature ?!. Tak tentu. Apalagi berbicara kadar ilmiah dan ornamentasi serupa, sama sekali tidak saya “hitung”. Toh, itulah yang sejatinya saya lawan.

Mungkin terprovokasi oleh lecutan isme Foucault, Bakunin atau Noam Chomsky, sempat saya berpikir seperti itu. Tapi tidak, setelah melewati beberapa tahap perenungan, saya pikir memang kebetulan saja saya tepat berdiri sama (equal) pada domain pergulatan “mereka”. Suatu kebetulan yang menyenangkan sesungguhnya, karena paling tidak saya memiliki mitra diskusi yang jauh dari sekadar kompeten. Selebihnya, saya tidak peduli. Terserah apa yang hendak dikatakan orang kepada saya.

Apa yang saya tahu, saya sadari seinsyaf-insyafnya adalah saya harus melawan, angkat senjata !. Senada dengan apa yang dikatakan Subcomandante Insurgente Marcos (juru bicara Tentara Pembebasan Nasional Zapatista – Meksiko), saya sepakat bahwa “kata-kata adalah senjata !”.

Negeri Dongeng Yang Saya Sebut “Kampus”

Tiba saatnya agenda perkuliahan yang ramai dikenal Mahasiswa—di Perguruan Tinggi tempat saya menuntut ilmu dan memproduksi wacana-wacana tandingan—sebagai Seminar Internal (semacam “pengadilan” kapasitas mahasiswa yang juga syarat akademik untuk pengajuan proposal skripsi ; Pen). Bukan main tegang dan kakunya segala sesuatu yang terjadi hari itu. Serba kikuk dan rikuh, singkat kata seperti itu. Ditambah dengan setting-an tempat yang begitu kental pretensi “intimidasi” (dosen penguji berada di depan sementara mahasiswa diposisikan saling berhadapan. Sendiri seperti “tersangka” di ruang pengadilan ; Pen), kontan suasana jauh dari takaran cair serta hangat.

Resmi, formal, konon memang harus demikian. Ini kampus toh, bukan sedang berbincang di warung kopi yang bisa free-sytle, gaya bebas. Terasa benar aroma arogansi, keangkuhan sang menara gading yang kini hadir menyapa mata para mahasiswa. Jauh dari kesan diskusi, sejujurnya malah lebih mirip mahkamah intelektual yang legitimate untuk menandai kening mahasiswa dengan stempel “cerdas” atau justru “dungu”.

Berat. Saya yakin perasaan yang terpendam di benak saya ini rata-rata bergetar serupa di hati kawan-kawan yang lain—yang kebetulan juga ikut “persidangan” intelektual ini. Tapi apa mau dikata, para mahasiswa dituntut untuk legowo saja, menerima keadaan meski harus rela menelannya dengan tanpa reserved sekalipun. Keringat pun bercucuran begitu deras. Tidak hanya itu, ada pula bahkan yang sampai meninggi tensi asam lambungnya karena diserang sindrom gugup. Terlihat wajah-wajah manusia yang mendadak pucat pasi. Beruntung bukan malaikat maut yang akan ditemuinya. “Hanya” dosen, ya, dosen—yang jangan-jangan saat itu (ironisnya) justru diasumsikan se-level lebih rendah dibandingkan dengan malaikat maut itu sendiri.

Acara pun dibuka secara resmi. Itu artinya pertarungan “harga diri” mahasiswa dimulai dari detik itu. Sepintas, sebagaimana saya katakan sebelumnya, terkesan begitu kuat bahwa memang ada rona tegas yang menyiratkan roman feodalistik di sana, dimana mahasiswa “terpaksa” dinilai isi batok kepalanya oleh oligarki manusia pemegang stempel intelektual yang disebut dosen penguji. Namun, entah kenapa bagi saya tidak mutlak seperti demikian. Ada narasi lain yang secara “ajaib” bisa saya tangkap kala itu, yaitu pergumulan eksistensi dua generasi yang sangat kontras antara satu sama lain ; dosen penguji sebagai perwakilan “generasi lama” yang begitu dominan akibat pengalaman akademiknya di masa-masa terdahulu (meski belum tentu rajin membaca buku dan mengolah diri sehingga bisa beradaptasi dengan realitas kontemporer ; Pen) dan mahasiswa selaku icon “hari ini” yang punya potensi besar menekuk kepongahan “generasi lama” karena anugerah kekiniannya (dimana mahasiswa adalah representasi manusia aktual yang paling mengerti kondisi kekinian apalagi bila ditambah cerapan bacaannya sebagai penunjang ; Pen).

Benar apa kata para bijak bestari !, siap-siap malu di atas mimbar bila tak ada persiapan sama sekali. Saya rasakan betul siapa “dia” yang menyelamatkan “harga diri” saya saat itu ; Buku !!!—selain memang materi seminar yang saya siapkan sendiri dengan peluh perjuangan yang alamak lelahnya. Dengan cengkeraman pengetahuan yang saya olah sendiri, dari buku ke buku, nikmat rasanya laju “persidangan” yang saya hadapi. Tampil penuh percaya diri dan terkadang ngotot berhias alter-ego sebagai “icon hari ini”, materi seminar saya pun akhirnya diluluskan walau memang—tanpa bisa dipungkiri—ada beberapa perbaikan yang harus saya terima.

Andaikata dramatisasi dirasakan perlu, maka tak ragu saya katakan bahwa saya-lah manusia paling bahagia di dunia saat itu. Lebih bahagia bahkan bila dibandingkan dengan Bill Gates yang dipandang orang dengan predikat “manusia terkaya di dunia”. Dosen, so what ?, demikian sesumbar hati saya yang telah berhasil melewati satu tangga ujian di mahkamah intelektual yang disebut kampus. Tak apalah, kan’ cuma sesekali ini saja ikut-ikutan sombong seperti si dosen penguji, celetuk batin saya yang sempat-sempatnya urun partisipasi dalam dalih dan pembenaran.

Ok, lagi-lagi benar adanya ucapan para bijak bestari, selalu ada kesedihan yang bersembunyi di balik kebahagiaan, begitu pun sebaliknya. Saya tafsirkan secara sederhana ; hidup ini tidak selalu lurus dan statis. Ditambah “puitisasi” kesadaran teologis yang Tolstoy bilang, “Tuhan tahu, tapi Dia menunggu”, akhirnya lengkap sudah. Ya, seperti itulah kira-kira detik-detik mencengangkan yang saya rasakan berputar dramatis setelah kebahagian yang hinggap sebentar dalam hidup saya itu. Heran saya terus terang, perputaran kebahagiaan itu berlangsung dramatis dan cepat !. Kalau saja Tolstoy masih hidup dan mau menemani saya di arena “persidangan” tersebut, ingin rasanya saya bertanya, kira-kira apa yang sedang ditunggu Tuhan dari saya melalui kilasan realitas ini ?.

Saya tak lagi merasa ada (exist) di kampung intelektual yang terang-benderang disepuh cahaya manusia-manusia par excellence (yang dibakukan dengan sebutan civitas akademik ; Pen). Tidak !, justru saya seperti mengawang-awang saja di negeri dongeng yang bias dalam proporsi nyata (real) atau tidaknya. Luar biasa efek yang ditimbulkan dari potongan realitas yang hadir pasca kebahagiaan singkat saya itu !. Diputarnya “warna” hati saya dari yang pada awalnya bahagia menjadi lemas tak berdaya sama sekali.

Apa yang saya lihat adalah parodi picisan kehidupan kampus. Lebih konkret, saya melihat mahasiswa yang terbata-bata kebingungan menjelaskan materi seminarnya sendiri. Dosen penguji bertanya, dia tergagap-gagap. Lincah dia berkilah, tapi jauh dari substansi materi. Melenceng tak tentu arah. Satu pertanyan mendasar dari dosen penguji menerjang benteng pertahanannya ; apakah kamu sendiri yang membuat materi ini ?. Dia menjawab dengan malu-malu, “ya”. Padahal apa yang dia jelaskan jauh dari materi yang disuguhkan. Lebih parah lagi, materinya sama betul dengan kawannya yang lain. Sebatas berbeda pada judul materi seminarnya (dan tentu saja nama si individu ; Pen), itu saja.

Negeri dongeng. Dalam bukunya yang berjudul Pendidikan Masyarakat Kota, Freire (Paulo Freire ; Pen) tegas mengatakan bahwa “kata atau kalimat bukanlah merupakan wacana yang menguap di udara, melainkan memiliki keterikatan dengan konteks sosial dan historis”. Kurang lebih demikian. Kontekstual artinya, bukan imajinatif (atau bahkan manipulatif). Dalam penyebutan yang lebih lugas, kata atau kalimat sebetulnya tidak lain adalah ikatan simbolis dari “sesuatu” yang membumi—tidak melangit, mengawang-awang meninggalkan jejak eksistensinya di tanah realitas.

Lantas, adakah bantahan yang cukup kuat untuk menghalangi saya supaya tidak (tergesa-gesa) mengatakan kampus (tempat dimana saya beraktualisasi diri tentunya ; Pen) sebagai negeri dongeng ?. Kemudian, apakah justru saya lebih tepat “dihakimi” sebagai “anak kemarin sore” yang sedang mencoba mengotak-atik mozaik realitas yang sesungguhnya secuil menjadi bongkahan batu besar yang memberikan kesan “total”, “umum” ?. Pendek kata, generalisasi atau justru “pem-bonsai-an” kenyataan menjadi satu asumsi yang berlaku umum.

Tidak !, saya rasa tidak. Para “hakim agung” yang bersembunyi di balik gemerlap “kesucian” toga yang menyilaukan mata para mahasiswa boleh memutuskan penafsiran saya itu dengan bahasa “tidak ilmiah” (seperti biasanya ; Pen). Tapi, saya justru bertanya. Lebih ekstrem lagi, saya menggugat sebenarnya. Darimana datangnya penilaian “tidak ilmiah” itu sendiri ?. Datang serta-merta ke tempurung kepala para “hakim agung”-kah seperti aliran sinar “wahyu” yang dialami nabi-nabi atau jangan-jangan malah sekadar letupan ego “manusiawi” yang jelas-jelas jauh dari kualifikasi “ilmiah” seperti “mereka” bilang ?.

Apakah sisi ke-ilmiah-an “mereka” telah memperhitungkan keberadaan pengalaman (experience) yang juga merupakan elemen integral dari pengetahuan ?. Pada sisi ini saya meragukan. “Wajar”, saya bisa memahami. Watak pendidikan borjuis memang “mengharuskan” hal yang demikian itu. Tak perlu bicara pengalaman, karena apa yang diperlukan adalah sistem pengetahuan plus disiplin ilmu berbasis mistifikasi yang mengerdilkan manusia menjadi sebatas robot atau—paling tidak—komoditi pengisi imperium industrial para elit borjuis. Satu komando kesadaran (consciousness) ; aku ada, karena modal (capital)—bukan untuk mengantarkan manusia ke arah keparipurnaannya sebagai manusia (human being). Melangkahlah ke arah cita ke-modal-an, bukan terpatri secara aktual di tanah kenyataan dengan segala pernak-pernik persoalannya, kode rahasia (secret code) yang membaur (build in) dalam bangunan isme “ilmiah” pendidikan gaya borjuis.

Saya tahu, saya sadar !. Dibekali ilmu-ilmu alternatif yang saya baca dari buku ke buku, akhirnya saya menggenggam kesadaran penuh sebagai seorang manusia, subjek sejarah yang dihadapkan pada pertarungan abadi antara mereka yang menindas dan mereka yang ditindas. Saya tahu, saya sadar !. Disinari cahaya pengetahuan yang saya cerna dari buku ke buku, saya paham bahwa saya tepat berdiri di “dapur” percetakan manusia-manusia ber-label kapitalis ; pendidikan borjuis !. Saya tahu, saya sadar !. Hari ini saya menghirup nafas di tanah kering negeri dongeng.

Negeri dongeng, ya, negeri dongeng. Saya ikat parodi picisan kampus saat itu dengan sebutan negeri dongeng. Tidak hiperbolik, karena begitu kontekstual. Tidak berarti mutlak generalisasi asal-asalan, sebab tidak bisa dinafikan kejadian serupa juga terjadi di kampus-kampus yang lain. Tidak tendensius pula dalam pengertian yang macam-macam. Tidak !, karena apa yang saya tunjukkan bukan didorong oleh kepentingan itu, melainkan semata “menelanjangi” sisi politisitas (mengutip apa yang dikatakan Freire ; Pen) pendidikan yang berputar di locus watak (politik) pendidikan itu sendiri ; untuk kepentingan siapa dan atau untuk melawan siapa ? .

Di atas kertas boleh saja orang-orang berdecak kagum kegirangan menterjemahkan eksistensi kampus (tanpa terkecuali kampus saya ; Pen). Bukan-kah begitu ?!, paling tidak di tingkatan persepsi jamak masyarakat “kita”. Alwi Shihab dalam Islam Inklusif misalnya, beliau kurang lebih bilang bahwa kampus adalah medium strategis yang potensial dan mampu menggulirkan roda perubahan sosial (social change). Apa yang dapat ditangkap ?. Satu saja yang paling terlihat kentara ; harapan (hope). Harapan bergelayut di sana, sama sebanding dengan harapan mak’ Ijah yang rela membanting tulang menyekolahkan anaknya di Perguruan Tinggi dan/atau Universitas demi menjawab harapannya itu (meski dalam bahasa yang berbeda ; Pen).

Harapan tinggal harapan !. Mohon maaf Pak Alwi, mohon maaf mak’ Ijah. Apa yang kalian lihat bukan ranah ideal yang mampu menjawab setiap harapan yang kalian lemparkan. Kampus yang kalian kira merupakan kanal bagi sejuta harapan ternyata tidak lain adalah negeri dongeng. Bukan pencetak generasi intelektual yang mengharumkan wajah bangsa. Tidak !, justru “pabrik” pencetak sekrup penyangga kemapanan kerajaan kapitalis. Secara ringkas, walau terasa pahit ; buruh-buruh yang rela dibayar dengan upah marah sesuai dengan keinginan sang majikan. Bukan pencetak barisan muda yang mencerahkan (enlightening) muramnya “wajah” negeri ini. Tidak !, melainkan “hanya” generasi gagap sekaligus terbata-bata yang—bahkan—tak mengerti apa yang dipelajarinya, plagiator ulung yang tidak pernah terbiasa untuk bekerja keras ditangannya sendiri, sosok manusia yang diberi hak untuk menjadi kelas yang terdidik namun malah mencederainya.

Negeri dongeng, ya, negeri dongeng. Saya tempuh ekspedisi perlawanan yang melelahkan ini. Berkalung benci, takut, marah dan potongan-potongan emosi lainnya, saya kuatkan hati untuk berdiri tegak menantang. Tidak sendirian saya melangkah. Banyak kawan yang menemani. Jerit mas wiji thukul terngiang-ngiang di telinga, “hanya ada satu kata ; lawan !”. Sayup-sayup suara masyarakat adat (indigenous people) Chiapas-Meksiko yang dipimpin oleh subcomandante-nya bergemuruh di belakang saya. Itu Marcos, berorasi dia ; Kata-kata adalah senjata !. Tenang hati saya tiba-tiba, karena di sela kesibukannya Fidel Castro masih sempat berbisik ; ide tidak akan pernah mati. Buku-buku yang menentramkan hati saya. Tenang…setenang terang bintang kejora yang berpijar di atas sana.

Baca Buku-mu…Jadilah Pemberontak !

Buku-buku, “mereka” hadir dalam “rupa” dan “sapa” yang kompleks. Multi-warna. Seperti angin sepoi-sepoi, “mereka” bisa menyejukkan hati para pencari (the seeker). Di lain dimensi, terkadang “mereka” pun mampu memaksa para petualang untuk berhenti sejenak ; sekadar merenung atau berleha-leha melepas kepenatan. Soft, feminin…”mereka” tanamkan rasa ini untuk para pecinta (the lover).

Merah. Buku-buku juga adalah “merah” itu sendiri. “Merah” dalam artian gelora api perlawanan yang mengikis tirai kemapanan sekaligus ke-jumud-an. Dirangkulnya kata-kata, tersusun rapi sekali. Rapi memang, sepintas menyerupai barisan revolutionaries yang bergerak cepat di teluk pig atau pejuang beruang merah yang tegak dalam sikap sempurna.

Ada daya magis yang sekejap menyapu kejemuan di lorong-lorong tersempit nalar “kita” sekalipun. Kekuatan kata-kata, ya, kurang lebih seperti itu. Tidak tanggung-tanggung, kata-kata itu meledak seperti bom molotov yang dihadiahkan para campanero untuk para penindas. Kata-kata itu kemudian meleleh bagaikan lahar yang keluar dari perut bumi. Dihempasnya kebekuan, lantas mencair. Bergelombang, panas sekali.

Itulah sensasi !. Lebih tepatnya lagi, sensasi ideologis yang “hidup” bersama buku-buku. Bukan sensasi murahan yang dipropagandakan dalam pesan—sponsor kapitalis—Iklan Sprite atau Star-Mild. Bukan !. Jauh dari itu, berbeda sama sekali. Sensasi yang satu ini menantang “kita” untuk berteriak lantang, mengabarkan sesuatu kepada dunia bahwa masih ada kaum muda yang peduli dan mau melawan. Tak heran makanya kenapa kemudian The Police berani menuliskan wacana alternatif yang dibingkiskannya khusus untuk kaum muda, we’re the class they couldn’t teach…cause we know better. Tak perlu heran !, tak perlu heran !. “Mereka” yang membaca, “mereka” yang dibesarkan oleh buku. “Mereka” yang membaca, “mereka” yang menyadari identitas dirinya sebagai seorang pemberontak.

Dari proses dialektika ini, sungguh saya kangen dengan sosok mas Eko Prasetyo. Catatan-catatan pinggirnya saya baca, begitupula halnya dengan buku-buku “khas mas eko” yang sangat melodic ritme nada-nada marginalitasnya. “Serial orang miskin”, labeling gagasan yang dimajukan oleh mas Eko. Siapa dia yang berani “show of force” identitas individual seperti itu kalau bukan mas Eko ?. Riskan menghadapi kehendak pasar yang serba kapitalistis, demikianlah rasionalisasi sederhana yang sering terucap dari mulut para penulis (oppurtunis). Meski tak terdengar, meski sebatas bisik-bisik atau main mata antara penulis dan pemodal. Ide dikontrol, suara-suara dibungkam oleh mekanisme tangan gaib (invisible hand) yang “kita” kenal sebagai pasar. Konsekuensinya, wacana-wacana tandingan (counter opinion) jarang sekali menguat di permukaan (surface).

Beruntung saya masih sempat dipertemukan dengan sosok mas Eko Prasetyo. Tidak terkecuali hari itu, masa dimana detail nalar perlawanan saya di kampus mulai tergambar—meski samar-samar. Abstrak dia, termanifestasi dalam rupa titik-titik (dots) yang menyebar sporadis. Titik-titik itu dalam perjalanannya bertransformasi menjadi koma, tanda petik, tanda tanya hingga akhirnya tanda seru yang tegas setegas-tegasnya.

Saya ingat mas Eko tengah memperbincangkan sisi lain dari sekolah dalam salah satu catatannya yang dipublikasikan di salah satu website. Selalu begitu, mas Eko selalu begitu. Tegas, “berpihak”. Posisi gagasannya selalu konsisten di ranah perlawanan, tidak berkamuflase atau berpindah dari satu gerbong ke gerbong lainnya—sesuai dengan selera pasar.

Ada 2 (dua) simpul besar idea yang bisa saya tangkap dari tawaran gagasan mas Eko dalam catatannya tersebut. Sekolah, itu yang pertama. Pemberontakan, itu yang kedua. “Aneh” memang. Lebih pantas disebut provokasi daripada wacana utuh yang dapat “dipertanggungjawabkan”, demikian penilaian pertama saya yang andaikata dituangkan dalam bahasa “romantis” tidak lain adalah pandangan pertama (first sight)—yang “ironisnya” mampu menyisakan kesan yang begitu dalam. Semakin tertarik saya untuk membacanya. Maklum, di lingkungan kampus yang serba tertib dan “mabuk ilmiah” ini, kapan lagi ada kesempatan untuk bersua dengan provokasi. Kalau bukan mencari-cari sendiri, tentu tak bisa. Selain itu, bukankah relasi antara sekolah dan pemberontakan adalah “sinting” ?. Ya, tak pernah itu saya sadari—bahkan—setelah sekian lamanya saya bersekolah. Berbeda halnya dengan perikatan (kepentingan) sekolah dan pasar kerja, itu wajar. Persepsi kolektif masyarakat terlanjur mengamininya. Lho, tapi ini “sekolah dan pemberontakan” yang dijadikan narasi utamanya. Siapa dia yang berani lancang mengotori “kesucian” sekolah (dan tentunya pahlawan tanpa tanda jasa yang semakin utopis ; Pen) ?.

Saya baca, saya nikmati “permainan” kata yang diolah mas Eko. Kesan pertama itu pun kian lama terkikis akibat terpaan angin dialektika yang bergejolak di nalar saya. “Terhipnotis” kekuatan kata-kata, saya mengangguk-angguk pertanda “sepakat”.

Benar !, sekolah dan pemberontakan memang dua mata rantai yang saling bergelayut “mesra” satu sama lain. Bukankah sekolah yang melahirkan individu-invididu pemberontak sekaliber bung Karno, bung Hatta, Tan Malaka dan sederet nama-nama pemberontak lainnya yang telah membebaskan negeri ini dari cengkeraman kaum imperalis “old school” ?. Bukankah pula sekolah yang turut membidani kelahiran “mereka” yang mati muda ; Ahmad Wahib, Soe Hok Gie, Jenderal Soedirman, R.A. Kartini dan sosok-sosok kaum muda lainnya yang begitu cepat dipanggil Tuhan untuk kembali ke sisi-Nya ?. Mati muda, tapi untuk “hidup” selamanya.

Tak terbantahkan, sekolah memang mencipta pemberontak-pemberontak !. Hanya “mereka” yang gemar ber-apologia, berdalih hingga berbusa-busa yang sanggup dan “tabah” untuk menyangkalnya. Hanya “mereka” yang ber-kacamata kuda yang tak dapat melihat kenyataan ini.

Inilah keberuntungan yang saya maksud, berkah kesadaran (consciousness) yang mempunyai arti tersendiri buat saya. Mas eko mendudukkan saya di starting point perlawanan saya di kampus. Berlarilah !, seolah-olah mas Eko ada di samping saya dan mengatakan itu. Seberapa cepat kau berlari, kawan ?!, teriak Lintang yang menggembosi saya untuk segera berlari. Tiba-tiba saja dia hadir di benak saya, entah datang dari arah mana. Padahal tak dijemput. Begitupun konsekuensi logis selanjutnya, tidak pula saya berketetapan hati mengantarkannya untuk kembali nantinya. Ke Sorbonne, Lintang...ke Sorbonne, jawab saya ketika mulai berlari. Sama-sama berlari ke sana, ke sorbonne !. Saya mencari Sartre, saya mencari Foucault.

Pahami arkeologi kebisuan (archeology of silence), sadari pat gulipat permainan bayangan (shadow play) kekuasaan dan pengetahuan yang ada (exist) di kampusmu, pesan Foucault yang disisipkannya di sela perbincangan yang berlangsung santai. Perpustakaan kampus memang selalu sepi, bukankah demikian ?!. Jauh dari variatif pula bukan varian buku-bukunya ?.

Tanpa ada inisiatif, tak akan ada perlawanan, bung !. Buku karangan Foucault yang saya baca ini kebetulan adalah hasil “rampasan perang” setelah sempat death locked di tahapan lobby. Sekali lagi, saya berbincang dengan Foucault dalam suasana yang begitu santai. “Santai”, karena memang tak banyak orang. Perpustakaan kampus kalah bargaining dibanding kantin, cafetaria, mall-mall dan yang lebih ironis ; pub-pub terkemuka yang menjajakan parodi nilai “monolitik” kaum muda a la MTv .

Terbukalah tirai semu kehidupan kampus. Kini, tak seperti dulu lagi, saya mampu melihat jejaring kepentingan elit borjuis yang dititipkan di kampus ini. Kini, jauh dari kondisi kesadaran saya di waktu-waktu sebelumnya, saya sadari bahwa muatan pendidikan yang saya tempuh ini tak pernah sekalipun berkehendak menciptakan manusia-manusia yang bertipikal merdeka. Tidak !, tak ada itu idealisasi pendidikan untuk pembebasan. Tidak !, saya tidak dibentuk untuk menjawab tantangan itu.

Saya, mahasiswa, tanpa bisa dipungkiri justru adalah “stereotype” buruh terampil yang akan mengisi pos-pos wants and needs borjuasi penghisap. Bukan pemberontak, bukan !. Tapi, buruh !...ya, buruh terampil yang akan menggusur buruh-buruh potensial lain yang tidak sebanding tingkatan pendidikannya seperti saya. Itu keniscayaan, toh “link and match” antara Universitas dan/ Perguruan Tinggi merupakan “ideologi” yang dijual di ranah pertarungan pasar Universitas dan/Perguruan Tinggi. Siapa dia yang mampu menjamin keterbukaan akses mahasiswa ke pasar kerja, maka dialah yang keluar sebagai raja di pasar kompetisi Perguruan Tinggi / Universitas...bukankah seperti itu ?. Tak salah makanya bila jargon yang dipakai oleh para birokrat kampus (bukan pendidik, melainkan pemuja modal ; Pen) melulu “gampang cari kerja”. Adalah “soal lain” ketika berbicara kapasitas intelektual mahasiswa sekaligus keparipurnaan kesadarannya sebagai manusia (human being), intinya kerja dan kerja !. Tak peduli bagaimana kerasnya deraan tirani pasar kerja, tak peduli carut-marutnya “logika” pasar kerja...prinsipnya tetap kerja !. Lapangkan akses mahasiswa ke dunia kerja, selesai perkara. Upah murah, out sourcing yang menghinakan harga diri manusia...itu konsekuensi !.

Pemberontakan harus dimulai !. Tidak bisa tidak, pemberontakan adalah harga mati—lebih khusus buat saya. Saya cari role model konseptual yang minimal mendekati utuh. Beruntung (dan ini juga karena “kesediaan revolusioner” mencari buku-buku ; Pen) saya temukan manusia kreatif yang “berani” menghamparkan strategi dan taktik perlawanan mahasiswa di kampusnya. Ernest Mandel, beliaulah yang saya maksud. Lain dari itu, landasan filosofis perlawanan pun jangan sampai terkesan bolong-bolong. Infra-struktur perlawanan minus supra-struktur yang jelas bisa dibilang malah mengada-ada atau—bahkan—ngawur sama sekali. Untuk keperluan itu, satu nama yang langsung terbit di otak saya adalah Sartre—Intelektual revolusioner ternama berkebangsaan Perancis. Psikologi Imajinasi dan catatan kecilnya yang berjudul Sang Revolusioner saya nilai cukup untuk dijadikan supra-struktur perlawanan saya di kampus.

Pergerakan pun saya awali. Sakit memang menjadi minoritas di tengah main-stream yang punya “previlege” dalam penentuan keabsahan benar atau tidaknya sesuatu. Kesabaran revolusioner, hanya itu yang bisa saya lakukan. Untaian kata yang sungguh luar biasa dalam dari bung Karno. Saya dapati itu dari beberapa buku karangan beliau yang sempat saya baca. Terima kasih saya ucapkan kepada beliau, karena ucapan beliaulah yang membesarkan hati saya manakala diserang virus keputus-asaan.

Saya terjemahkan buah pikiran Ernest Mandel. Student control katanya, kendali mahasiswa. Mahasiswa harus mempunyai ruang lingkup otonominya sendiri yang idealnya tidak tersentuh tangan-tangan kekuasaan (birokrat) kampus. Saya rangkul kawan-kawan melalui agenda penyadaran dari satu individu ke individu yang lain. Terbentuklah apa yang disebut sebagai creative minority (minoritas kreatif) yang punya daya dorong signifikan bagi bergulirnya roda perubahan sosial (social change).

Dari lingkar inti sel yang telah terbentuk, minoritas kreatif ini terus meluas saja. Otomatis strategi perlawanan pun berubah. Bila di masa-masa perlawanan, strategi yang diusung adalah persuasif dan cenderung defensif, maka dengan kondisi objektif yang telah ada formatnya harus berubah ; ofensif. Parade-parade mulai intens dilakukan, begitupun dengan ekspresi sikap yang lainnya.

Jargon yang dimajukan sebagai “label opposisi” adalah Baca buku-mu...jadilah pemberontak !!!. Ada beberapa tuntutan minimum yang meletup di ruang publik (public sphere) kampus, seperti misalnya garansi kebebasan akademik dan kebebasan bermimbar. Tuntutan ini menciptakan efek bola salju (snow ball effect) yang lumayan deras. Nyaris beberapa langkah lagi perlawanan ini akan mencapai derajat optimal. Setelah “revolusi” kurikulum sebagai (salah satu) target antara....Otonomisasi Mahasiswa !. Ya, itu...otonomisasi maksimum mahasiswa !.

Epilog

Saya sadar perjuangan ini masih begitu panjang. Tak peduli saya siapa orang yang akan “mengeksekusi” revolusi di kampus ini. Toh, “mereka” adalah perwujudan benih-benih perlawanan yang telah saya semai.
Semakin larut saya dalam buku dan kekuatan kata-katanya. Di samping saya tergolek buku yang baru saja saya baca, Catatan Seorang Demonstran dan Dari Sierra Maestra Ke Havana. Mati muda...apakah saya juga akan mengalaminya ?.


Purwakarta, 21 April 2009
Lorong Perenungan Proletariat – Purwakarta


WIDDY APRIANDI


[1] Penulis adalah Mahasiswa STIE DR. KHEZ Muttaqien – Purwakarta sekaligus Koord. Dewan Pengarah re[d]sistance (Reading Society and Resistance Alliance)

Label:
Adsense Indonesia